KPK Bidik Tersangka Lain Kasus Korupsi Hutan Riau

Setelah Tahan Bekas Bupati Kampar

Rabu, 01 Februari 2012, 09:41 WIB
KPK Bidik Tersangka Lain Kasus Korupsi Hutan Riau
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
RMOL. Komisi Pemberantasan Korupsi masih membidik dugaan keterlibatan tersangka lain dalam kasus korupsi penebangan hutan alam di Pelalawan, Riau tahun 2005-2006. Para Bupati dan pengusaha di wilayah Riau, tampaknya bakal digilir KPK.

Setelah resmi menahan bekas Bu­­pati Kampar, Burhanuddin Hu­sain, KPK terus me­ngem­bang­kan kasus ini. Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo me­nya­takan, semua pihak yang diduga ter­kait  akan dimintai keterangan.

Semua pihak yang dimaksud, berasal dari bekas atasan, bawa­han serta kelompok pengusaha yang bekerjasama dengan ter­sang­ka. Kesaksian mereka di­anggap penting. Tidak tertutup ke­mungkinan, katanya, kasus ini saling berkaitan dengan kasus ko­rupsi hutan Riau lainnya.

Namun, Johan menolak me­nye­butkan identitas saksi-saksi yang telah dimintai keterangan. Dia menyatakan, keterangan sak­si-saksi kasus proyek peman­faa­tan hasil hutan tanaman di Pela­lawan tengah dikembangkan. “Bisa jadi, dalam proses pengu­sutan itu akan ada tersangka lain,” ujarnya.

Akan tetapi, Johan tak mau bu­ru-buru mengomentari apakah ka­sus ini akan dikembangkan ke pe­ngambil kebijakan di tingat pusat. Dia juga menolak ber­ko­men­tar soal berlarutnya proses pe­nahanan tersangka Burhanuddin.

Yang paling penting, katanya, KPK sudah menindak Burha­nud­din. Saat ini, untuk kepenti­ngan pe­­nyidikan kasus tersebut, ter­sang­­ka yang diduga turut me­rugi­kan negara sebesar Rp 470 miliar itu, dititipkan di Rutan Ba­reskrim Polri. “Penahanan di­laksanakan untuk kepentingan pe­nyidikan,” ujarnya.

Burhanuddin ditetapkan seba­gai tersangka pada 2008. Dia di­duga menyalahgunakan wewe­nang dalam jabatannya. Pe­nya­lah­gunaan jabatan terjadi tatkala tersangka menjabat Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Riau.

Dengan kewenangannya, dia mengeluarkan izin pengelolaan kekayaan hasil hutan kepada pe­ngu­saha tertentu. Padahal, hutan itu adalah hutan alam yang tak bo­leh ditebang. Bukan hutan ta­na­man industri. Pengusutan atas proses penerbitan izin tersebut, saat ini jadi pekerjaan rumah KPK. Soalnya, tak tertutup ke­mungkinan, terbitnya surat izin dipengaruhi atau diintervensi pi­hak luar. “Semuanya tengah da­lam proses penelusuran.”

Dalam kasus ini, selain Baha­ruddin, terdapat nama lain yang ikut dijadikan tersangka. Nama-nama itu adalah bekas Kadishut Riau, Syuhada Tasman. Ia dite­tapkan sebagai tersangka kasus yang sama pada awal 2011.

Sebelumnya, bekas Bupati Pala­lawan Tengku Azmuin Jafaar dan bekas Bupati Siak Arwin AS juga dituduh kesrimpet kasus sama. Akibat perbuatannya Teng­ku Azmuin divonis 11 tahun pen­jara dan Arwin lima tahun penjara.

Burhanuddin yang menghuni sel Rutan Bareskrim sejak Selasa (24/1), pada Jumat (27/1) siang mendapat kunjungan keluarga­nya. Sedikitnya, tiga pria dan se­orang wanita menemuinya di ruang tamu tahanan. Namun, ke­empat tamu tersebut menolak me­nyebutkan identitas dan ke­pentingan menjenguk tersangka.

Dalam kesempatan tersebut, tamu Baharuddin membawakan tas berukuran sedang. Saat di­geledah, tas berisi pakaian ganti, handuk, odol, sandal jepit, seli­mut  dan makanan seperti biskuit itu diteliti satu-persatu. Setelah ba­rang bawaan dinyatakan steril, para tamu menitipkan barang ba­waan ke petugas untuk disam­pai­kan kepada tahanan.

Penjaga Rutan Bareskrim tak memperkenankan tamu-tamu ber­lama-lama menemui tahanan. Al­hasil, pertemuan dengan pem­besuk nyaris tak menghabiskan waktu panjang. “Tadi dikasih ke­sem­patan bertemu. Tapi tidak sampai satu jam,” kata salah se­orang petugas yang enggan di­sebut namanya. 

Menurut petugas itu, pengeta­tan jadwal besukan dipicu ala­san, tahanan itu berstatus tahanan titipan KPK. “Kami tidak mau ambil risiko,” ucapnya.

Dimintai tanggapan soal kon­disi Baharuddin, petugas ini me­nyatakan, kesehatan tersangka itu bagus. Tersangka juga bisa me­nyesuaikan diri dengan ke­ada­an selnya. Dalam penga­ma­tan­nya, ketenangan Baharuddin tampaknya dilatari penga­lam­an­nya memimpin wilayah.

REKA ULANG

Sederet Tersangka Kasus Hutan Riau

Bekas Bupati Pelalawan Riau, Tengku Azmun Jaafar ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2007 dan ditahan pada 14 Desember 2007.

Azmun diduga merugikan n­e­gara sebesar Rp 1,3 triliun karena melakukan perbuatan melawan hukum dalam penerbitan Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan (IUPHH) terhadap 15 perusahaan pengelola hasil hutan di Riau. Padahal, hutan itu hutan alam yang tak boleh ditebang. Bukan hu­tan tanaman industri.

Tengku Azmun Jaafar meng­hadapi sidang perdana di Penga­dilan Tipikor, Jakarta pada Jumat, 9 April 2008. Pada pengadilan tingkat pertama, Azmun divonis 11 tahun penjara. Kemudian pada pengadilan tingkat banding di Pe­ngadilan Tinggi Jakarta, Azmun divonis 16 tahun penjara. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung pada tanggal 3 Agustus 2009, Azmun divonis 11 tahun pen­jara, denda Rp 500 juta sub­si­der enam bulan kurungan.

Tersangka lainnya, bekas Ke­pala Dinas Kehutanan Riau, Asral Rachman divonis hukuman pen­jara lima tahun. Asral harus mem­bayar denda Rp 200 juta dan sub­sider tiga bulan penjara karena ter­bukti bersalah. Asral juga di­pe­rintahkan membayar uang peng­ganti Rp 1,544 miliar. Jika har­tanya tidak mencukupi maka di­ganti dengan kurungan penjara satu tahun. Karena telah me­ngem­balikan uang Rp 600 juta, maka Asral membayar Rp 944 juta lagi.

Terdakwa lainnya, bekas Bu­pati Siak, Arwin AS dituduh me­rugikan negara Rp 301 miliar aki­bat menerbitkan Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan secara melawan hukum. Ia dihukum pen­jara selama empat tahun. Hakim juga memerintahkan

Arwin membayar Rp 200 juta atau subsidair dua bulan kuru­ngan. Arwin juga diwajibkan mem­bayar uang pengganti Rp 800 juta ditambah dua ribu dolar Ame­rika Serikat. Jika Arwin ti­dak bisa membayar, hartanya akan dilelang atau jika hartanya tidak mencukupi maka diganti dengan hukuman penjara selama 10 bulan.

Sedangkan bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Syu­hada Tasman pada Rabu, 21 De­sem­ber 2011 lalu menjalani si­dang perdana di Pengadilan Ti­pikor Pekanbaru. Negara diduga dirugikan Rp 153 miliar. Syuhada masih menjalani persidangan. 

Sementara itu, dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, terungkap bahwa kayu yang ditebang enam perusahaan, adalah kayu alam. “Kayu yang ditebang adalah kayu alam bukan hutan tanaman industri (HTI), ka­rena pada saat itu belum ada hu­tan tanaman. Kayu gelon­do­ngan yang dibawa itu berasal dari hu­tan alam,” ujar saksi Zulfahmi, PNS Dinas Kehutanan Pelalawan pada sidang yang dipimpin hakim Ida Bagus Dwiyantara pada Se­lasa (24/1).

Banyak Aturan Tumpang Tindih  

Taslim, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim menilai, bupati meme­gang peran penting dalam pe­nerbitan izin pengelolaan hasil alam di wilayahnya.

Untuk itu, jangan sampai ke­wenangan bu­pati tersebut disu­su­pi ke­pen­tingan dari luar. “Oto­ritas ke­wenangan ini membuat bupati menjadi penguasa wi­layah,” katanya.

Akan tetapi, dia mengi­ngat­kan, banyak aturan yang masih tumpang tindih di sini. Dengan tumpang tindihnya aturan ter­sebut, kebijakan di tangan bu­pati bisa mudah diintervensi oleh pihak lain. Idealnya, kata dia, seorang bupati akan tunduk pada gubernur dan pejabat di atasnya. Hal inilah yang diduga seringkali memicu persoalan. Dia berpendapat, perlunya regulasi atau aturan baku yang bisa meminimalkan tekanan ataupun intervensi pada bupati.

Persoalan ini, sambungnya, memang tidak sederhana. Ada tingkat kerumitan dan kesulitan yang teramat tinggi. Namun jika tak segera diselesaikan, dia yakin akan banyak bupati yang masuk penjara akibat dituduh menyalahi batas kewenangan dalam jabatannya.

“Bisa saja mereka dituduh korupsi tapi tidak mendapat uang. Karena kebijakannya dinilai salah, menguntungkan orang lain, mereka jadi masuk penjara.”

Lepas dari hal tersebut, dia mengharapkan, KPK tegas me­nuntas kasus korupsi hasil hutan Riau. Dia yakin, kasus korupsi sektor hutan di Riau masih me­nyisakan banyak per­soa­lan.

Artinya, selain pejabat dae­rah, dugaan keterlibatan mitra tersangka serta pejabat pusat hen­daknya diusut secara trans­paran dan proporsional. Hal ter­sebut semata-mata ditujukan agar, nantinya pejabat daerah bisa percaya diri. Setidaknya, me­reka tidak takut mengambil ke­bijakan untuk kemajuan dae­rah yang dipimpinnya.

Tak Perlu Tunggu Pelaku Dicopot Dari Jabatannya

Iwan Gunawan, Sekjen PMHI

Sekjen Perhimpunan Magis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan menilai, meski ada ganjalan dalam menangani kasus hutan Riau, KPK tetap me­nunjukan komitmennya. Yang penting, penanganan ka­sus korupsi oleh kepala daerah ini tak ditujukan untuk me­nu­tupi ketakmampuan me­nying­kap kasus kakap lainnya.

“Jangan sampai kasus korup­si kehutanan di Riau ini ter­henti. Di situ ada keterlibatan ber­bagai kalangan, makanya ti­dak boleh hanya sampai sini saja,” ucapnya.

Dia berharap KPK lebih in­tensif mengusut perkara ter­se­­but. Dengan pengusutan yang mak­si­mal, diharapkan akan mem­be­rikan dampak po­sitif pada pejabat di dae­rah. Se­dikit banyak, juga mem­be­rikan efek jera.

Di luar hal tersebut, efek­tifi­tas KPK menangani perkara ko­rupsi juga akan dapat apresiasi masyarakat. “Akan tercipta stigma masyarakat bahwa kasus korupsi apapun yang nota bene jauh dari pusat ternyata juga bisa diketahui dan dibongkar,” tandasnya.

Modal ini menjadi penting dalam upaya menciptakan ke­sa­daran masyarakat tentang baha­ya laten korupsi.  Dalam kasus korupsi yang melibatkan peja­bat daerah, Iwan kembali mendesak

KPK agar senantiasa me­ning­katkan kinerjanya. Sehingga, penanganan kasus-kasus ko­rup­si tidak harus menunggu sampai seseorang tidak lagi menjabat. “Pada prinsipnya, semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. Prinsip hukum ini tentu harus didorong agar hu­­kum senantiasa menjadi pang­lima,” tuturnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA