RMOL. Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mendesak DPR segera membentuk Undang-Undang (UU) yang khusus mengatur dan menjaga martabat peradilan di Tanah Air. Karena akhir-akhir ini banyak pihak seperti pengacara maupun masyarakat yang menyebut hakim tidak profesional.
“Mereka menyebutkannya dalam bahasa yang kasar seperti, hakim brengsek, goblok dan lainnya. Ini mencuat di beberapa pertemuan. Kondisi ini sangat memprihatinkan dunia peradilan kita,†katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Dia memimpikan ada UU tenÂtang contempt of court atau peÂnistaan peradilan untuk menyiÂkapimaraknya penghinaan terÂhadap peradilan baik di dalam maupun di luar sidang.
Diakui bekas anggota DPR dari PDIP ini, dalam menjalankan keÂwenangannya, hakim tetap indeÂpenden. Jika masyarakat tidak puas atas putusan hakim, wajar-wajar saja namun ada mekanisÂmenya. “Kalau kepuÂtusanÂnya dinilai tidak adil, ya lakukan upaya banding atau lanjutan lainÂnya, jangan malakukan penistaan terhadap hakim,†katanya. Selain itu, Gayus juga bicara soal gaji hakim yang tak pernah naik seÂlama empat ini. Berikut kutipan selengkapnya:
Banyak. Misalnya advokat, jaksa, dan termasuk pengunjung di pengadilan. Tetapi saya tidak mau menyebutkan nama seÂseorang.
Bukankah ada juga hakim yang melakukan hal sama?
Kalau hakimnya tidak profeÂsional dalam bersikap, ada atuÂranÂnya juga dalam Pedoman PeriÂlaku Hakim (PPH) yang dianggap sebagai perbuatan unprofessional conduct. Jadi hak contempt of court dan unprofesional conduct tidak hanya dilakukan di dalam persidangan, tetapi juga di luar sidang.
Pada penjelasan umum UnÂdang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diamanatkan dibuat undang-undang khusus yang mengatur tentang contempt of court. NaÂmun hingga kini, belum pernah dilaksanakan. Karena itulah DPR dan pemerintah perlu memÂbuatnya.
Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menilai keberadaan UU penistaan peradilan tidak diÂperlukan. Komentar Anda?
Memang saudara Benny K Harman sebagai Ketua Komisi III DPR, di Koran Kompas beberapa waktu lalu menilai seperti itu, karena alasannya ada dalam Undang-undang No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Pernyataan beliau ini sangat meÂnyesatkan, karena Komisi Yudisial hanya memberikan weÂwenang untuk melakukan pengaÂwasan terhadap tingkah laku haÂkim, di samping menetapkan calon Hakim Agung.
Komisi Yudisial tidak punya wewenang terhadap penistaan peradilan?
Ya dong. KY ini tidak melaÂkuÂkan wewenangnya terhadap peÂnistaan peradilan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain. Seperti yang dilakukan advokat, jaksa atauÂpun masyarakat yang melaÂkukan penistaan yang diartikan sebagai tindakan contempt of court yang ditegaskan oleh Undang-undang MA No.14 tahun 1985 yang kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Maksud UU itu?
Undang-Undang itu diamanatÂkan untuk membuat sebuah UnÂdang-Undang yang menjaga marÂtabat penadailan dan menjatuhÂkan sanksi terhadap siapa pun yang melakukan penistaan atau penghinaan terhadap pengadilan.
O ya, sudah empat tahun haÂkim-hakim di daerah gajinya tidak pernah naik. Komentar Anda?
Jadi begini. Mengenai kondisi gaji pokok hakim sebagai PNS pejabat negara diatur dalam peÂraturan pemerintah Nomor 8 tahun 2000. Sedangkan gaji pokok PNS diatur dalam PP Nomor 7 tahun 1977.
Sebelumnya, gaji pokok hakim sebagai pejabat negara masih lebih besar dibanding gaji pokok PNS dengan selisih sekitar Rp 200.000. Tetapi dikarenakan gaji pokok PNS naik hingga 11 kali, maka gaji hakim menjadi lebih rendah dari PNS.
Lalu, bagaiÂmana sikap MA?
Kondisi tersebut sangat memÂprihatinkan terutama bagi haÂkim-hakim di daerah terÂpencil. Di samping tunÂtutan pengabÂdian dan dediÂkasi hakim daÂlam tuÂgasÂnya. Hal ini disamÂpaikan Ikatan HaÂkim Indonesia (Ikahi) di Daerah Sumsel dan NTT melalui tim pengkaji Ikahi NTT tentang gaji pokok hakim pada tahun 2011.
Mereka mengharapkan agar Ikahi Pusat bisa memperjuangÂkan kenaikan gaji pokok hakim secara wajar. Surat hasil kajian dan permohonan perhatian terÂsebut saya terima dari Pengurus Ikahi Sumsel ketika saya memÂberikan pelatihan di Palembang, Februari lalu.
Karena itulah, MA harus memÂbawa masalah ini ke DPR. Tetapi kami juga belum tahu kapan akan dibicarakan dengan DPR, karena tergantung dari IKAHI pusat.
Apakah gaji yang kurang itu bisa mempengaruhi kinerja haÂkim?
Sebagian dari mereka ada yang nyambi sambil menjadi supir angkot seperti hakim di KaliÂmanÂtan. Kita tentunya mendesak agar DPR segera mengevaluasi kemÂbali masalah ini agar kerja hakim ini semakin baik. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: