Ketika Bahlil Lahadalia, Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, dan Sufmi Dasco Ahmad duduk bersama, jangan bayangkan mereka mengobrol ringan tentang cuaca akhir tahun. Ini bukan arisan keluarga, ini rapat masa depan dimana 2026 sebagai landasan pacu, 2029 sebagai langit tujuan.
Mereka sudah satu koalisi dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Kini mereka menabalkan koalisi bukan lagi sekadar kata benda, ia menjelma kata kerja: mengunci, merapikan, memuluskan. Apa yang akan terjadi di depan mata di tahun-tahun politik ke depan sudah begitu jelas petanya.
Di meja itu, salah satu menu yang paling gurih, karena paling mengenyangkan sekaligus paling memicu sakit perut, adalah wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Bahasa resminya efisiensi, stabilitas, mengurangi polarisasi.
Tapi bahasa lapangannya adalah memendekkan jarak antara keputusan dan kepentingan. Bahasa dapurnya: mengurangi biaya, termasuk biaya ribut-ribut. Bahasa pedagang survei, yang selama ini kebanjiran proyek pilkada langsung, barangkali terdengar seperti lonceng penutupan toko.
Peta sikap partai sudah terbaca dimana Partai Gerindra dan Partai Golkar menyuarakan sikap tegas mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Partai Amanat Nasional mengamini, sementara PDI Perjuangan dan Partai Demokrat menolak.
Di luar gedung, lembaga konsultan politik mapan Saiful Mujani Research and Consulting memotret kehendak publik: rakyat cenderung ingin tetap memilih langsung. Demokrasi, rupanya, masih ingin merasakan telapak tangan pemilih, bukan sekadar stempel fraksi. Pasar survei politik pun bisa sekarat.
Lalu, adakah dunia lain yang “normal-normal saja” dengan kepala daerah dipilih parlemen daerah? Ada. Banyak. Tapi normal di negara lain seringkali dianggap tak cocok di sini. Di India, yang menganut sistem parlementer konsisten dari pusat sampai daerah, kepala pemerintahan negara bagian dipilih oleh parlemen negara bagian.
Di Jerman, beberapa negara bagian memilih
Ministerpräsident lewat
Landtag, sementara wali kota di banyak kota dipilih langsung. Kombinasi ini tumbuh dari kearifan lokal Jerman, dari tradisi federalisme dan disiplin partai yang ketat.
Italia pernah memilih wali kota via dewan kota sebelum beralih ke pemilihan langsung pada 1990-an karena krisis legitimasi. Afrika Selatan memilih
premier provinsi melalui legislatif provinsi dalam kerangka parlementer.
Semuanya bisa stabil di atas kertas, tetapi tetap bergantung pada integritas partai dan kontrol publik yang kuat. Lantas muncul kesimpulan: mekanisme itu bekerja bila sistemnya utuh, kultur politiknya matang, dan pagar etikanya tinggi.
Di Indonesia, pengalaman pahit pemilihan tak langsung bukan cerita asing. Kita pernah mencicipi aromanya: lobi gelap, transaksi sunyi, dan drama yang tak pernah masuk notulen. Itulah sebagian dari suasana buruk pilkada tak langsung, yang mesti kita kritisi.
Argumen “hemat biaya” masuk akal, tapi ongkos tak terlihat mesti masuk hitungan: delegitimasi, jarak dengan warga, dan risiko politik uang yang berpindah arena, dari TPS ke ruang fraksi. Demokrasi memang mahal, tetapi oligarki jauh lebih mahal ketika tagihannya datang belakangan.
Namun keadilan analitis menolak kita berlaku selektif dalam mengingat luka. Kejujuran intelektual menuntut kita mengakui sisi lain yang sama pahitnya: kita juga telah melewati pengalaman pemilihan langsung yang tidak kalah brutal. Bahkan, sering kali pemilihan langsung terasa lebih bengis karena luka-lukanya dipamerkan di ruang publik tanpa sensor.
Setiap musim pilkada datang, kampanye hitam bermekaran seperti jamur di musim hujan yang tumbuh cepat, sulit diberantas, dan meninggalkan bau apek yang lama hilangnya. Hoaks disebar dengan semangat jihad digital, fitnah diproduksi massal seperti gorengan subuh, dan karakter manusia direduksi menjadi meme murahan yang diulang sampai orang lupa mana fakta, mana fiksi.
Polarisasi pun mengeras, bukan lagi sekadar beda pilihan, tapi berubah menjadi pertarungan identitas. Tetangga yang dulu saling menyapa jadi saling curiga, grup keluarga berubah jadi medan perang, masjid, gereja, dan media sosial ikut terseret sebagai panggung kontestasi.
Politik identitas diperas habis-habisan: agama, etnis, asal-usul, bahkan cara berpakaian dijadikan amunisi. Yang lahir bukan perdebatan program, melainkan kebencian emosional.
Luka politik dari pemilihan langsung tidak sembuh saat hasil diumumkan; ia menetap, mengendap, dan diwariskan seperti trauma keluarga yang tak pernah dibicarakan tapi selalu terasa.
Rivalitas kandidat dalam pilkada langsung juga melahirkan industri baru: narasi kebencian digital. Pasukan siber,
buzzer bayaran, dan relawan dadakan berlomba memproduksi ketakutan. Algoritma ikut mempercepat pembelahan, karena kemarahan lebih laku daripada argumen.
Demokrasi berubah menjadi ajang adu urat saraf, bukan adu gagasan. Kita menyaksikan bagaimana ruang publik yang seharusnya mendewasakan justru memelihara infantilisme politik: menang-menangan, bukan benar-benaran.
Tak cuma itu. Politik uang menjelma modus kehancuran moral yang kian sistematis. Amplop bukan lagi rahasia, melainkan tradisi. Suara rakyat direduksi menjadi transaksi jangka pendek, sementara dampaknya jangka panjang.
Kepala daerah yang terpilih masuk kantor bukan dengan visi, melainkan dengan beban berupa hutang modal dan janji kampanye yang terlalu banyak ditandatangani dengan senyum, tapi mustahil ditepati dengan anggaran. Sang kepala daerah pun berjalan sambil terengah, mencari cara menutup lubang hutang modal yang sejak awal sudah digali sendiri.
Akibatnya kita menyaksikan ironi paling tragis: gelombang penindakan korupsi yang seolah tak ada habisnya. Banyak kepala daerah tersandera oleh kewajiban membayar ongkos politik, lalu tergelincir ke praktik korupsi demi menutup cicilan kekuasaan.
Penjara menjadi epilog yang terlalu sering terulang, seakan menjadi bab penutup standar bagi kisah sukses pilkada langsung. Demokrasi yang dimaksudkan untuk memerdekakan justru menjerat, bukan hanya para pejabatnya, tapi juga masyarakat yang kehilangan kepercayaan.
Semua ini menunjukkan satu hal yang tidak nyaman: masalah kita bukan semata mekanisme baik langsung atau tidak langsung, melainkan watak politik yang belum sembuh. Pemilihan langsung memberi rakyat suara, tapi juga membuka kanal brutal bagi eksploitasi emosi, identitas, dan uang.
Dan di situlah paradoksnya: kita berdiri di antara dua pilihan pahit, memilih di antara luka lama dan luka baru, sambil bertanya dengan suara pelan tapi mendesak, kapan demokrasi berhenti sekadar menjadi prosedur, dan benar-benar berubah menjadi kebijaksanaan bersama.
Maka pertemuan empat ketua partai politik besar itu wajar membuat alis publik terangkat. Tahun 2026 bukan sekadar kalender, ia adalah bengkel besar undang-undang. Apa yang dipasang hari ini akan menentukan kecepatan dan arah kendaraan politik kita lima tahun ke depan. Apakah kita ingin mobil melaju kencang tapi hanya bisa dikemudikan dari kursi belakang?
Di ujungnya, demokrasi bukan soal siapa yang paling rapi menyusun skema, melainkan siapa yang paling berani mempercayai rakyat. Negara lain memberi contoh mekanisme; Indonesia mesti jujur pada konteksnya.
Efisiensi boleh jadi alasan, stabilitas bisa jadi tujuan, tapi legitimasi tetap bahan bakar yang bisa meledak jika tidak diantisipasi dari awal dalam peraturan. Tanpa itu, koalisi paling permanen pun akan rapuh, karena dibangun bukan di atas suara, melainkan di kamar-kamar gelap.
BERITA TERKAIT: