Setelah resmi menahan bekas BuÂÂpati Kampar, Burhanuddin HuÂsain, KPK terus meÂngemÂbangÂkan kasus ini. Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo meÂnyaÂtakan, semua pihak yang diduga terÂkait akan dimintai keterangan.
Semua pihak yang dimaksud, berasal dari bekas atasan, bawaÂhan serta kelompok pengusaha yang bekerjasama dengan terÂsangÂka. Kesaksian mereka diÂanggap penting. Tidak tertutup keÂmungkinan, katanya, kasus ini saling berkaitan dengan kasus koÂrupsi hutan Riau lainnya.
Namun, Johan menolak meÂnyeÂbutkan identitas saksi-saksi yang telah dimintai keterangan. Dia menyatakan, keterangan sakÂsi-saksi kasus proyek pemanÂfaaÂtan hasil hutan tanaman di PelaÂlawan tengah dikembangkan. “Bisa jadi, dalam proses penguÂsutan itu akan ada tersangka lain,†ujarnya.
Akan tetapi, Johan tak mau buÂru-buru mengomentari apakah kaÂsus ini akan dikembangkan ke peÂngambil kebijakan di tingat pusat. Dia juga menolak berÂkoÂmenÂtar soal berlarutnya proses peÂnahanan tersangka Burhanuddin.
Yang paling penting, katanya, KPK sudah menindak BurhaÂnudÂdin. Saat ini, untuk kepentiÂngan peÂÂnyidikan kasus tersebut, terÂsangÂÂka yang diduga turut meÂrugiÂkan negara sebesar Rp 470 miliar itu, dititipkan di Rutan BaÂreskrim Polri. “Penahanan diÂlaksanakan untuk kepentingan peÂnyidikan,†ujarnya.
Burhanuddin ditetapkan sebaÂgai tersangka pada 2008. Dia diÂduga menyalahgunakan weweÂnang dalam jabatannya. PeÂnyaÂlahÂgunaan jabatan terjadi tatkala tersangka menjabat Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Riau.
Dengan kewenangannya, dia mengeluarkan izin pengelolaan kekayaan hasil hutan kepada peÂnguÂsaha tertentu. Padahal, hutan itu adalah hutan alam yang tak boÂleh ditebang. Bukan hutan taÂnaÂman industri. Pengusutan atas proses penerbitan izin tersebut, saat ini jadi pekerjaan rumah KPK. Soalnya, tak tertutup keÂmungkinan, terbitnya surat izin dipengaruhi atau diintervensi piÂhak luar. “Semuanya tengah daÂlam proses penelusuran.â€
Dalam kasus ini, selain BahaÂruddin, terdapat nama lain yang ikut dijadikan tersangka. Nama-nama itu adalah bekas Kadishut Riau, Syuhada Tasman. Ia diteÂtapkan sebagai tersangka kasus yang sama pada awal 2011.
Sebelumnya, bekas Bupati PalaÂlawan Tengku Azmuin Jafaar dan bekas Bupati Siak Arwin AS juga dituduh kesrimpet kasus sama. Akibat perbuatannya TengÂku Azmuin divonis 11 tahun penÂjara dan Arwin lima tahun penjara.
Burhanuddin yang menghuni sel Rutan Bareskrim sejak Selasa (24/1), pada Jumat (27/1) siang mendapat kunjungan keluargaÂnya. Sedikitnya, tiga pria dan seÂorang wanita menemuinya di ruang tamu tahanan. Namun, keÂempat tamu tersebut menolak meÂnyebutkan identitas dan keÂpentingan menjenguk tersangka.
Dalam kesempatan tersebut, tamu Baharuddin membawakan tas berukuran sedang. Saat diÂgeledah, tas berisi pakaian ganti, handuk, odol, sandal jepit, seliÂmut dan makanan seperti biskuit itu diteliti satu-persatu. Setelah baÂrang bawaan dinyatakan steril, para tamu menitipkan barang baÂwaan ke petugas untuk disamÂpaiÂkan kepada tahanan.
Penjaga Rutan Bareskrim tak memperkenankan tamu-tamu berÂlama-lama menemui tahanan. AlÂhasil, pertemuan dengan pemÂbesuk nyaris tak menghabiskan waktu panjang. “Tadi dikasih keÂsemÂpatan bertemu. Tapi tidak sampai satu jam,†kata salah seÂorang petugas yang enggan diÂsebut namanya.
Menurut petugas itu, pengetaÂtan jadwal besukan dipicu alaÂsan, tahanan itu berstatus tahanan titipan KPK. “Kami tidak mau ambil risiko,†ucapnya.
Dimintai tanggapan soal konÂdisi Baharuddin, petugas ini meÂnyatakan, kesehatan tersangka itu bagus. Tersangka juga bisa meÂnyesuaikan diri dengan keÂadaÂan selnya. Dalam pengaÂmaÂtanÂnya, ketenangan Baharuddin tampaknya dilatari pengaÂlamÂanÂnya memimpin wilayah.
REKA ULANG
Sederet Tersangka Kasus Hutan Riau
Bekas Bupati Pelalawan Riau, Tengku Azmun Jaafar ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2007 dan ditahan pada 14 Desember 2007.
Azmun diduga merugikan nÂeÂgara sebesar Rp 1,3 triliun karena melakukan perbuatan melawan hukum dalam penerbitan Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan (IUPHH) terhadap 15 perusahaan pengelola hasil hutan di Riau. Padahal, hutan itu hutan alam yang tak boleh ditebang. Bukan huÂtan tanaman industri.
Tengku Azmun Jaafar mengÂhadapi sidang perdana di PengaÂdilan Tipikor, Jakarta pada Jumat, 9 April 2008. Pada pengadilan tingkat pertama, Azmun divonis 11 tahun penjara. Kemudian pada pengadilan tingkat banding di PeÂngadilan Tinggi Jakarta, Azmun divonis 16 tahun penjara. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung pada tanggal 3 Agustus 2009, Azmun divonis 11 tahun penÂjara, denda Rp 500 juta subÂsiÂder enam bulan kurungan.
Tersangka lainnya, bekas KeÂpala Dinas Kehutanan Riau, Asral Rachman divonis hukuman penÂjara lima tahun. Asral harus memÂbayar denda Rp 200 juta dan subÂsider tiga bulan penjara karena terÂbukti bersalah. Asral juga diÂpeÂrintahkan membayar uang pengÂganti Rp 1,544 miliar. Jika harÂtanya tidak mencukupi maka diÂganti dengan kurungan penjara satu tahun. Karena telah meÂngemÂbalikan uang Rp 600 juta, maka Asral membayar Rp 944 juta lagi.
Terdakwa lainnya, bekas BuÂpati Siak, Arwin AS dituduh meÂrugikan negara Rp 301 miliar akiÂbat menerbitkan Surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan secara melawan hukum. Ia dihukum penÂjara selama empat tahun. Hakim juga memerintahkan
Arwin membayar Rp 200 juta atau subsidair dua bulan kuruÂngan. Arwin juga diwajibkan memÂbayar uang pengganti Rp 800 juta ditambah dua ribu dolar AmeÂrika Serikat. Jika Arwin tiÂdak bisa membayar, hartanya akan dilelang atau jika hartanya tidak mencukupi maka diganti dengan hukuman penjara selama 10 bulan.
Sedangkan bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, SyuÂhada Tasman pada Rabu, 21 DeÂsemÂber 2011 lalu menjalani siÂdang perdana di Pengadilan TiÂpikor Pekanbaru. Negara diduga dirugikan Rp 153 miliar. Syuhada masih menjalani persidangan.
Sementara itu, dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, terungkap bahwa kayu yang ditebang enam perusahaan, adalah kayu alam. “Kayu yang ditebang adalah kayu alam bukan hutan tanaman industri (HTI), kaÂrena pada saat itu belum ada huÂtan tanaman. Kayu gelonÂdoÂngan yang dibawa itu berasal dari huÂtan alam,†ujar saksi Zulfahmi, PNS Dinas Kehutanan Pelalawan pada sidang yang dipimpin hakim Ida Bagus Dwiyantara pada SeÂlasa (24/1).
Banyak Aturan Tumpang Tindih
Taslim, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim menilai, bupati memeÂgang peran penting dalam peÂnerbitan izin pengelolaan hasil alam di wilayahnya.
Untuk itu, jangan sampai keÂwenangan buÂpati tersebut disuÂsuÂpi keÂpenÂtingan dari luar. “OtoÂritas keÂwenangan ini membuat bupati menjadi penguasa wiÂlayah,†katanya.
Akan tetapi, dia mengiÂngatÂkan, banyak aturan yang masih tumpang tindih di sini. Dengan tumpang tindihnya aturan terÂsebut, kebijakan di tangan buÂpati bisa mudah diintervensi oleh pihak lain. Idealnya, kata dia, seorang bupati akan tunduk pada gubernur dan pejabat di atasnya. Hal inilah yang diduga seringkali memicu persoalan. Dia berpendapat, perlunya regulasi atau aturan baku yang bisa meminimalkan tekanan ataupun intervensi pada bupati.
Persoalan ini, sambungnya, memang tidak sederhana. Ada tingkat kerumitan dan kesulitan yang teramat tinggi. Namun jika tak segera diselesaikan, dia yakin akan banyak bupati yang masuk penjara akibat dituduh menyalahi batas kewenangan dalam jabatannya.
“Bisa saja mereka dituduh korupsi tapi tidak mendapat uang. Karena kebijakannya dinilai salah, menguntungkan orang lain, mereka jadi masuk penjara.â€
Lepas dari hal tersebut, dia mengharapkan, KPK tegas meÂnuntas kasus korupsi hasil hutan Riau. Dia yakin, kasus korupsi sektor hutan di Riau masih meÂnyisakan banyak perÂsoaÂlan.
Artinya, selain pejabat daeÂrah, dugaan keterlibatan mitra tersangka serta pejabat pusat henÂdaknya diusut secara transÂparan dan proporsional. Hal terÂsebut semata-mata ditujukan agar, nantinya pejabat daerah bisa percaya diri. Setidaknya, meÂreka tidak takut mengambil keÂbijakan untuk kemajuan daeÂrah yang dipimpinnya.
Tak Perlu Tunggu Pelaku Dicopot Dari Jabatannya
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI
Sekjen Perhimpunan MagisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan menilai, meski ada ganjalan dalam menangani kasus hutan Riau, KPK tetap meÂnunjukan komitmennya. Yang penting, penanganan kaÂsus korupsi oleh kepala daerah ini tak ditujukan untuk meÂnuÂtupi ketakmampuan meÂnyingÂkap kasus kakap lainnya.
“Jangan sampai kasus korupÂsi kehutanan di Riau ini terÂhenti. Di situ ada keterlibatan berÂbagai kalangan, makanya tiÂdak boleh hanya sampai sini saja,†ucapnya.
Dia berharap KPK lebih inÂtensif mengusut perkara terÂseÂÂbut. Dengan pengusutan yang makÂsiÂmal, diharapkan akan memÂbeÂrikan dampak poÂsitif pada pejabat di daeÂrah. SeÂdikit banyak, juga memÂbeÂrikan efek jera.
Di luar hal tersebut, efekÂtifiÂtas KPK menangani perkara koÂrupsi juga akan dapat apresiasi masyarakat. “Akan tercipta stigma masyarakat bahwa kasus korupsi apapun yang nota bene jauh dari pusat ternyata juga bisa diketahui dan dibongkar,†tandasnya.
Modal ini menjadi penting dalam upaya menciptakan keÂsaÂdaran masyarakat tentang bahaÂya laten korupsi. Dalam kasus korupsi yang melibatkan pejaÂbat daerah, Iwan kembali mendesak
KPK agar senantiasa meÂningÂkatkan kinerjanya. Sehingga, penanganan kasus-kasus koÂrupÂsi tidak harus menunggu sampai seseorang tidak lagi menjabat. “Pada prinsipnya, semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. Prinsip hukum ini tentu harus didorong agar huÂÂkum senantiasa menjadi pangÂlima,†tuturnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: