RMOL. Terbitnya surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP-3) kasus penghilangan ayat tembakau, memicu gugatan. Koalisi Anti Korupsi Ayat Tembakau (Kakar) menilai Polri belum maksimal mengusut kasus ini.
Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, keÂpolisian siap menghadapi berÂbaÂgai gugatan pra-peradilan. KareÂna pada dasarnya, ketakpuasan atas hasil kerja kepolisian meÂmiliki peluang untuk digugat ke pengadilan.
“Hal ini akan dihadapi tim adÂvokasi kepolisian. Binkum nanti akan melakukan upaya-upaya pembelaan,†kata bekas KabidÂhuÂmas Polda Metro Jaya ini.
Dia menyatakan, persoalan prinÂsip berupa penghilangan Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan, diÂanggap selesai. Karena, ayat yang dipertentangkan telah diÂkembalikan pada posisinya seÂmula. Dengan begitu, tuduhan adaÂnya unsur dugaan tindak piÂdana berupa penghilangan ayat terÂsebut lemah.
Boy mengaku, penyidik kepoÂliÂsian independen dalam meÂnaÂngaÂni kasus ini. Artinya, tidak pernah ada intervensi dari manaÂpun dalam penerbitan SP-3 kasus tersebut. Dia meyakini, kepÂuÂtuÂsan mengeluarkan SP-3, diambil setelah penyidik kepolisian meÂmeÂriksa data dan saksi yang diÂduga mengetahui hal ini.
Digarisbawahi, jika keputusan menerbitkan SP-3 dilatari kongÂkaÂlingkong antara penyidik deÂngan pihak berperkara, kepoÂlisian tak akan tinggal diam. Ada berbagai aturan dan sanksi yang bisa dijatuhkan pada mereka yang diduga melanggar ketentuan.
Namun, alasan kepolisian ini tak berlaku untuk Kakar. Kakar teÂtap menuding Polri belum makÂsimal menyidik perkara ini. KeÂtua Koalisi Kakar, Hakim SoÂriÂmuda mengatakan, kepolisian terÂlihat sangat terburu-buru dalam menerbitkan SP-3.
Padahal, penyidik menurut dia, belum maksimal menangani kaÂsus ini. Kompetensi Kapolri seÂperÂti tertuang dalam Peraturan KaÂpolri (Perkap) No 12/2009 tenÂtang pengawasan dan pengenÂdaÂlian penanganan perkara pidana di lingkungan Polri, juga dinilai beÂlum terealisasi secara jelas.
Dipaparkan, bagaimana pemeÂrikÂsaan tersangka serta proses geÂlar perkara kasus ini, semua berÂjalan tertutup. “Jika sejak awal perkara ini tidak lengkap unsur pidananya, kenapa kepolisian menetapkan tiga anggota Komisi Kesehatan DPR sebagai tersangÂka?†tandasnya.
Lalu, sambungnya, substansi guÂÂgatan juga didasari keinginan meÂngetahui implementasi peÂngaÂwaÂsan dan pengendalian penaÂngaÂÂnan perkara pidana di kepolisian.
Ditambahkannya, penetapan dan pencabutan status tersangka pada tiga anggota Komisi KeÂseÂhatan DPR, yakni Ribka TjipÂtaning dari FPDIP, Asiyah SaleÂkan dan Maryani Baramuli dari FPG, dasarnya tidak jelas. Polisi semestinya memperÂtangÂgungÂjaÂwabÂkan putusan yang diambilnya.
Sejak awal, menurutnya, lapoÂran atas perkara penghilangan paÂsal tembakau didukung bukti-bukÂti permulaan yang cukup. Bukti-bukÂti tersebutlah yang diÂjadiÂkan dasar penetapan tiga angÂgota DPR meÂlanggar ketentuan Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP. “Ini juga jadi dasar gugatan kami,†tegasnya.
Ia mengharap, gugatan praÂpeÂraÂdilan ini menjadi upaya advoÂkasi mencegah korupsi legislasi berikut praktik transaksional atau jual beli pasal dalam pembuatan produk perundangan di DPR. Ayat yang diduga dihilangkan oleh beberapa oknum anggota DPR itu adalah kutipan yang meÂnyatakan tembakau mengandung zat adiksi.
Ia menilai, ada oknum-oknum di DPR yang dengan sengaja menghilangkan ayat (2) dari PaÂsal 113 UU Kesehatan yang seÂbeÂnarnya terdiri dari tiga ayat. NaÂmun saat upaya tersebut terÂcium publik, ayat berisi uraian meÂngenai tembakau menganÂdung zat adiktif itu dikembalikan ke dalam UU Kesehatan. “Kami minta agar SP3 dibatalkan peÂngaÂdilan,†tegasnya seusai menÂdafÂtarÂkan gugatan prapeÂradÂiÂlan, Rabu (18/1).
Dalam laporannya, Sorimuda membawa bukti-bukti berupa dokumen UU Kesehatan yang sudah melalui Rapat Paripurna, di mana Pasal 113 masih terdiri dari 3 ayat atau belum ada pengÂhiÂlaÂngan ayat. Juga dokumen UU KeÂsehatan yang dikirim DPR keÂpada Sekretariat Negara untuk diÂsahkan Presiden.
Dokumen lain yang diikutÂserÂtaÂkan adalah dokumen Pasal 113 yang terdiri hanya dari dua ayat, di mana ayat 2 yang berisi tembakau mengandung zat adiÂkÂtif telah dihilangkan. Diharapkan, bukti-bukti dokumen tersebut menÂjadi petunjuk bagi hakim daÂlam menentukan putusan atas SP-3 kepolisian.
“Kami paksa melalui pengaÂdiÂlan negeri agar SP3 dibuka kemÂbali,†tutur aktivis Indonesian ToÂbacco Control Network (ITCN) yang dikawal LBH Jakarta dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini. Menurut dia, praperadilan layak ditempuh mengingat penyidikan perkara ini penuh kejanggalan.
REKA ULANG
Ribka Tak Terima Ditulis Tersangka
Sirra Prayuna, kuasa hukum Ribka Tjiptaning, mengatakan, penetapan kliennya sebagai terÂsangka kasus penghilangan ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan preÂmaÂtur dan berkesan character assasination.
Menanggapi soal gugatan praÂÂÂperadilan kubu KaÂkar, ia meÂnyeÂrahÂkan hal tersebut pada peÂngaÂdiÂlan. “Kami akan meÂnunÂtut baÂlik,†tandasnya, seusai menÂdaÂtaÂngi BaÂreskrim Polri, September 2010.
Sirra menambahkan, Surat PemÂberitahuan Perkembangan HaÂsil Penyidikan (SP2HP) yang diberikan kepada pelapor sehaÂrusÂnya tidak dipublikasikan. “SuÂrat dari Polri yang sifatnya perÂsoÂnal tidak boleh dipublikasikan sama sekali. Jadi, ada kesalahan dan itu berakibat pada penÂceÂmaÂran nama baik,†katanya.
Ia juga menyayangkan Mabes Polri yang menulis para terÂsangÂka terhadap Ribka Tjibtaning, Maryani A Baramuli, Aisyah SaÂlekan. Padahal, ketiganya tak perÂnah dimintai keterangan dalam kapasitas apapun. Kenapa dalam surat SP2HP disebut dan ditulis sebagai para tersangka. Hal terÂsebut menjadi bahan pertanyaan. “Apakah ada kelalaian atau ketiÂdaksengajaan saja,†katanya.
Ia juga meminta Mabes Polri untuk menyampaikan klarifikasi secara resmi terkait penanganan kasus ini. Selanjutnya, dikonÂfirÂmasi tentang gugatan prapÂeraÂdilan atas SP-3 yang dikeluarkan kepolisian, dia menyerahkan hal itu ke jalur hukum yang ada.
Sedangkan Ribka mengatakan, yang menyebutkan dirinya seÂbaÂgai tersangka melakukan penÂceÂmaran nama baik. “Ada pemÂbuÂnuÂhan karakter dan pasti ada damÂpak kepada saya,†tegas KeÂtua Komisi IX DPR ini.
Sementara Maryani A BaraÂmuli mengatakan, dirinya tidak bisa menerima disebut sebagai tersangka. “Saya akan menuntut balik kepada orang-orang yang menyatakan saya sebagai terÂsangÂka. Saya tidak pernah menÂjual harga diri dan nama baik saya,†tegasnya.
Selebihnya, bekas KabaÂresÂkrim Komjen (purn) Ito Sumardi menjelaskan, kepolisian sampai Oktober 2010 masih menunggu izin Presiden untuk memeriksa Ribka. Kendati demikian, Ito tiÂdak mengungkapkan secara jelas apakah pihaknya sudah melaÂyangÂkan surat izin tersebut.
“Kami masih menunggu gelar perkara. Izin ini kan tidak hanya satu ini, tentunya ada jadwalnya. Penggelaran izin untuk Bapak Presiden ada aturannya,†kata bekas Kapolda Sumsel ini.
Ito menampik penanganan kaÂsus tersebut lamban. Menurutnya, kepolisian menempatkan bebeÂraÂpa perkara dalam skala prioritas. Di luar hal tersebut, Ito menyaÂtaÂkan, belum menemukan unsur tinÂdak pidana dan belum meÂneÂmuÂkan indikasi perusahaan rokok yang terlibat kasus itu.
Penghentian Perkara Prosesnya Mesti Jelas
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI
Sekjen Perhimpunan MaÂgisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan berpendapat, pengÂhentian penyidikan perÂkaÂra idealnya dilakukan setelah meÂlewati rangkaian proses huÂkum. Tanpa ada proses yang jeÂlas, penghentian penyidikan seÂbuah perkara jelas mengundang kecurigaan.
Menurut hematnya, proses pemÂbuktian ada atau tidaknya tinÂdak pidana harus dilewati deÂngan rangkaian pemeriksaan. Proses pemeriksaan itu umumÂnya meliputi saksi-saksi, barang bukti dan tersangka. Selesainya tahapan pemeriksaan tersebut, belum bisa diartikan bahwa proÂses pemberkasan perkara diÂanggap tuntas.
“Supaya transparan, idealnya ada gelar perkara yang dihadiri tersangka, barang bukti, penyiÂdik dan penuntut kasus ini,†ujarnya. Gelar perkara dituÂjuÂkan agar posisi perkara menjadi lebih jelas.
Nantinya, tambah dia, gelar perkara akan membantu jaksa daÂlam menyusun tuntutan atas perkara yang ada. Tanpa gelar perÂkara, seringkali muncul beÂberapa kekurangan pada berkas perkara. Seringkali juga, kekÂuÂrangan-kekurangan tersebut memicu kekecewaan pihak terÂtentu. Ujung-ujungnya, adalah gugatan praperadilan.
“Ini menunjukkan adanya keÂtidakpuasan dalam penanganan suatu perkara,†tuturnya.
Dia mengatakan, prapeÂraÂdiÂlan adalah jalan alternatif yang paling baik dalam menyalurkan aspirasi ketidakpuasan. Sesuai hukum acara, pelapor atau korÂban yang merasa penyidikan seÂbuah perkara tidak memenuhi prinsip keadilan dipersilakan menggugat melalui jalur ini.
Lalu, berkaitan dengan perÂkara dugaan penghilangan ayat tembakau ini, Iwan meminta keÂpolisian untuk lebih transÂpaÂran dalam menangani kasus terseÂbut. “Apa dan bagaimana hasil peÂmeriksaannya, hendaknya diÂsampaikan kepada publik. Apa alasan tidak ditemukannya bukÂti dan tersangka dalam kaÂsus ini harus jelas. Jangan ujug-ujug atau tiba-tiba mengeluarkan SP-3,†tuturnya.
Memberi Ruang Demokratisasi Hukum
Taslim, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR TasÂlim menilai, upaya kepoÂliÂsiÂan mengeluarkan surat perinÂtah penghentian penyidikan (SP-3) kasus dugaan korupsi ayat tembakau, wajar. DemiÂkiÂan halnya langkah praperadilan yang ditujukan untuk memÂperÂtanyakan keabsahan keputusan tersebut.
Dia mengatakan, rangkaian proÂses hingga keluarnya SP-3 tentu sudah dipertimbangkan seÂcara matang. Ada dasar-dasar hukum yang kemungkinan beÂsar dijadikan pedoman kepÂoÂliÂsian untuk menetapkan langkah tersebut. “Tidak mungkin SP-3 diÂambil tanpa pertimbangan huÂkum yang matang,†ujarnya.
Menurut Taslim, pernyaÂtaanÂnya ini tidak dalam kapasitas membela kepolisian. Namun, berdasarkan pengalaman, SP-3 didasari pedoman hukum yang baku. Untuk membuktikan hal tersebut, maka tidak salah jika putusan SP-3 bisa dikaji lewat praperadilan. “Nanti majelis hakim praperadilan yang akan mempertimbangkan apakah SP-3 tersebut layak diambil atau tidak,†tuturnya.
Jika hakim memutus bahwa SP-3 itu tidak benar, sesuai keÂtenÂtuan maka kasus yang ada haÂrus diproses secara ulang. Tapi jika putusan hakim meÂnyaÂtakan sebaliknya, maka proses penyidikan atas kasus ini bisa dihentikan.
Pada prinsipnya, upaya memÂpraperadilankan putusan SP-3 tidak menyalahi aturan. Justru ini akan memberikan pelajaran bagi upaya penegakan hukum di Tanah Air. Dibanding meÂngamÂbil langkah yang anarkis, praÂpeÂradilan dirasakan lebih meÂmiÂliki ruang bagi terciptanya deÂmokÂratisasi hukum.
Dia berharap, penanganan mauÂpun pertimbangan hakim dalam menilai gugatan praÂpeÂraÂdilan dilaksanakan secara proÂporÂsional. Sehingga, apa dan bagaimana duduk perkara yang jadi pokok sengketa terangkum secara jelas. Dengan transÂpaÂranÂnya penanganan perkara, kelak hal tersebut menjadi modal haÂkim memutus perkara. Intinya, azas atau prinsip keadilan bagi seÂmua pihak, dalam hal ini terÂguÂgat maupun penggugat setiÂdakÂnya tercipta lewat sidang yang proporsional. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: