WAWANCARA

Akbar Tandjung: Golkar Tidak Berniat Keluar Dari Koalisi

Senin, 02 April 2012, 08:52 WIB
Akbar Tandjung: Golkar Tidak Berniat Keluar Dari Koalisi
Akbar Tandjung

RMOL. Awalnya sikap Golkar abu-abu. Tidak jelas, mendukung atau menolak usulan pemerintah soal kenaikan BBM. Tapi sehari sebelum DPR memutuskan hal ini dalam rapat paripurna , Jumat (29/3) lalu, tiba-tiba saja Ketua Umum Aburizal Bakrie dengan tegas menolak usulan ini.

Kabarnya sikap ini dike­luarkan Ical, panggilan akrab Abu­rizal, karena pernyataan Ke­tua Fraksi Demokrat Jafar Haf­sah. Jafar bilang, Golkar setuju BBM naik. Bahkan dalam perte­muan di Cikeas, kata Jafar, Ical malah menyarankan BBM naik Rp 2 ribu, menjadi Rp 6.500 per liter. Ini lebih besar dari usulan pemerintah yang hanya Rp 1.500.   

Tapi Ketua Dewan Penasehat Golkar Akbar Tandjung mem­ban­tah, penolakan disuarakan Golkar lantaran komentar Jafar. Kata Akbar, sikap ini sudah dipikirkan secara matang alias tidak ujug-ujug. Yang jelas, meski bersebe­rangan dengan pemerintah, Akbar memastikan, Golkar tetap ingin berada di barisan koalisi.

Mungkin karena itulah Golkar akhirnya mau mendukung opsi kedua dalam voting rapat pari­purna. Yaitu menambahkan ayat 6a pada Pasal 7 UU APBN 2012 yang isinya memberi kesempatan pada pemerintah menyesuaikan harga BBM dengan syarat: selama 6 bulan ke depan harga minyak dunia mengalami ke­naikan atau penurunan lebih dari 15 persen.   

Berikut penuturan Akbar Tandjung kepada Rakyat Mer­deka, kemarin.

Menurut Anda, apa yang mem­buat Ical berani bersebe­rangan dengan SBY?

Alasannya, sebagai anggota koa­lisi kita juga diberikan kesem­patan untuk menyampaikan pandangan-pandangan dan pi­kirannya. Alasan lain, karena Golkar harus memperhatikan aspi­rasi rakyat. Apalagi dalam segi hitung-hitungan APBN kalau kenaikan minyak dunia itu di bawah 15 persen dari Indonesia Crude Price (ICP) masih bisa di-cover alias nggak perlu naik. Kalau diatas itu bisa dipahami kalau harga minyak itu dinaikan.


Dengan sikap ini, apa Golkar ti­dak takut ditendang dari koa­lisi?

Setiap tindakan atau langkah yang diambil oleh partai tentu ada konsekuensinya. Ini tentu harus diperhitungkan. Yang pasti, setiap anggota koalisi punya perbedaan sikap soal ini. Misalnya di menit-menit ter­akhir rapat paripurna DPR, PKB minta harga BBM bisa naik jika harga minyak dunia naik 17,5 persen dari ICP.  Se­dang Golkar dan PAN sama-sama ingin angka 15 persen dan Demo­krat 5 per­sen.  Artinya di antara anggota-anggota koalisi itu pun ada per­bedaaan pendapat satu sama lain. Perbedaan itu ditolerir dan di­perbolehkan.

Apa keputusan Ketua Umum Golkar tidak mendukung ke­nai­kan harga BBM sudah dira­patkan sebelumnya?

Ya tentu ada mekanismenya. Dan saya kira tentu pimpinan partai, Pak Aburizal Bakrie sudah membahas hal ini dengan Fraksi Golkar.


Sebelum Pak Ical menyata­kan tidak mendukung kenaikan harga BBM, apa Anda sudah men­dapat kabar sebelumnya?

Kan pada waktu itu masih terus dibahas, tetapi belum di­capai ke­putusan final. Ya bisa saja ada pendapat yang menga­rah pada menyetujui adanya ke­naikkan, tapi yang menjadi final itu ya tentu ucapan Ketua Umum (Golkar). Memang saat hal ini dibahas di Banggar DPR, se­olah-olah semua anggota koalisi setuju, termasuk Golkar. Tetapi kan dalam politik per­kem­ba­ngan-perkembangan eksternal dijadi­kan pertim­bangan.


Apa sikap penolakan Golkar ini bisa dikatakan sama dengan menyatakan diri keluar dari bari­san koalisi?

Tentu tidak ada niat untuk keluar dari koalisi, karena dalam koalisi juga dibolehkan mem­punyai pendapat-pendapat beda. Yang penting pendapat itu me­mi­liki dasar yang kuat. Kalau me­mang ada opsi yang lebih baik, kenapa tidak.


Bukankan ini tanda koalisi retak?

Tentu tidak karena sekali lagi saya bilang, dalam koalisi di­mungkinkan untuk berbeda pendapat.


Ada yang bilang, pernyataan Pak Ical hanya sekadar cari sim­pati rakyat?

Ada dua hal yang saya mau katakan, Golkar itu ingin selalu berusaha menyuarakan aspirasi rakyat. Tapi Golkar juga me­ma­hami perhitungan-perhitu­ngan anggaran dan masalah-masalah detail, dan sejauh anggaran ma­sih bisa disesuai­kan untuk tidak me­naikan BBM maka itulah posisi Golkar. Artinya Golkar tetap mem­perhatikan keinginan untuk menaikan BBM, tetapi Golkar juga punya kepentingan untuk mengakomodasi keingi­nan rak­yat yang tidak meng­hen­daki ada­nya kenaikan. Kalau dari hitu­ngan anggaran sudah berat untuk tidak menaikkan BBM, maka disitulah Golkar akan menyetujui kenaikan harga.


Menurut Anda, apa yang me­nyebabkan kebijakan pemerin­tah menaikkan BBM tidak di­dukung rakyat?

Menurut saya pemerintah ku­rang memiliki komunikasi politik yang baik, sehingga masyarakat tidak mengetahui secara persis alasan utama terjadinya kenaikan. Kalau ada komunikasi yang baik mungkin masyarakat akan bisa lebih memahami.

Itu saya lihat tergantung ke­pada kemampuan pemerintah memberikan penjelasan kepada masyarakat. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA