Pengusaha Warteg Bakal Gugat Perda Pajak Restoran

Gandeng LBH Jakarta Sebagai Kuasa Hukum

Kamis, 09 Februari 2012, 08:56 WIB
Pengusaha Warteg Bakal Gugat Perda Pajak Restoran
ilustrasi/ist
RMOL.Merasa dibohongi dan dirugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait aturan pajak restoran, pengusaha Warung Tegal berencana melakukan gugatan judi­cial review terhadap Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran ke Mah­kamah Agung.

EDY Halomoan Gurning,  sa­lah satu pengacara dari Lem­ba­ga Bantuan Hukum (LBH) Ja­karta mengungkapkan, 55 orang per­wakilan Warteg da­tang ke kan­tornya.

Mereka keberatan ter­hadap pemberlakuan Perda No 11 tahun 2011 Tentang Pajak Restoran.    

Dalam pertemuan itu LBH Ja­karta diminta sebagai kuasa hu­kum­nya untuk mengajukan gu­ga­tan judicial review terhadap Perda tersebut ke Mahkamah Agung. “Ta­pi sebelum judicial review, ka­mi menyarankan untuk melakukan eksekutif review,” katanya.

Dijelaskan Edy, eksekutif re­view merupakan upaya yang ber­tujuan untuk memperoleh pen­jelasan terhadap definisi warung yang masuk kena pajak. “Kita akan melakukannya ke Pemprov DKI 2-3 minggu ini,” ucapnya.

Edy mengungkapkan, pengu­saha warteg siap memobilisir dan berbicara kepada pihak pe­me­rintah bahwa pemberlakuan pajak bagi warteg tidak layak.

Kalau upaya ini mengalami jalan buntu, maka judicial review ke Mahkamah Agung merupakan langkah hukum terakhir yang akan ditempuh.

Edy menjelaskan, pada perda sebelumnya, yakni Perda No­mor 8 Tahun 2003, definisi res­toran ada­lah tempat menyantap maka­nan dan/atau minuman yang dise­diakan dengan di­pungut biaya.

Sedangkan pada Perda Nomor 11 Tahun 2011 diperluas dengan menyebutkan jenis-jenis yang ter­masuk dalam kategori restoran, termasuk di antaranya warung.

“Definisi restoran perlu diper­jelas, kalau tidak warteg, warung padang, warung bakso dan lain­nya akan kena juga,” katanya.

Edy menjelaskan, pada perda baru itu terdapat aturan yang sangat diskriminatif. Misalnya, terhadap restoran yang pengelo­laannya satu manajemen dengan hotel tidak dikenai pajak,

Selain itu, lanjut Edy batas mi­nimal omzet kena pajak sebesar Rp 200 juta, setelah dihitung ternyata warung yang omzetnya Rp 550 ribu per hari maka akan kena pajak 10 persen tersebut.

“Seharusnya yang dinilai bu­kan brutonya, tapi dihitung Â­keun­tungannya omzet dikurangi mo­dal hasilnya keuntungan, itu yang benar,” ujarnya.

Edy menuturkan, subjek pajak dalam perda tersebut adalah orang-orang penikmat masakan war­teg yang mayoritas dari ma­syarakat lapisan menengah ke ba­wah. Jadi ketika dikenakan pajak 10 persen, maka mereka pun turut di­be­bankan untuk membayar pa­jak, sehingga ini akan mem­beratkan pelanggan.

Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta, Iwan Se­tiawandi mengatakan, pihaknya akan melakukan penelitian dan pendataan terhadap warteg se­belum bisa memastikan jumlah warteg yang dapat dikenakan pajak restoran sebesar 10 persen dari omzet per tahun sesuai Perda No 11/2011 tentang Pajak Res­toran.

Berdasarkan informasi dari DPP DKI, ada 11 ribu restoran dan 20 ribu warteg yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.

“Kami dapat informasinya dari Kope­rasi Warteg. Untuk memas­tikan itu, kami akan melakukan pendataan,” katanya.

Pendataan dilakukan untuk menghindari kesalahan penera­pan pajak restoran bagi warteg yang omzetnya di bawah Rp 200 juta per tahun.

Selama ini, usaha warteg di Ja­karta bervariasi. Mulai dari yang sederhana, menengah hing­ga di­kelola dengan manajemen usaha yang sangat baik.

Menurut dia, dengan adanya data pasti warteg beserta dengan omzet penjualan per tahun, maka da­pat membantu DPP DKI untuk menentukan metodologi pe­mu­ngutan pajak.

 Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan pendataan warung tegal (warteg) yang tersebar di Jakarta sebagai persiapan untuk memungut pajak warteg sebesar 10 persen.

Pendataan warteg akan dila­kukan Unit Pelayanan Pajak Dae­rah (UPPD) di 44 kecamatan sela­ma empat bulan, ditargetkan pa­da Juni 2012 sudah dapat dipe­ro­leh data pasti jumlah warteg berikut omzet penjualannya.

Sosialisasi Melalui Dialog Interaktif

Sandy, Anggota DPRD DKI Jakarta

Alangkah baiknya bila Di­nas Pelayanan Pajak DKI Ja­karta dan Asosiasi Warteg du­duk bersama untuk mencari titik temu terkait pemberlakuan pajak restoran.

Tujuan pungutan pajak pada warteg itu dalam rangka  mengi­kut­sertakan para pengu­saha warteg  berkontribusi mem­ba­ngun DKI Jakarta me­lalui pajak.

Apalagi, pemerintah daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Dalam penyerapan pajak, DPRD dan Pemprov DKI Jakar­ta sepakat akan melihat perbe­daan lokasi dan kondisi di lapa­ng­an dalam pemberlakuan pe­mu­ngutan pajak terhadap warteg.

Selama ini di lapangan ba­nyak warung yang beromzet be­sar tapi mereka tetap me­ngatakan sebagai warteg kecil.

Walaupun konsumen warteg kebanyakan kalangan  menegah ke bawah, tapi pemiliknya bukan termasuk dalam kedua golongan itu. Kalau omzetnya 500 ribu per hari artinya ia ter­masuk kalangan menegah ke atas.

Sebelum atuaran itu diber­lakukan kami bersama Pem­prov DKI juga akan melakukan sosia­lisasi melalui dialog interaktif.

Saya juga mengimbau kepa­da Dinas Pelayanan Pajak saat pengumpulan data harus jujur dalam mengumpulkan data secara objektif. Jangan sampai ada kongkalikong antara petu­gas di lapangan dengan pengu­saha warteg.

Silakan Saja Menggugat

Cucu Ahmad Kurnia, Jubir Gubernur DKI Jakarta

Pengaturan pajak restoran sudah diberlakukan sejak lama. Adanya Perda No 11 Tahun 2011 ini dalam rangka pening­katan pendapatan daerah.

Perda Nomor 11 tahun 2011 menyebutkan yang termasuk objek pajak adalah pengusaha yang omzet per tahunnya mini­mal Rp 200 juta atau per hari­nya mencapai 500 hingga 600 ribu.

Ketentuan perda sebelumnya mengatur pengusaha restoran yang kena pajak adalah yang memiliki minimal penghasilan Rp 30 juta per tahun. Kalau menggunakan perda lama jus­tru semua bisa dikatakan wajib pajak termasuk pengusaha war­teg, tapi tidak dilakukan Pem­prov DKI Jakarta atas dasar kemanusiaan dan penilaian yang berkeadilan.

Kita kembalikan semuanya kepada warga negara yang tinggal di DKI Jakarta, apakah akan mematuhi aturan yang dibuat pemerintah atau tidak.

Pajak merupakan sebuah kepedulian sekaligus kewajiban warga negara dalam melakukan pembangunan.

Kalaupun ada yang keberatan dan ingin menggugat ke Mah­kamah Agung silakan saja, itu hak warga negara. Kami ini ha­nya sebagai operator saja.

Kami Hanya Minta Kejelasan

Arief Muktiono, Sekjen Ikatan Keluarga Besar Tegal

Para pengusaha Warteg su­dah bertekad bulat mem­protes pem­berlakuan Perda Tentang Pajak Res­toran dengan menem­puh upa­ya hukum ke Mah­kamah Agung.

Kami merasa dibohongi Gu­bernur DKI Jakarta, Fauzi Bo­wo. Pada saat perda ini hendak dibuat di tahun 2010, dia me­nyatakan tidak akan menan­datangani satupun peraturan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Pernyataan itu disampaikan secara langsung kepada per­wakilan IKBT yang menemui­nya. Tapi sekarang justru Perda yang tidak berkeadilan itu di­tan­datangani.

Atas tindakan itu IKBT me­lalui musyawarah sepakat un­tuk meminta LBH Jakarta menjadi kuasa hukum untuk  melakukan judicial review.

Selain itu kami juga akan melakukan eksekutif review ke Gubernur atau minta penga­wa­san Kemendagri untuk mencari solusinya.

Yang dibutuhkan pengusaha warteg sebenarnya adalah, kejela­san kategori warteg yang dikena­kan pajak. Jangan karena ada lima warteg yang menonjol ramai dan ter­­sebar di Jakarta, Pemprov me­­nya­maratakan pe­mungu­tannya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA