WAWANCARA

Mahfud MD: Vonis MK Tidak Legalkan Perzinaan

Senin, 26 Maret 2012, 09:23 WIB
Mahfud MD: Vonis MK Tidak Legalkan Perzinaan
Mahfud MD

RMOL. MUI menilai vonis MK ter­­kait hak anak di luar ni­kah over­dosis dan meminta umat Islam tidak mengi­kuti vonis MK, bagaimana ko­mentar Anda?

Vonis MK itu sudah se­jalan dengan fatwa MUI. Mengikuti vonis MK itu sama dengan mengikuti fatwa MUI. Keduanya sama-sama ingin meng­hindari perzinaan.

Ada atau tidak ada vonis MK, perzinaan itu tetap di­larang oleh hukum. Sebab per­zinaan adalah cara bina­tang. Se­mangat vonis MK dan fatwa MUI itu sama.

    

Berarti, vonis MK bu­kan me­le­galkan per­zina­an?

Jadi begini. Vonis MK dan MUI itu se­mangat­nya sama, yakni sama-sama ingin meng­­hindari per­zinaan. Se­mangat para hakim MK ini merupakan semangat untuk menghindari perzi­naan de­ngan mem­beri ram­bu hukum agar laki-laki tak sem­ba­rangan berzina.

Dengan vonis MK ini, maka laki-laki jangan enak-enak saja. Mereka bisa di­tuntut tanggung jawab se­cara hukum. Mana yang me­legalkan per­zinaan? Kami justru benci pada per­zinaan, maka harus ada instrumen hu­kum yang mengancam­nya.

   

Tapi, kenapa MK mem­beri hak keperdataan?

MK itu menegakkan kons­­ti­tusi, setiap manusia punya mar­tabat, setiap anak lahir harus dilindungi. Di dalam Islam ada hadits Nabi bahwa setiap orang itu lahir dalam keadaan fitrah atau tanpa dosa. Jadi, ke­dua orang tua­nya tidak boleh seenak­nya, harus ber­tang­gung jawab. Saya melihat konstitusi itu me­ngikuti agama-agama, memulia­kan manusia dan melarang per­zinaan. Vonis MK juga memberi hak ke­perdataan pada anak hasil kawin siri yang sah.

   

Maksud Anda?

Ya, selama ini orang ka­win siri dianggap melanggar hukum karena tidak dicatat­kan menurut undang-un­dang. Padahal kawin siri yang di­la­kukan sesuai de­ngan ajaran agama masing-masing adalah sah. Dengan vonis MK, anak yang lahir dari kawin siri bukanlah anak yang tidak sah, tapi anak sah dan punya hak ke­perdataan yang bisa dituntut ke pengadilan, asalkan bisa dibuktikan punya hu­­bungan darah. Apakah ini mele­gal­kan perzinaan? Jawaban­nya pasti tidak.

Jadi, anak lahir di luar nikah punya hubu­ngan ke­perdataan de­ngan ayah­nya?

Itu salah paham atas kon­sep hak keperdataan. Hu­bungan keperdataan tidak selalu sama dengan hu­bungan nasab. Hu­bu­ngan keperdataan dari ka­win siri bisa melahirkan hubungan nasab, tetapi hu­bungan ke­per­dataan dari anak yang lahir ka­rena per­zinaan bu­kan hu­bungan nasab.

Jadi, hak keperda­taannya bisa hak-hak lain yang di luar hu­bungan nasab, misal­nya hak menuntut pem­bia­yaan pen­didikan, hak me­nuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hu­kum yang merugikan orang lain seperti diatur dalam Pasal 1365 KUH Pedata, meng­gugat karena ingkar janji, dan hak-hak lain yang bukan hak nasab, bukan hak waris, atau hak apapun yang me­nurut fiqih bukan hak dalam munakahat.

Itu bisa diatur lebih tegas oleh Kementerian Agama, Kemen­terian Dalam Negeri, dan Ke­men­terian Hukum dan HAM. MK hanya me­negaskan posisi hukumnya saja sesuai dengan kons­titusi.

   

MK tidak keberatana atas fatwa MUI?

Sama sekali tidak kebe­ratan. Po­­koknya, ikutilah fatwa MUI. Kalau fatwa MUI dan vonis MK sama-sama diikuti, maka ma­sya­rakat akan lebih baik. Be­gitu saja, kok diper­ten­tang­kan. Hu­kum anti perzinaan harus dite­gakkan, tetapi hak asasi setiap manusia juga harus dilindungi. Mana yang berten­tangan, sih? [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA