PEMALSUAN SURAT MK

Sangkaan Bareskrim Terhadap Panitera MK Terancam Kandas

Selain Belum Mampu Tetapkan Tersangka Baru

Minggu, 12 Februari 2012, 10:36 WIB
Sangkaan Bareskrim Terhadap Panitera MK Terancam Kandas
Zainal Arifin Hoesin
RMOL. Sangkaan Polri bahwa bekas panitera Mahkamah Konstitusi Zainal Arifin Hoesin terlibat kasus surat palsu putusan MK, terancam kandas.

Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman menjelaskan, belum lengkapnya berkas perkara (P-19) tersangka Zainal Arifin Hoe­sein terkait pada masalah pem­buktian. Sehingga, Kejak­sa­an Agung mengembalikan berkas tersebut ke Bareskrim.

Jaksa peneliti kasus ini menilai, berkas kurang lengkap karena tidak menyertakan bukti berupa re­kaman telepon dan data ko­munikasi tersangka dengan pihak lain yang dicurigai terlibat per­kara tersebut.

Petunjuk jaksa, kata Sutarman, tengah dilengkapi penyidik Polri. Persoalannya, lanjut Sutarman, yang diminta jaksa masuk ka­te­gori bukti yang sulit. Pasalnya, buk­ti berupa rekaman pembi­ca­ra­an telepon tersangka dengan pihak lainnya telah hilang.

Hilangnya data tersebut, me­nurutnya, selama ini jadi kendala da­lam menyeret tersangka baru ka­sus ini. Namun, katanya, ke­po­lisian tetap berupaya opti­mal melengkapi berkas perkara ter­sangka Zainal. Apalagi, leng­kap­nya berkas perkara tersebut akan membantu kepolisian menen­tu­kan siapa tersangka baru kasus ini.

Kendati belum mampu meme­nuhi bukti seperti yang diminta kejaksaan, Sutarman menampik penilaian bahwa pihaknya tidak profesional mengusut perkara ini.

Usaha mengumpulkan bukti le­wat penggunaan teknologi infor­masi, katanya, telah dilakukan jajaran Satuan Cyber Polri ber­sama Direktorat I Pidana Umum (Dit I Pidum) Bareskrim Polri. Selain itu, kepolisian memakai jasa ahli teknologi informatika un­tuk melacak data di server milik Telkom. “Kami ber­koor­dinasi dengan Telkom untuk me­lacak bukti,” katanya.

Koordinasi dengan Telkom mem­buahkan hasil berupa izin untuk mengkloning data dari komputer Telkom. Data itu berisi daftar nomor telepon orang yang dicurigai. Selain mengantongi izin mengambil data dari kom­puter Telkom, kepolisian juga da­pat kesempatan men-taping re­kaman pembicaraan telepon orang-orang yang dicurigai.

Tapi, lanjut Sutarman, karena percakapan telepon itu terjadi dua tahun lalu, kepolisian tidak me­nemukannya. Dengan kata lain, materi pembicaraan via tele­pon anggota KPU Andi Nurpati, caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo, hakim MK Arsyad Sanu­si, juru panggil MK Masyhuri Ha­san dan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein belum didapat kepolisian.

Akibatnya, alasan Sutarman, ke­polisian belum bisa mene­tap­kan tersangka baru. Selain itu, be­lum adanya bukti berupa re­ka­man percakapan telepon bakal me­nyulitkan polisi melengkapi ber­kas perkara Zainal. “Bukti ini sangat penting dan sulit,” katanya.

Pentingnya bukti berupa reka­man telepon ini dilatari penga­ku­an terpidana Masyhuri Hasan. Di persidangan, bekas juru panggil MK ini menyatakan, beberapa kali menerima telepon dari se­jum­lah orang seperti Andi Nur­pati yang meminta surat segera dikirim. Sedangkan kontak te­lepon dengan Dewi Yasin Limpo, sebutnya, berisi agar salinan surat MK segera disampaikan ke KPU.

Fakta persidangan itu, tambah Kabagpenum Polri Boy Rafli Amar, dikembangkan kepolisian. Serangkaian penelusuran pun dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dimaksud. Namun bukti percakapan telepon yang sudah berumur dua tahun itu, katanya, belum diperoleh ke­polisian. â€Tentunya penyidik pu­nya dasar dan bukti yang cukup dalam menetapkan status ter­sang­ka pada Zainal,” katanya, me­nanggapi pertanyaan bagaimana jika jaksa tetap meminta Polri melengkapi bukti telepon dalam berkas perkara Zainal. 

Boy juga mengatakan, ke­po­lisian tengah mencari penyebab hilangnya data telepon dan re­kaman telepon milik Telkom. Jika ada pihak tertentu yang dengan sengaja menghilangkan data ter­sebut, kepolisian akan menga­m­bil tindakan tegas.

Menurutnya, data Telkom ter­se­but sangat krusial. Soalnya, data itu bisa menunjukkan siapa dan berapa kali kontak telepon antar mereka yang dicurigai terjadi. Selain itu, bisa menjadi petunjuk seputar materi percakapan.

REKA ULANG

Terpidananya Baru Sekelas Juru Panggil MK

Penanganan kasus surat palsu putusan Mahkamah Kons­titusi (MK) di kepolisian baru menyeret bekas juru panggil MK Masyhuri Hasan dan bekas pa­nitera MK, Zainal Arifin Hoesein sebagai tersangka.

Menurut Kepala Badan Re­ser­se dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman, bukti-bukti yang belum cukup memunculkan kendala dalam menetapkan ter­sangka baru.

Sutarman beralasan, salah satu kendala yang dihadapi adalah belum ada bukti rekaman ko­mu­ni­kasi telepon yang dapat dide­tek­si. Padahal, polisi mem­bu­tuh­kan rekaman pembicaraan tele­pon sejumlah orang-orang yang dicurigai.

Dengan dalih belum cukup buk­ti, Bareskrim Polri pun belum mampu menjerat be­kas ko­mi­sioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati sebagai ter­sangka kasus ini.

“Untuk Andi Nurpati, sampai saat ini kami be­lum menemukan bukti-bukti yang kuat untuk men­jadikan dia sebagai tersangka,” kata Kadiv­humas Polri Irjen Saud Usman Nasution.

Namun, dia menyatakan, ke­po­lisian masih mendalami ket­er­libatan Andi dalam kasus surat palsu MK nomor 112 tanggal 14 Agustus 2009. Penyidik masih melakukan pemeriksaan dan menunggu bukti baru.

“Bisa ada dua kemungkinan. Per­tama, me­mang tim kami ma­sih melakukan penyelidikan. Ke­dua, memang tim kami me­nunggu ada infor­masi dari pihak manapun. Jika informasinya sig­nifikan untuk kasus itu, kami akan tampung,’’ ucapnya.

Saud menyatakan, penyidik belum memanggil kembali saksi-saksi yang pernah diperiksa untuk menindaklanjuti hasil persi­da­ngan bekas  juru panggil MK, Masyhuri Hasan. Masyhuri telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Januari.

Seperti diberitakan, awalnya Masyhuri mengirimkan surat palsu yang berbeda dengan amar putusan MK bernomor 084. Dalam surat jawaban palsu MK nomor 112 tanggal 14 Agustus 2009 tertulis kata “penambahan” suara untuk Partai Hanura.

Adapun surat asli nomor 112 tanggal 17 Agustus 2009 yang dikirim belakangan berisi kata “jumlah” suara.  Akibat kata “pe­nambahan” itu, suara Partai Ha­nura di tiga kabupaten di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I bertambah sehingga mendapat jatah satu kursi legislatif.

Akhirnya, Dewi Yasin Limpo ditetapkan KPU sebagai caleg ter­pilih. Belakangan, putusan itu di­batalkan karena MK menge­ta­hui ada pemalsuan surat jawaban ke KPU tersebut.   

Andi Nurpati saat menjadi ko­misioner KPU sempat memimpin rapat pleno KPU pada 21 Agustus 2009. Keputusan pleno me­mu­tuskan sengketa perolehan suara DPR dari Dapil I Sulawesi Se­latan dengan menggunakan surat palsu tersebut.

Menanggapi belum cukupnya bukti di tangan kepolisian, Ketua MK Mahfud MD menyerahkan se­penuhnya kepada Polri untuk kelanjutan kasus ini. “Jadi, te­r­serah Polri,” katanya.

Ada Beban Psikis Di Personel Polri

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa menyatakan, upaya kepolisian menelusuri kasus pemalsuan surat putusan MK, terancam berantakan. Di­perlukan terobosan dan upaya sistematis dalam mencari siapa otak di balik perkara ini.

“Polisi mempunyai kemam­pu­an untuk mencari siapa otak di ba­lik kasus ini. Persoalan­nya, saat ini kepolisian memi­li­ki be­ban psikis teramat berat,” nilai anggota DPR dari Partai Ge­­rindra ini.

Di satu sisi, menurutnya, ke­po­lisian punya kewajiban me­nyelesaikan masalah hukum yang ada. Tapi di sisi lain, jika skandal hukum ini diusut tun­tas, ada juga kekhawatiran ba­kal menimbulkan dampak politis yang besar. Dilema yang seperti ini, tambahnya, se­ring­kali mencuat dalam menangani suatu persoalan.

Ekses  dari upaya penegakan hukum yang seringkali memicu persoalan tertentu, kata dia, se­mestinya ditanggapi secara arif dan bijaksana. “Jangan sampai menimbulkan hal-hal yang ti­dak diinginkan. Apalagi memi­cu keresahan dan kerawanan sosial,” ujarnya.

Dia menggarisbawahi, prin­sip pe­negakan hukum yang ada di pun­dak kepolisian hen­dak­nya te­tap dikedepankan. Mak­sud­nya, slogan hukum sebagai panglima semestinya menjadi pe­doman da­lam menentukan setiap lang­kah. “Hal tersebut ha­rus disadari dan bisa diim­ple­mentasikan da­lam kehidupan bernegara.”

Dasar hukum yang kuat, lan­jutnya, dengan sendirinya akan meminimkan resiko terjadinya kerawanan sosial akibat pe­na­nganan kasus hukum tertentu.

 â€œDengan begitu, peran ke­po­li­sian menuntaskan masalah hu­kum yang ada tidak menjadi bias. Mereka bisa lebih prog­resif menunjukkan komit­men­nya sebagai salah satu pilar pe­ne­gak hukum,” tandasnya.

Mesti Cari Bukti Alternatif

Fadli Nasution, Ketua PMHI

Ketua Perhimpunan Magis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution mengharapkan, kepolisian segera menemukan bukti untuk menyeret tersangka baru kasus surat palsu MK. De­ngan begitu, kredibilitas penye­lenggara pemilu di Tanah Air dapat terjaga.

“Aneh, kenapa kepolisian begitu sulit menemukan bukti-bukti yang bisa menjerat sese­orang sebagai tersangka baru,” ujarnya.

Logikanya, kata dia, kete­ra­ngan saksi dan bukti-bukti surat maupun dokumen yang ada seharusnya sudah bisa dianggap cukup untuk menyeret sese­orang sebagai tersangka.

Dia tak menampik anggapan jika bukti berupa rekaman tele­pon dan data telepon lainnya menjadi bukti paling valid. Namun, saat bukti itu dise­bu­t­kan telah hilang, hendaknya ada al­ter­natif lain yang bisa dite­rap­kan dalam mengusut perkara ini.

Menurut Fadli, fakta-fakta yang terungkap dalam persi­da­ngan Masyhuri Hasan bisa di­ka­tegorikan sebagai bukti pen­du­kung dalam menyingkap kasus ini.

Dia meminta kepolisian ti­dak fo­kus hanya menggali buk­ti di se­pu­tar teknologi in­for­masi atau cyber. Soalnya, jika terus-me­ne­rus melacak bukti dari sisi ini, upa­ya kepolisian akan mentok. Bun­tut-bun­tut­nya, mereka kem­bali beralasan tidak menemukan bukti-bukti. Dari situ dikha­wa­tir­kan, kasus ini berhenti sampai di sini.

Semestinya, polisi melacak siapa pihak yang telah meng­hi­lang­kan barang bukti. Apakah di­picu unsur kesengajaan manu­sia atau dilatari oleh rentanya piranti teknologi yang ada.

“Jika bukti-buktinya hilang, harus dicari siapa yang meng­hilangkannya. Nanti dari situ, teka-teki kasus ini pasti akan terjawab,” tuturnya.

Dia yakin, kepolisian mem­punyai kemampuan me­ngung­kap siapa otak yang meng­hi­lang­kan barang bukti tersebut. Hanya persoalannya, apakah kepolisian punya kemauan kuat menuntaskan perkara yang nota bene berpotensi mempengaruhi kredibilitas penyelenggara pe­mi­lu di Tanah Air ini. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA