Terpidana Kasus Korupsi BLBI Dua Kali Kalah di Pengadilan AS

Hari Ini Tiba Di Jakarta, Penjaranya Sudah Disiapkan

Rabu, 13 Juni 2012, 10:55 WIB
Terpidana Kasus Korupsi BLBI Dua Kali Kalah di Pengadilan AS
Sherny Kojongian

RMOL. Tim terpadu menjemput terpidana kasus BLBI Sherny Kojongian dari Amerika Serikat. Penjemputan dilakukan setelah upaya banding wanita yang buron selama 10 tahun itu, ditolak Pengadilan Tinggi Amerika Serikat.

Penantian panjang untuk menyeret terpidana kasus korupsi Bank BHS sebesar Rp 1,95 triliun itu ke Tanah Air, berakhir pada 11 Juni 2012, saat otoritas ke­ama­nan Amerika Serikat meng­ek­sekusi Sherny di San Fransisco.

Kepala Sekretaris NCB Inter­pol Polri Brigjen Sugeng Pri­yanto menjelaskan, eksekusi ter­hadap Sherny dilaksanakan pasca banding bekas Direktur Kredit Bank Harapan Sentosa (BHS) itu ditolak. “Tim terpadu yang men­jemput buronan tersebut,” kata­nya, kemarin.

Tim itu terdiri dari satu per­so­nel Interpol Indonesia, utusan Ke­jaksaan Agung, perwakilan Direktorat Jenderal Imigrasi K­e­menterian Hukum dan HAM serta pihak Kementerian Luar Ne­geri. Teknis deportasi akan di­komandani perwakilan Polri (Liasion Officer/LO) di Amerika Serikat Brigjen Arief Wicaksono.

Lebih lanjut, tim terpadu akan membawa buronan itu ke Indo­nesia menggunakan pesawat Ga­ruda. Rencananya, Sherny dan tim itu akan tiba di Jakarta pada 13 Juni atau hari ini.

“Otoritas Ame­rika menyerah­kan Sherny di Bandara San Fran­sisco. Setiba­nya di Jakarta, kita akan serah terima ke Kejaksaan Agung untuk proses eksekusi,” ucapnya.

Dia mengaku, Interpol Indone­sia sebenarnya sudah pasang kuda-kuda membawa Sherny se­jak 2009. Pada tahun itu, Imigrasi dan Interpol Amerika Serikat te­lah merespon red notice dari In­terpol Indonesia.

Otoritas Amerika juga mene­mu­kan masalah keimigrasian atas nama Sherny, sehingga melaku­kan pengusiran. Namun, terpi­dana 20 tahun penjara itu, tak mau menyerah begitu saja. Dia me­lawan otoritas Amerika, kare­na merasa dokumen imigrasinya sah. Intinya, wanita kelahiran Ma­nado ini merasa berhak ting­gal di negara Paman Sam.

Usaha deportasi itu akhirnya me­ngalir ke pengadilan. Sher­ny menggugat Imigrasi Amerika Serikat ke pengadilan tingkat per­tama San Francisco. Hasilnya, pe­ngadilan tingkat pertama me­nyatakan Sherny bersalah. Penga­dilan memutus, penggugat untuk mematuhi perintah deportasi.

Tapi, Sherny belum puas. Dia mengajukan banding ke pe­ngadilan tinggi Ninth Circuit Amerika Serikat. Hasilnya, pe­nga­dilan tinggi memutus sama de­ngan pengadilan sebelumnya. Dengan kepastian hukum yang mengikat itu, Sherny harus di­de­portasi. “Sanksi deportasi harus di­jalani. Imigrasi dan Interpol Amerika menangkap Sherny pada 11 Juni lalu dan meng­koor­dinasikannya dengan perwakilan Polri di sana,” kata Sugeng.

Proses gugatan Sherny, lan­jut­nya, membuat proses de­por­tasi berlarut-larut. Praktis selama tiga tahun, jajaran Interpol In­do­nesia mesti memantau per­ge­rakan putri pengusaha apotek tersebut.

Saat ditanya, apakah terpidana kasus yang sama, Eko Edy Putranto juga berada di Amerika bersama Sherny, Sugeng menga­ku belum tahu. “Kami belum menerima informasi keberadaan Eko Edy,” katanya. Tapi, dia me­ngaku, penel­u­su­ran Interpol In­do­nesia terhadap anak Hendra Rahardja itu tidak dihentikan.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejak­saan Agung Adi Toegarisman, pro­ses pemulangan Sherny be­rada di bawah koordinasi Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai Ketua Tim Terpadu Pemburu Ko­ruptor. “Saat ini masih di pe­sa­wat. Besok pagi dijemput di Ban­dara Soekarno Hatta. Mungkin pagi atau menjelang siang.”

Tim dari Kejaksaan Agung su­dah menyiapkan penjemputan Sher­ny di bandara Soekarno Hatta. Selanjutnya, Sherny diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pu­sat. “Kejari Jakpus yang me­la­ku­kan proses ekse­kusi,” ujar Adi.

Wakil Jaksa Agung Darmono berharap, deportasi Sherny mam­­pu membantu mengungkap ke­be­ra­daan aset BHS yang ter­sisa ser­ta menelusuri buron lain yang be­lum diketahui ke­be­ra­daannya.

REKA ULANG

Masuk DPO 2002, Dibawa Ke Indonesia 2012

Nama Sherny Kojongian masuk daftar pencarian orang (DPO) ke­polisian internasional (Interpol) pada 2002. Saat itu, Majelis Ha­kim Pengadilan Negeri Jakarta Pu­sat menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Sherny da­lam sidang in absentia (tanpa ke­ha­diran terdakwa). Sidang in ab­sentia dilakukan lantaran Sherny sudah lebih dahulu kabur ke luar negeri ketika berstatus tersangka.

Setelah Sherny berstatus ter­pi­dana, Sekretariat Interpol Ind­o­ne­sia mengirim red notice ke Sek­re­tariat Interpol Pusat di Lyon, Pe­rancis. Isinya, meminta ban­tu­an agar tiga buronan kasus BLBI Bank BHS ditangkap. Ketiga bu­ronan itu adalah Hendra Ra­har­dja, Eko Edy Putranto dan Sherny Kojongian.

Dalam persidangan, jaksa pe­nuntut umum (JPU) Andi Rach­man Asbar menyatakan puas atas putusan Majelis Hakim pimpinan Subardi yang menghukum Ko­mi­saris Utama Bank Harapan Sen­tosa (BHS) Hendra Rahardja se­umur hidup pada Jumat, 22 Maret 2002. “Sangat puas, sesuai tun­tu­tan, persis sampai pada per­tim­bangan-pertimbangan hu­kum­nya,” ucap dia. 

Hendra terbukti melakukan ko­rupsi dengan cara menya­lah­gu­na­kan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada BHS bersama-sama anaknya, Ko­misaris BHS Eko Edi Putranto dan Direktur Kredit dan Treasury BHS Sherny Kojongian. Akibat­nya, negara rugi Rp 305 miliar plus 2,3 juta dolar AS. Tapi, Hen­dra juga tak bisa dieksekusi lan­taran keburu kabur ke luar negeri. Belakangan, Hendra dikabarkan meninggal di Australia.

Hukuman yang sama dengan tuntutan juga dijatuhkan terhadap Eko dan Sherny. Terhadap kedua­nya, majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Ma­jelis juga menghukum para te­r­dakwa secara tanggung ren­teng membayar uang pengganti Rp 1,95 triliun. Tapi, hingga kini Eko Edi masih buron.

Diketahui, dua direksi BHS itu diduga meminta loan committee untuk menyalurkan kredit kepada anak perusahaan grup BHS. Anak perusahaan grup itu adalah PT Setio Harto Jaya Building, PT Inti Bangun Adhi Pratama, PT Artha Buana Sakti atau PT Prasetya Per­tiwi, PT Eka Sapta Dirgantara, PT Gaya Wahana Abadi Sakti dan PT Bintang Sarana Sukses.

Kredit yang seluruhnya Rp 305 miliar plus 2,3 juta dolar AS itu diambil dari fasilitas BLBI yang diberikan kepada BHS menyusul krisis moneter tahun 1997.

Na­mun, kredit itu tak digu­na­kan se­cara benar. Uang kredit di­be­likan 85 bidang tanah di Bali, Ja­karta, Makassar, dan Yog­ya­kar­ta, de­ngan menggunakan nama terdak­wa, perusahaan miliknya dan keluarga.

Akibatnya, BHS mengalami ke­sulitan likuiditas dan rugi Rp 50 miliar per bulan karena kredit ma­cet. Lalu, Bank Indonesia mem­beri bantuan likuiditas. Se­jak awal 1997 sampai Oktober 1997, jumlahnya Rp 1,578 triliun. Teta­pi, sampai 1 November 1997, ke­tika BHS dilikuidasi, dana dan bu­nganya tak bisa dikembalikan.

Dalam putusannya, majelis ha­kim memerintahkan barang bukti tanah,bangunan, serta barang bukti pengganti berupa hasil le­lang barang bukti senilai Rp 13,5 miliar dirampas untuk ne­gara. Sedang yang berupa do­ku­men asli dikembalikan kepada BI.

Jangan Sekadar Kirim Red Notice

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa menilai, usa­ha pemerintah Amerika Serikat mendeportasi buronan asal In­donesia menunjukkan ko­mit­men menjunjung kerjasama an­tar negara.

Pola kerjasama seperti ini perlu ditingkatkan dengan ne­gara lain, bukan hanya dengan pe­merintah Amerika Serikat. “Ini juga menunjukan kerja­sa­ma di dalam Interpol sudah ber­jalan baik,” katanya, kemarin.

Lantaran itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini mengingatkan, Polri dan ins­tansi terkait wajib membantu negara-negara lain melacak bu­ronan dari luar negeri yang kabur ke Indonesia.

Selain membantu negara lain melacak buronannya di sini, Desmon berharap, Interpol In­donesia lebih aktif menjalin ko­­munikasi dengan Interpol pu­sat. Hal ini penting, mengi­ngat daf­tar buronan Indonesia yang ada di list Interpol pusat masih panjang.

Jadi, kata Desmon, Sek­re­ta­riat Interpol Indonesia tak se­batas mengirim red notice. Me­lainkan, aktif menanyakan ke­majuan hasil pengiriman red notice. Dengan begitu, k­e­mung­kinan mengetahui keberadaan para buronan itu bisa lebih cepat.

“Yang kerap terjadi, para buronan bebas berkelana. Tak tersentuh dalam waktu yang  sangat lama. Ini membuat ko­ruptor lain berupaya kabur ke luar negeri juga,” tandasnya.

Selain mengefektifkan kiner­ja Interpol, Desmon minta pe­me­rintah lebih serius me­m­per­baiki hubungan diplomatik dengan negara lain. Hal itu akan sangat membantu saat meng­hadapi persoalan kabur­nya koruptor. “Apalagi dengan negara-negara yang sampai kini belum memiliki perjanjian ekstradisi.”

Tidak Bermakna Tanpa Penyelamatan Uang Negara

Akhiruddin Mahjuddin, Ketua Gerak Indonesia

Koordinator Presidium LSM Gerakan Rakyat Anti Ko­rupsi (Gerak) Indonesia Ak­hi­ruddin Mahjuddin berpendapat, deportasi terpidana kasus ko­rupsi tanpa diikuti penye­la­ma­tan aset dan uang negara tidak memiliki makna.

Menurutnya, yang juga harus dilakukan pemerintah adalah mengupayakan secara optimal pengembalian aset atau uang negara yang dibawa kabur ke luar negeri. “Penangkapan dan de­portasi tanpa diikuti pe­nye­lamatan aset dan uang negara, tidak punya arti sama sekali bagi kita,” katanya, kemarin.

Selain itu, dia menyarankan hakim berani memberikan hu­ku­man yang berat kepada ter­pi­dana kasus korupsi. Minimal hukuman seumur hidup. “Ne­gara juga harus segera menyita se­luruh aset para koruptor agar jatuh miskin. Upaya ini akan menjadi contoh dan mem­beri­kan efek jera. Tidak saja bagi Sherny, tapi bagi terpidana ka­sus korupsi lainnya,” tandas Akhiruddin.

Pemerintah, lanjutnya, juga mesti melanjutkan kerjasama de­ngan negara yang sudah me­rativikasi konvenan anti ko­rupsi. Kemudian, giat mewu­jud­kan perjanjian ekstradisi.

Dia mencontohkan, selama ini perjanjian ekstradisi Indo­nesia-Singapura dan Indonesia-Australia belum terwujud, pa­da­hal hubungan antar negara su­dah terjalin baik.

Jika ratifikasi perjanjian eks­tradisi bilateral dengan Singa­pura dan Australia tak tercapai, lanjut Akhiruddin, otomatis ke­dua negara itu akan menjadi sur­ga bagi koruptor Indonesia untuk menimbun harta hasil korupsi dan kejahatan lainnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA