"Terus terang saya mengkhawatirkan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) karena terlalu banyak yang harus dipersiapkan di satu sisi terlalu banyak kendala yang dihadapi," kata Said di Jakarta, Kamis (22/3).
Dia memberi contoh pendekatan formalitas dan badan hukum yang akan digunakan sistem jaminan kesehatan. "Nanti, orang berobat patah tulang ke Cimande dan sembuh tidak ditanggung, sementara yang berobat ke dokter dengan kaki dipotong dibayar badan penyelenggara jaminan sosial," kata Said.
Dia juga mengkritisi besaran anggaran yang ditanggung pemerintah bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Besaran itu terkait penentuan item layanan kesehatan yang diberikan bagi peserta jaminan sosial.
Hal lain yang perlu dicermati, kata Said, kualitas layanan kesehatan bagi pekerja yang menjadi peserta program Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) PT Jamsostek. "Selayaknya, kualitas layanan tidak menurun karena mereka sudah membayar dalam jumlah tertentu dengan kualitas layanan tertentu pula," katanya.
Seperti diketahui, kalangan pekerja pun menginginkan kualitas layanan yang sama seperti yang mereka dapat saat ini.
Dilain pihak, PT Jamsostek sendiri sudah memberi manfaat tambahan bagi peserta program JPK berupa pemeriksaan kesehatan (medical check up), hemodialisa (cuci darah), operasi jantung, pengobatan kanker, dan pengobatan HIV/AIDS.
Secara terpisah, Direktur Kepesertaan PT Jamsostek Ahmad Ansyori menyatakan perlu dibahas dan diinformasikan secara luas tentang standar jaminan kesehatan. Dalam sistem jaminan sosial, tidak boleh ada perbedaan besaran iuran dan kualitas layanan.
Ansyori juga menilai perlu pembahasan yang mendalam pada persiapan dan proses transformasi BUMN menjadi badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS).
UU No.24/2011 tentang BPJS mensyaratkan perubahan PT Askes menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014.
[arp]
BERITA TERKAIT: