WAWANCARA

Sutiyoso: Parpol Menengah Di Senayan Kalau Verifikasi Pasti Tak Lolos

Sabtu, 21 April 2012, 08:42 WIB
Sutiyoso: Parpol Menengah Di Senayan Kalau Verifikasi Pasti Tak Lolos

RMOL. Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso menilai, UU Pemilu yang baru disahkan DPR hanya akal-akalan saja.

“Undang-Undang itu kan harus ada unsur-unsur kepastian hukumnya. Tapi yang terjadi se­tiap kali mau pemilu, Undang-Undangnya selalu diganti,” ujar­nya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, 22 parpol non parlemen menggugat UU Pe­rubahan atas UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu ke Mahka­mah Konstitusi (MK).

Ada dua pasal yang mereka gugat yaitu, Pasal 8 tentang veri­fikasi partai peserta pemilu dan pasal 208 tentang ambang batas parlemen (Parliamentary Tres­hold/PT) 3,5 persen yang berlaku untuk nasional.

Sutiyoso selanjutnya mengata­kan, dalam  UU Nomor 10 tahun 2008 salah satu pasalnya menye­butkan, para peserta Pemilu 2009 secara otomatis akan menjadi peserta pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2014.

“Tetapi dirubah. Yang otomatis itu hanya sembilan parpol saja yang sudah di parlemen,” kata bekas Gubernur DKI Jakarta itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Sepertinya parpol non parle­men gerah ya kalau harus di­ve­ri­fikasi?

Masalahnya syarat verifikasi sekarang ini tidak sama dengan syarat verifikasi tahun 2008. Hal ini menunjukkan, ketika mau bertanding Pemilu 2014, parpol yang di parlemen ini menggu­na­kan syarat yang lunak. Sedang­kan, kami ini menggunakan syarat yang berat.

 

Anda menilai tidak adil?

Ya dong. Ini menunjukkan ke­tidakadilan dan sangat diskrimi­nasi terhadap parpol-parpol non parlemen. Sebab, verifikasi tahun 2009 itu parpol harus mempunyai pengurus hingga 75 persen di tingkat provinsi.

Setiap kabupaten atau kota ha­rus mempunya pengurus hingga 50 persen dan setiap kecamatan harus ada 25 persen pengurus.

 

Kalau untuk tahun 2014?

Undang-Undang Pemilu yang direvisi itu mengharuskan setiap parpol mempunyai pengurus di tingkat provinsi hingga 100 persen, kabupaten atau kota 75 persen dan setiap kecamatan 50 persen.

 

Parpol non parlemen takut dengan aturan seperti itu?

Bukan masalah takut. Aturan semacam itu hanya dikenakan kepada kami parpol non parle­men. Sedangkan parpol yang di parlemen, tidak dikenakan aturan seperti itu. Masa seperti itu.

      

Sepertinya, Anda meragu­kan parpol yang sudah di par­le­men jika diverifikasi tidak akan lolos?

Kalau parpol yang sudah du­duk di parlemen diverifikasi seperti kami, bisa juga nggak lolos. Sekarang begini, partai-partai menengah di Senayan, bisa tidak untuk memenuhi pengu­rus hingga 100 persen di provinsi atau 75 persen di tingkat Kabu­paten atau kota untuk wilayah Papua yang mayoritas non mu­slim.  Saya kira, parpol itu pasti tidak lolos kalau diverifikasi.

Atau sebaliknya, misalnya Partai Damai Sejahtera (PDS) se­bagai partai non parlemen untuk memenuhi kepengurusannya hingga 100 persen di Aceh yang mayoritasnya Islam. Apa yang akan terjadi. Jika aturan ini di­terapkan secara nasional.

      

Bagaimana dengan aturan me­ngenai PT yang 3,5 persen?

Sebenarnya dari mana adanya angka 2,5 persen atau 3,5 persen itu. Mereka nggak ada rumusan­nya dan referensinya. Sekarang, kalau kalau mengacau pada 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, mengakibatkan sekitar 19 juta suara sah tidak terwakili di par­lemen.

Apalagi, jika dinaikkan men­jadi 3,5 persen, maka akan ada 30 juta suara yang tidak terwakili di parlemen. Padahal ini suara sah bukan golput. Demokrasi macam apa kalau seperti ini.

     

Bisa disebutkan kenapa sam­pai 30 juta suara hilang?

Misalnya saja, PKNU yang mem­punyai basis di Jawa Timur dan di salah satu kabupaten atau kota, partai ini menang mutlak atau mendapatkan 15 kursi dari 45 kursi yang diperebutkan.

Tetapi karena sistemnya secara nasional, maka dia bisa tidak lolos dan 15 kursi pun hi­lang dan di­am­bil partai yang lolos. Hal se­ma­cam ini akan me­­nimbul­kan reaksi de­ngan ben­tuk yang ber­macam-macam.

Apalagi, ini akan terjadi di ber­bagai daerah. Saya katakan ne­geri ini akan jadi chaos ka­lau itu diberlakukan.

 

Bagai­mana jika dalam satu kota/kabu­pa­ten sua­ra se­mua par­pol di bawah 3,5 per­sen?

Skenario semacam ini akan le­bih ektrim lagi. Bayangkan saja, jika satu kota, suaranya terbagi-bagi dan semuanya tidak sampai angka 3,5 persen, berarti dia tidak ada perwakilannya dong di parle­men. Mereka yang di Senayan ini, mikir nggak masalaha ini.

Apakah Anda sudah me­nyam­paikan masalah ini ke DPR?

Kami sudah berikan masukan mengenai ini melalui ketua dan wakil ketua DPR serta kepada Pansus Pemilu.

 

Tanggapan mereka?

Waktu itu, mereka hanya mengangguk-anggukan kepala dan mengerti. Tetapi tidak di­respons. Makanya  jalan terakhir kami gugat ke MK.


Anda yakin menang?

Sangat yakin akan menang. Se­bab, banyak kelemahan Undang-Undang ini. Apalagi karakter Ketua MK Pak Mahfud MD yang konsisten dan tidak bisa ditekan oleh siapapun. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA