Jubir MA Sering Dapat Laporan Hakim Nakal

Yang Dilaporkan Akhirnya Dipecat MKH

Minggu, 15 Juli 2012, 09:07 WIB
Jubir MA Sering Dapat Laporan Hakim Nakal
ilustrasi/ist
RMOL.Mahkamah Agung sudah memprediksi pemecatan terhadap hakim Putu Suika. Soalnya, sebelum dibawa ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH), hakim Pengadilan Negeri Denpasar ini sudah sering mendapat peringatan keras.

Juru Bicara MA Djoko Sar­woko mengatakan, pelanggaran kode etik dan profesi hakim di­du­ga sudah sering dilakukan Putu. Djoko yang pernah jadi ata­san Putu, mengisahkan, ketika menjabat Ketua Pengadilan Ting­gi Jawa Tengah, dia sering mene­rima laporan mengenai Putu.

“Saat itu, Putu menjabat seba­gai Wakil Ketua PN Pati, Jawa Tengah. Ya hitungannya, dia ba­wa­han saya,” ujarnya. Saat itu, banyak sekali laporan masyarakat yang masuk meja Djoko.

Umumnya, kata Djoko, lapo­ran-laporan itu menyoal tentang perilaku Putu. Dari mulai, pe­lang­garan kecil seperti tidak ter­tib administrasi, bertemu dengan pi­hak beperkara, main judi, me­ne­rima uang dari pihak ber­per­kara, sampai urusan perempuan, sempat ditangani Djoko. “Sejak dulu memang dia nakal,” tuturnya.

Laporan-laporan tersebut, tam­bahnya, mendapat penanganan secara proporsional. Pihak pela­por,  dipanggil untuk dimintai ketera­ngan. Demikian pula Putu, dimintai klarifikasi. Pada kurun waktu ter­se­but, penindakan se­ma­cam pe­ringa­tan dan sanksi te­guran sudah sering dijatuhkan kepada Putu.

Tapi herannya, Djoko bilang, Putu tidak kapok-kapok. Setiap kali dijatuhi sanksi, tak lama ke­mudian, dia sudah berulah alias mengulangi perbuatannya. Ter­akhir, Djoko merasa jengah juga. Soalnya, laporan justru datang dari istri Putu sendiri. “Istrinya per­nah datang menemui saya. Me­laporkan tentang perse­ling­ku­han suaminya,” ucap dia.

Laporan itu direspon oleh Djo­ko. Untuk membina hakim ini,  Djo­ko pun memutuskan untuk me­mu­tasi Putu ke Palangkaraya. Mutasi ke wi­la­yah Kalimantan tersebut, me­nurutnya, ditujukan agar Putu tidak bertemu perem­puan yang jadi se­ling­kuhannya. Hal itu juga dilaku­kan agar ke­utu­han rumah tangga hakim ini, terjaga alias harmonis.

Ditanya, kenapa memilih untuk memutasi Putu ke Palangkaraya alias tidak melaporkan polah anak buahnya ke MA, Djoko me­ngata­kan bahwa situasi saat itu belum seperti sekarang. “Pe­lak­sa­naan pe­ngawasan hakim masih lemah. Belum seperti sekarang. Saya se­bagai atasannya sudah berusaha melakukan pembinaan. Mutasi ke Kalimantan  sudah masuk kategori hukuman berat,” jelasnya.

Dari Palangkaraya, Putu di­mu­tasi ke Mataram. Menurut Djoko, mutasi ke Mataram juga dipicu sejumlah dugaan pelanggaran eti­ka dan profesi hakim. Tak lama tugas di Mataram, Putu kembali di­geser. Ia lebih banyak meng­ha­biskan kariernya sebagai hakim di daerah asalnya.  Sebagai hakim di PN Ketapang, PN Klungkung, dan PN Denpasar.

Lebih jauh,  Djoko me­nyang­si­kan keterangan Putu yang me­nyebut tindakannya menemui dan karaoke bersama pihak ber­perkara diketahui atasannya. Soal­nya, pada pemeriksaan di ling­kungan pengawasan hakim MA, Putu tidak pernah menye­but­kan ada­nya keterlibatan atasan­nya da­lam kasus yang membelitnya.

“Makanya, MKH langsung me­mutuskan sanksi pemecatan pada Putu,” tandasnya. Putusan pe­me­catan ini, sambungnya, di­dasari juga pada hasil peme­rik­saan Putu yang dilakukan Hakim Agung Bi­dang Pengawasan MA. “Menurut pe­meriksaan, dia tidak pernah mengatakan bahwa itu karena intervensi atasan, dalam hal ini Ketua PN.”

Yang pasti, pasca putusan si­dang MKH berisi pemecatan itu, MA sudah meminta Ketua PN Den­pasar untuk mencopot posisi Putu berikut semua fasilitas yang diperoleh hakim ini. Lalu men­jawab pertanyaan, sejauhmana pelaksanaan putusan MKH di­laksanakan PN Denpasar, Djoko menjawab, pihaknya masih perlu mengecek hal tersebut.

Sekadar mengingatkan, sesuai Undang Undang Komisi Yudisial, MKH digawangi tujuh orang, yang terdiri dari empat unsur KY dan tiga unsur MA. Empat unsur KY itu adalah Suparman Marzuki (Ketua MKH), Jaja Ahmad Jayus, Taufiqurahman Syahuri dan Ibrahim. Sedangkan unsur MA yak­ni I Made Tara, Imam Soe­bechi dan Zaharuddin Utama.

Reka Ulang

Sang Atasan Juga Sebagai Terlapor

Setelah menjatuhkan sanksi berat kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar Putu Suika dan hakim PN Sleman Anton Budi Santoso, Komisi Yudisial me­rekomendasikan agar Mah­ka­mah Agung mengagendakan si­dang Majelis Kehormatan Hakim untuk Ketua PN Denpasar.

Menurut Ketua Sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Su­parman Marzuki, MKH sudah me­rekomendasikan pemeriksaan ter­hadap atasan Putu itu. Dia meng­in­formasikan, posisi atasan Putu da­lam kasus ini juga sebagai terlapor.

Untuk keperluan menggelar si­dang MKH lanjutan, Komisi Yu­disial (KY) sudah meminta ke­te­rangan yang bersangkutan. “KY sudah mengklarifikasi dan mere­ko­mendasikan sidang MKH lan­jutan untuk Ketua PN Denpasar. Dalam perkara ini ada dua per­kara, Ketua PN juga dilaporkan,” terangnya.  

Tapi, Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengaku be­­lum tahu kapan sidang MKH ter­hadap bekas atasan Putu dige­lar MA. “Nanti saya cek dulu,” kata­nya. Dia menambahkan, upa­ya mem­peroleh keterangan dari bekas atasan Putu perlu dilakukan sece­patnya. Hal itu penting agar ke­terangan Putu bisa diper­tang­gung­jawabkan.

Tapi sebelum rekomendasi KY itu terlaksana, menurut Suparman Marzuki, yang paling penting se­ka­rang adalah realisasi atas reko­mendasi sanksi berat pada hakim Putu Suika dan Anton Budi San­toso sudah mendapat respon posi­tif dari MA.

Dari situ, dia ber­ha­rap, pena­nganan kasus-kasus ha­kim nakal ke depan lebih dii­n­ten­sif­­­kan. Se­lain itu, dia berharap, efek pem­berian sanksi oleh MKH dija­di­kan masukkan dan pe­do­man ha­­kim dalam menjalankan profesinya.

Dalam putusannya, MKH me­nyatakan, Putu terbukti bersalah. Dia divonis dipecat dari jabatan ha­kim secara tidak hormat. Me­nurut Majelis, Putu melanggar kode etik hakim karena ber­ko­munikasi dengan pihak ber­per­kara di luar sidang, berperilaku tidak jujur, menerima hibah dan ha­diah dari pihak berperkara.  

Suparman menyebut, perte­muan dengan pihak berperkara tak hanya dilakukan di ruang kerja atau kantor. Pertemuan juga berlanjut sampai tempat hiburan karaoke. “Sempat karaoke tiga kali dengan pihak berperkara,” tegasnya.

Tapi, Putu meminta MKH juga me­nyidangkan bekas atasannya, Ketua PN Denpasar. Sebab, me­nu­rut Putu, tindakannya sepenge­ta­hu­an serta atas perintah atasan­nya. Putu menambahkan, ka­rao­ke be­r­sama pihak berperkara itu di­la­ku­kan setelah perkara yang di­tangani putus. “Mengapa saya di­korban­kan. Dulu saya mengi­kuti perintah beliau, karena beliau pimpinan,” tandasnya.  

Putu mengungkapkan, Ketua PN pernah memintanya me­me­nangkan salah satu pihak ber­per­kara. Untuk kepentingan­ ter­sebut, dia mengaku pernah dipanggil tiga kali oleh atasannya itu. Ata­sannya, meminta Putu membantu tergugat.

Anehnya, lanjut Putu, setelah perkara putus, dia sama sekali tidak diberi job menangani per­kara. Ia juga tak pernah dilibatkan dalam menentukan berbagai ke­bijakan di lingkungan pengadi­lan. Padahal sebelumnya, selaku hakim senior, dia selalu dimintai.

Sidang MKH Harus Digelar Terbuka

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Des­mon J Mahesa menilai, lang­kah Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) menin­dak hakim nakal melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) hen­daknya ditingkatkan.

Ketegasan seperti itu, lanjut Desmon, penting dilakukan apa­bila KY dan MA ingin men­ciptakan rasa keadilan di te­ngah-tengah masyarakat. “Lang­kah KY dan MA menggelar si­dang MKH secara terbuka dan menjatuhkan sanksi tegas, itu membangkitkan harapan ma­sya­rakat,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini.

Keterbukaan itu, menurut Desmon, layak dicontoh insti­tusi penegak hukum lain. Soal­nya, masyarakat tak akan per­caya jika pimpinan suatu ins­titusi penegak hukum hanya menyampaikan jumlah penegak hu­kum yang telah diberikan sanksi berat. Soalnya, tidak je­las siapa saja yang kena sanksi berat itu, bagaimana pe­lang­ga­ran­nya dan bagaimana proses penjatuhan sanksi itu. “Intinya, masyarakat khawatir dibo­ho­ngi,” katanya.   

Desmon menambahkan, sebagai salah satu pilar penjaga keadilan, hakim sudah selayak­nya mendapatkan pengawasan yang sangat ketat. Hal itu pe­n­ting mengingat posisi hakim sa­ngat vital alias menentukan na­sib orang lain. Pengawasan yang kontinyu itu diharapkan bisa menekan kecenderungan hakim menyimpangkan pro­fesi­nya. “Sukur-sukur mampu menciptakan kesadaran dan tanggungawab profesi hakim secara maksimal.”

Munculnya integritas terse­but, kata dia, paling tidak bisa me­numbuhkan paradigma ma­syarakat bahwa hakim masih dapat diandalkan. Artinya, tidak ada alasan apapun dari ma­sya­rakat untuk ragu dalam men­ja­lani proses peradilan.

Desmon pun meminta agar terobosan yang sifatnya sere­mo­n­­ial hendaknya ditang­gal­kan. “Masyarakat sudah tidak butuh lips service. Masyarakat butuh bukti konkret, misalnya hakim yang terbukti menye­le­weng, ya mesti dipecat melalui sidang terbuka. Sidang yang diketahui masyarakat, bagai­mana prosesnya dan siapa yang dipecat,” ucapnya.

Ngapain Biayai Macan Ompong

Iwan Gunawan, Sekjen PMHI

Sekjen Perhimpunan Magis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan menilai, kinerja Komisi Yudisial belum istime­wa. Tapi, setidaknya bisa men­jadi contoh bagi komisi-komisi yang bertugas mengawasi lem­baga penegak hukum lainnya. Dengan begitu, pembentukan komisi berikut kelengkapan pi­ranti di dalamnya tidak mubazir.

“Komisi Yudisial setidaknya telah mengambil langkah kon­kret mengawasi para hakim. Soalnya, ada sejumlah pe­nin­dakan yang layak diapresiasi po­sitif,” katanya.

Dia berharap, KY hendaknya meningkatkan penindakan yang konkret terhadap para hakim nakal. Setidaknya, mem­per­ta­han­kan pengawasan yang sudah di­jalankan selama ini. “KY tidak boleh hanya jadi pe­leng­kap bagi institusi kehakiman,” tandasnya.

Iwan pun menyarankan agar komisi-komisi yang bertugas mengawasi institusi penegak hukum lain, juga tidak hanya menjadi pelengkap. Dengan be­gitu, relokasi anggaran, sarana dan prasarana yang disediakan, tidak sia-sia.

“Jika komisi-ko­misi itu tidak ada prestasinya atau seperti ma­can ompong, buat apa. Lagi-lagi ini akan melukai rasa ke­adilan masyarakat. Lebih baik, komisi-komisi yang tak jelas juntrungannya, alias sekadar menghabiskan anggaran itu dibubarkan saja,” sarannya.

Idealnya, sekalipun belum bisa menandingi kiprah KPK, je­jak KY yang sudah  me­nun­jukkan kemajuan ini, tetap bisa jadi penyemangat. Jadi contoh, buat komisi sejenis lainnya da­lam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Dia berpesan, jangan sampai hingga akhir masa tugasnya, ada komisi yang sama sekali ti­dak me­nunjukan kiprah atau ha­sil kerjanya. Hal ini tentunya akan men­jadi bumerang. Soal­nya, m­a­syarakat sekarang sudah kritis. “Masyarakat pasti akan mem­per­tanyakan, apa sih kerja ko­misi-komisi tersebut,” ucap­nya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA