WAWANCARA

Haryono Umar: Di KPK Semua Boleh Berpendapat Tapi Pimpinan Yang Menentukan

Minggu, 01 April 2012, 08:47 WIB
Haryono Umar: Di KPK Semua Boleh Berpendapat Tapi Pimpinan Yang Menentukan
Haryono Umar

RMOL. Bekas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menuturkan, Komite Etik KPK bisa memeriksa pimpinan KPK. Karena bidang pengawasan KPK hanya bisa mengawasi setingkat deputi, dirjen dan ke bawah.

“Komite etik ini terdiri dari unsur pimpinan,penasehat dan pihakdari luar KPK. Diharapkan pihak dari luar inilah lebih ba­nyak,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemaAap pembe­rantasan korupsi. Jika penyidik KPK meminta dibentuk komite etik untuk memeriksa ketua KPK Abraham Samad, harus dapat persetujuan dari pimpinan KPK.

Pembentukan komite etik men­jadi kewenangan pimpinan. Pim­pinan akan menilai diperlukan atau tidak komite etik. Jika pim­pinan menilai diperlukan, maka bisa saja dibentuk.

Berikut kutipan selengkapnya:

Jika pimpinan KPK merasa tidak perlu dibentuk, keinginan pe­nyidik bentuk komite etik gagal dong?

Kalau pimpinan merasa tidak perlu, ya tidak dibentuk. Karena hal tersebut menjadi kewenangan dan domainnya pimpinan terma­suk Abraham Samad dan pim­pinan KPK lainnya.

Memang, di KPK semua orang berhak menyampaikan pendapat. Tetapi keputusannya ada di tangan pimpinan KPK, karena pegawai lainnya bekerja atas nama pimpinan.

    

Bagaimana jika sikap pimpi­nan justru saling bersebera­ngan?

Semua hak dan kewajiban pim­pinan itu sama. Kalau saling ber­seberangan, saya rasa pasti ada jalan keluarnya. Saya yakin pasti ada jalan keluarnya. Nggak ada yang tidak bisa diselesaikan.

   

Abraham menilai, keinginan ter­­sebut karena ingin menying­kir­kan dirinya. Komentar Anda?

Saya yakin pimpinan KPK cu­kup arif dan luas pandangannya mengatasi segala persoalan-per­soalan yang sedang dihadapi. Memang harus diakui jika per­soalan di KPK tidak akan habis, akan terus ada.


Apakah kondisi tersebut mem­buat isu perpecahan di KPK selama ini benar terjadi?

Nggaklah. Karena kami dulu juga sering berbeda pendapat dan pandangan. Kalau berbeda pen­dapat dan pandangan itu semua orang punya hak dan berhak me­nyampaikan pendapatnya. Inter­vensilah yang tidak boleh. Pim­pinan pun tidak boleh meng­inter­vensi penyidik dan lainnya.

   

Anda tidak yakin kabar ter­jadi perpecahan di KPK?

Saya sendiri tidak mengetahui pasti perkembangan di dalam KPK seperti apa. Waktu periode saya, sebelum memutuskan, di­gelar terlebih dahulu satu persatu pasalnya.

Semuanya dibahas, termasuk penyidik, penuntut dan pimpinan KPK. Kalau ada dua barang bukti kuat, silakan diumumkan jadi ter­sangka.

Saya menilai, kinerja KPK se­­karang yang su­dah berja­lan se­­ki­tar tiga bulan, ma­sih on the track. Arti­nya, terus melakukan upaya-upaya penin­dakan dan pence­ga­han dan belum ada ka­sus yang ber­henti.

   

Penyidik me­­nilai Abra­ham me­nyalahi pro­­sedur saat pe­ne­ta­pan Ange­lina Sondakh jadi ter­sang­ka, sehingga me­minta dibentuk komite etik. Ko­mentar Anda?

Jadi begini. Penyidik itu kan me­nyampaikan tugas-tugasnya dan menunjukkan pasal-pasal. Tapi keputusannya ada di tangan pimpinan untuk segera mengu­mum­kan. Kalau semuanya sudah ber­pendapat, baru diputuskan setelah melalui musyawarah.

Menangani kasus sangat ber­hati-hati. Perlu diingat, panda­ngan penuntut sangat penting, karena dialah yang akan menun­tut di persidangan. Penuntut me­mahami aspek-aspek hukum yang kuat.


O ya. DPR berniat merevisi UU KPK. Anda mendukung niat DPR itu?

Itu isu lama, sejak zaman saya dulu. Katanya sudah masuk pro­legnas. Sebetulnya kalau melihat dari sisi pencegahan, memang masih kurang. Misalnya menge­nai LHKPN (Laporan Harta Ke­kayaan Pejabat Negara), ka­rena baru ada satu pasal.

   

Perlu direvisi dong?

Sejauh ini Undang-Undang KPK itu sudah cukup memadai untuk dijalankan. Jadi revisi itu tidak penting sekali untuk di­lakukan. Yang perlu dilakukan hanya semacam Peraturan Peme­rintah (PP) untuk memperkuat sisi pencegahan mengenai LHKPN dan gratifikasi.

   

Kenapa hanya PP?

Karena untuk memperkuat pasal. Gratifikasi itu masih belum begitu jelas, sehingga semua bisa dianggap gratifikasi. Jadi tidak perlu direvisi UU KPK, keluar­kan PP saja untuk LHKPN.

   

Bagaimana dengan peninda­kan?

Kalau penindakan saya rasa sudah jelas ada 36 pasal yang ber­kaitan dengan penindakan. Ter­masuk berkaitan dengan penya­dapan dan penyelidikan. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA