WAWANCARA

Yusril Ihza Mahendra: Wakil Menteri Bubarin Saja

Jumat, 30 Maret 2012, 10:49 WIB
Yusril Ihza Mahendra: Wakil Menteri Bubarin Saja
Yusril Ihza Mahendra

RMOL. 19 wakil menteri (Wamen) yang direkrut SBY di kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bisa saja harap-harap cemas. Ka­rena, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menghitung hari untuk memutuskan gugatan keabsahan jabatan tersebut.

Jabatan Wamen digugat ke MK sejak Desember 2011 oleh ke­lompok masyarakat yang mena­ma­kan diri, Gerakan Nasional Pem­berantasan Tindak Pidana Ko­rupsi (GN-PK). Mereka me­nilai, pasal 10 UU Nomor 39 Ta­hun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945. Konstitusi, kata mereka, tidak mengenal adanya jabatan Wakil Menteri. Mereka menilai, keputusan Presiden mengangkat Wamen inkonstitu­sional.

Belakangan, gugatan ini di­dukung bekas Menteri Hu­kum dan HAM Yusril Ihza Ma­hendra. Ada dugaan, dukungan Yusril sebagai kelanjutan ‘per­tem­puran’ dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indra­yana, yang sebelumnya berseteru soal moratorium remisi bagi koruptor.

MK tak melihat konflik Yusril Vs Denny dalam memutuskan gugatan tersebut. Ketua MK, Mahfud MD memastikan tetap akan objektif dan prosedural mengeluarkan keputusan.

“Semua sesuai prosedur pem­buktian. Mengenai cenderung mengabulkan itu tidak ada,” kata Mahfud menepis anggapan MK bakal mengabulkan gugatan tersebut. Mahfud tak bisa me­masti­kan kapan gugatan ini di­ketok.

Mengapa Yusril mendukung gugatan ini, dan bagaimana perasaan para wakil menteri, berikut penuturan Yusril dan Wakil Menteri ESDM Widja­jono Partowidagdo.

Kenapa Anda dukung gugatan jabatan Wamen di MK?

Jabatan Wamen dalam struktur pemerintahan tidak diatur dalam UUD 1945. Untuk itu, MK harus mem­batal­kannya.


Anda yakin keputusan itu bakal dikabulkan MK?

Kita tunggu sajalah keputusannya.


Kenapa Anda bersikukuh agar ja­ba­tan Wamen dihapus?

Seperti sudah saya kemukakan da­lam sidang MK, sebagai ahli yang dipanggil untuk menerangkan masa­lah ini, saya berpendapat bahwa jaba­tan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Satu-satunya ja­batan wakil yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 45 hanya jabatan wakil presiden, nggak ada di­sebut wakil menteri. Bahkan wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota juga nggak ada. Nah dalam prak­teknya wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota juga nggak ba­nyak manfaatnya.


Apakah keputusan presiden tidak cukup menjadi dasar adanya jaba­tan wamen?

Yang akan diputuskan ini kan bukan mengenai ke­putusan presiden, ini kan mengenai Undang-Un­dang Kemente­rian Ne­gara. Undang-undang Kemen­terian Negara mengatur tentang wakil menteri, jadi yang diuji di MK itu Un­dang-un­dang ter­hadap Undang-Un­dang Dasar, Un­dang-Undang Dasar me­ngatakan ha­nya ada men­teri, tapi Un­dang-un­dang Ke­men­­­te­rian menga­ta­kan ada wa­­kil me­n­­­teri. Jadi nor­ma un­dang-undang itu diuji dengan norma Undang-Undang Dasar. Dan MK ber­wenang untuk mem­batalkan itu.


Jika peraturan ini dibatalkan, apa­kah ada kemungkinan dibuat kem­bali peraturan untuk menyiasati ada­nya jabatan wamen?

Enggak bisa. Kalau MK sudah mem­batalkan pasal itu, otomatis tidak berlaku, kalau tidak berlaku kan oto­matis akan dicabut dari Undang-Undang Kementerian Negara. Kalau itu dimasukin lagi oleh SBY, kan aneh, nggak mungkin lah itu, itu namanya melawan MK.


Ada anggapan, pemilihan wamen adalah hak prerogatif presiden?

Enggak ada prerogatif presiden, sumpah presiden kan presiden akan taat kepada Undang-Udang Dasar dan segala perturan-peraturan selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, jadi kalau itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bagaimana itu bisa dibilang hak prerogatif presiden?


Apa sih yang menyebabkan jaba­tan wamen muncul?

Sebenarnya pertanyaan itu bukan ma­salah hukum, itu masalah politik dan administrasi negara. Tapi kalau tanya pada saya sebagai orang hukum tata negara, saya menyatakan itu ber­tentangan dengan Undang-Undang Dasar dan harus dibatalkan, itu saja.


Di luar masalah hukum, apakah ja­batan ini berguna untuk mem­bantu kinerja menteri?

Kalau menurut saya, tidak ada guna­nya, dan dalam sejarah republik Indo­nesia jabatan wakil menteri itu cuma ada dalam kabinet RI yang pertama, tanggal 5 September tahun 45 sampai tanggal 16 Oktober tahun 45, sudah itu tidak pernah ada jabatan wakil men­teri, kecuali zamanya SBY.


Di zaman Soeharto bukannya ada menteri muda?

Ya, di jaman Soeharto pernah ada menteri muda di samping menteri tetapi dengan job yang jelas. Di zaman SBY ini, job-nya tidak jelas. Di zaman Pak Harto, menteri muda full anggota kabinet, itu pun tabrakan dengan men­teri muda dan menteri yang bersang­kutan. Sejak itu Pak harto nggak mau lagi ada menteri muda. Kini, SBY bikin lagi wakil menteri yang bukan anggota kabinet, tambah kacau lagi, kemudian wakil menteri itu jobnya tidak jelas, seperti Denny Indrayana, segala macam dikerjain. Kalau diana­lisis dari segi politik, jabatan Wamen mengacaukan birokrasi pemerintahan, tidak efisien dan menimbulkan potensi konflik di sebuah negara.


Bagaimana dengan argumen bah­wa tugas Wamen untuk me­ringankan tugas menteri?

Mereka kan bisa bilang begitu, tapi kan jobnya mesti jelas, sekarang begini disitukan ada sekjen, nah sekjen itu harus tunduk kemana? Perintah men­teri atau wamen? Kan menimbulkan ke­bingungan di dalam kementerian. Kewenangannya tidak jelas.


Sampai saat ini wamen dan men­teri terlihat kompak?

Ya Anda selidiki saja, tapi wakil gu­bernur, bupati dan wali kota konflik dimana-mana, wakil presiden saja konflik, padahal dia diatur dalam undang-undang. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA