SP-3 Kasus Ayat Tembakau Bakal Dibawa Ke Pengadilan

Polisi Siapkan Tim Advokasi Dari Binkum

Sabtu, 21 Januari 2012, 09:35 WIB
SP-3 Kasus Ayat Tembakau Bakal Dibawa Ke Pengadilan
ilustrasi

RMOL.  Terbitnya surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP-3) kasus penghilangan ayat tembakau, memicu gugatan. Koalisi Anti Korupsi Ayat Tembakau (Kakar) menilai Polri belum maksimal mengusut kasus ini.

Kabidpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar menyatakan, ke­polisian siap menghadapi ber­ba­gai gugatan pra-peradilan. Kare­na pada dasarnya, ketakpuasan atas hasil kerja kepolisian me­miliki peluang untuk digugat ke pengadilan.

“Hal ini akan dihadapi tim ad­vokasi kepolisian. Binkum nanti akan melakukan upaya-upaya pembelaan,” kata bekas Kabid­hu­mas Polda Metro Jaya ini.

Dia menyatakan, persoalan prin­sip berupa penghilangan Ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan, di­anggap selesai. Karena, ayat yang dipertentangkan telah di­kembalikan pada posisinya se­mula. Dengan begitu, tuduhan ada­nya unsur dugaan tindak pi­dana berupa penghilangan ayat ter­sebut lemah.

Boy mengaku, penyidik kepo­li­sian independen dalam me­na­nga­ni kasus ini. Artinya, tidak pernah ada intervensi dari mana­pun dalam penerbitan SP-3 kasus tersebut. Dia meyakini, kep­u­tu­san mengeluarkan SP-3, diambil setelah penyidik kepolisian me­me­riksa data dan saksi yang di­duga mengetahui hal ini.

Digarisbawahi, jika keputusan menerbitkan SP-3 dilatari kong­ka­lingkong antara penyidik de­ngan pihak berperkara,  kepo­lisian tak akan tinggal diam. Ada berbagai aturan dan sanksi yang bisa dijatuhkan pada mereka yang diduga melanggar ketentuan.

Namun, alasan kepolisian ini tak berlaku untuk Kakar. Kakar te­tap menuding Polri belum mak­simal menyidik perkara ini. Ke­tua Koalisi Kakar, Hakim So­ri­muda mengatakan, kepolisian ter­lihat sangat terburu-buru dalam menerbitkan SP-3.

Padahal, penyidik menurut dia, belum maksimal menangani ka­sus ini. Kompetensi Kapolri se­per­ti tertuang dalam Peraturan Ka­polri (Perkap) No 12/2009 ten­tang pengawasan dan pengen­da­lian penanganan perkara pidana di lingkungan Polri, juga dinilai be­lum terealisasi secara jelas.

Dipaparkan, bagaimana peme­rik­saan tersangka serta proses ge­lar perkara kasus ini, semua ber­jalan tertutup. “Jika sejak awal perkara ini tidak lengkap unsur pidananya, kenapa kepolisian menetapkan tiga anggota Komisi Kesehatan DPR sebagai tersang­ka?” tandasnya.

Lalu, sambungnya, substansi gu­­gatan juga didasari keinginan me­ngetahui implementasi pe­nga­wa­san dan pengendalian pena­nga­­nan perkara pidana di kepolisian.

Ditambahkannya,  penetapan dan pencabutan status tersangka pada tiga anggota Komisi Ke­se­hatan DPR, yakni Ribka Tjip­taning dari FPDIP, Asiyah Sale­kan dan Maryani Baramuli dari FPG, dasarnya tidak jelas. Polisi semestinya memper­tang­gung­ja­wab­kan putusan yang diambilnya.

Sejak awal, menurutnya, lapo­ran atas perkara penghilangan pa­sal tembakau didukung bukti-buk­ti permulaan yang cukup. Bukti-buk­ti tersebutlah yang di­jadi­kan dasar penetapan tiga ang­gota DPR me­langgar ketentuan Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP. “Ini juga jadi dasar gugatan kami,” tegasnya.

Ia mengharap,  gugatan pra­pe­ra­dilan ini menjadi upaya advo­kasi mencegah korupsi legislasi berikut praktik transaksional atau jual beli pasal dalam pembuatan produk perundangan di DPR.  Ayat yang diduga dihilangkan oleh beberapa oknum anggota DPR itu adalah kutipan yang me­nyatakan tembakau mengandung zat adiksi.

Ia menilai, ada oknum-oknum di DPR yang dengan sengaja menghilangkan ayat (2) dari Pa­sal 113 UU Kesehatan yang se­be­narnya terdiri dari tiga ayat. Na­mun saat upaya tersebut ter­cium publik, ayat berisi uraian me­ngenai tembakau mengan­dung zat adiktif itu dikembalikan ke dalam UU Kesehatan. “Kami minta agar SP3 dibatalkan pe­nga­dilan,” tegasnya seusai men­daf­tar­kan gugatan prape­rad­i­lan, Rabu (18/1).

Dalam laporannya, Sorimuda membawa bukti-bukti berupa dokumen UU Kesehatan yang sudah melalui Rapat Paripurna, di mana Pasal 113 masih terdiri dari 3 ayat atau belum ada peng­hi­la­ngan ayat. Juga dokumen UU Ke­sehatan yang dikirim DPR ke­pada Sekretariat Negara untuk di­sahkan Presiden.

Dokumen lain yang diikut­ser­ta­kan adalah dokumen Pasal 113 yang terdiri hanya dari dua ayat, di mana ayat 2 yang berisi tembakau mengandung zat adi­k­tif telah dihilangkan. Diharapkan, bukti-bukti dokumen tersebut men­jadi petunjuk bagi hakim da­lam menentukan putusan atas SP-3 kepolisian. 

“Kami paksa melalui penga­di­lan negeri agar SP3 dibuka kem­bali,” tutur aktivis Indonesian To­bacco Control Network (ITCN) yang dikawal LBH Jakarta dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini. Menurut dia, praperadilan layak ditempuh mengingat penyidikan perkara ini penuh kejanggalan.

REKA ULANG

Ribka Tak Terima Ditulis Tersangka

Sirra Prayuna, kuasa hukum Ribka Tjiptaning, mengatakan, penetapan kliennya sebagai ter­sangka kasus penghilangan ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan pre­ma­tur dan berkesan character assasination.

Menanggapi soal gugatan pra­­­peradilan kubu Ka­kar, ia me­nye­rah­kan hal tersebut pada pe­nga­di­lan. “Kami akan me­nun­tut ba­lik,” tandasnya, seusai men­da­ta­ngi Ba­reskrim Polri, September 2010.

Sirra menambahkan, Surat Pem­beritahuan Perkembangan Ha­sil Penyidikan (SP2HP) yang diberikan kepada pelapor seha­rus­nya tidak dipublikasikan. “Su­rat dari Polri yang sifatnya per­so­nal tidak boleh dipublikasikan sama sekali. Jadi, ada kesalahan dan itu berakibat pada pen­ce­ma­ran nama baik,” katanya.

Ia juga menyayangkan Mabes Polri yang menulis para ter­sang­ka terhadap Ribka Tjibtaning, Maryani A Baramuli, Aisyah Sa­lekan. Padahal, ketiganya tak per­nah dimintai keterangan dalam kapasitas apapun. Kenapa dalam surat SP2HP disebut dan ditulis sebagai para tersangka. Hal ter­sebut menjadi bahan pertanyaan. “Apakah ada kelalaian atau keti­daksengajaan saja,” katanya.

Ia juga meminta Mabes Polri untuk menyampaikan klarifikasi secara resmi terkait penanganan kasus ini. Selanjutnya, dikon­fir­masi tentang gugatan prap­era­dilan atas SP-3 yang dikeluarkan kepolisian, dia menyerahkan hal itu ke jalur hukum yang ada.   

Sedangkan Ribka mengatakan, yang menyebutkan dirinya se­ba­gai tersangka melakukan pen­ce­maran nama baik. “Ada pem­bu­nu­han karakter dan pasti ada dam­pak kepada saya,” tegas Ke­tua Komisi IX DPR ini.

Sementara  Maryani A Bara­muli mengatakan, dirinya tidak bisa menerima disebut sebagai tersangka. “Saya akan menuntut balik kepada orang-orang yang menyatakan saya sebagai ter­sang­ka. Saya tidak pernah men­jual harga diri dan nama baik saya,” tegasnya.

Selebihnya, bekas Kaba­res­krim Komjen (purn) Ito Sumardi menjelaskan, kepolisian sampai Oktober 2010 masih menunggu izin Presiden untuk memeriksa Ribka. Kendati demikian, Ito ti­dak mengungkapkan secara jelas apakah pihaknya sudah mela­yang­kan surat izin tersebut.

“Kami masih menunggu gelar perkara. Izin ini kan tidak hanya satu ini, tentunya ada jadwalnya. Penggelaran izin untuk Bapak Presiden ada aturannya,” kata bekas Kapolda Sumsel ini. 

Ito menampik penanganan ka­sus tersebut lamban. Menurutnya, kepolisian menempatkan bebe­ra­pa perkara dalam skala prioritas. Di luar hal tersebut, Ito menya­ta­kan, belum menemukan unsur tin­dak pidana dan belum me­ne­mu­kan indikasi perusahaan rokok yang terlibat kasus itu.

Penghentian Perkara Prosesnya Mesti Jelas

Iwan Gunawan, Sekjen PMHI

Sekjen Perhimpunan Ma­gis­ter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan berpendapat, peng­hentian penyidikan per­ka­ra idealnya dilakukan setelah me­lewati rangkaian proses hu­kum. Tanpa ada proses yang je­las, penghentian penyidikan se­buah perkara jelas mengundang kecurigaan.

Menurut hematnya, proses pem­buktian ada atau tidaknya tin­dak pidana harus dilewati de­ngan rangkaian pemeriksaan. Proses pemeriksaan itu umum­nya meliputi saksi-saksi, barang bukti dan tersangka. Selesainya tahapan pemeriksaan tersebut, belum bisa diartikan bahwa pro­ses pemberkasan perkara di­anggap tuntas.  

“Supaya transparan, idealnya ada gelar perkara yang dihadiri tersangka, barang bukti, penyi­dik dan penuntut kasus ini,” ujarnya. Gelar perkara ditu­ju­kan agar posisi perkara menjadi lebih jelas.

Nantinya, tambah dia, gelar perkara akan membantu jaksa da­lam menyusun tuntutan atas perkara yang ada. Tanpa gelar per­kara, seringkali muncul be­berapa kekurangan pada berkas perkara. Seringkali juga, kek­u­rangan-kekurangan tersebut memicu kekecewaan pihak ter­tentu. Ujung-ujungnya, adalah gugatan praperadilan.

“Ini menunjukkan adanya ke­tidakpuasan dalam penanganan suatu perkara,” tuturnya.

Dia mengatakan, prape­ra­di­lan adalah jalan alternatif yang paling baik dalam menyalurkan aspirasi ketidakpuasan. Sesuai hukum acara, pelapor atau kor­ban yang merasa penyidikan se­buah perkara tidak memenuhi prinsip keadilan dipersilakan menggugat melalui jalur ini.

Lalu, berkaitan dengan per­kara dugaan penghilangan ayat tembakau ini, Iwan meminta ke­polisian untuk lebih trans­pa­ran dalam menangani kasus terse­but. “Apa dan bagaimana hasil pe­meriksaannya, hendaknya di­sampaikan kepada publik. Apa alasan tidak ditemukannya buk­ti dan tersangka dalam ka­sus ini harus jelas. Jangan ujug-ujug atau tiba-tiba mengeluarkan SP-3,” tuturnya.

Memberi Ruang Demokratisasi Hukum

Taslim, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Tas­lim menilai, upaya kepo­li­si­an mengeluarkan surat perin­tah penghentian penyidikan (SP-3) kasus dugaan korupsi ayat tembakau, wajar. Demi­ki­an halnya langkah praperadilan yang ditujukan untuk mem­per­tanyakan keabsahan keputusan tersebut.

Dia mengatakan, rangkaian pro­ses hingga keluarnya SP-3 tentu sudah dipertimbangkan se­cara matang. Ada dasar-dasar hukum yang kemungkinan be­sar dijadikan pedoman kep­o­li­sian untuk menetapkan langkah tersebut. “Tidak mungkin SP-3 di­ambil tanpa pertimbangan hu­kum yang matang,” ujarnya.

Menurut Taslim, pernya­taan­nya ini tidak dalam kapasitas membela kepolisian. Namun, berdasarkan pengalaman, SP-3 didasari pedoman hukum yang baku. Untuk membuktikan hal tersebut, maka tidak salah jika putusan SP-3 bisa dikaji lewat praperadilan. “Nanti majelis hakim praperadilan yang akan mempertimbangkan apakah SP-3 tersebut layak diambil atau tidak,” tuturnya.

Jika hakim memutus bahwa SP-3 itu tidak benar, sesuai ke­ten­tuan maka kasus yang ada ha­rus diproses secara ulang. Tapi jika putusan hakim me­nya­takan sebaliknya, maka proses penyidikan atas kasus ini bisa dihentikan.

Pada prinsipnya, upaya mem­praperadilankan putusan SP-3 tidak menyalahi aturan. Justru ini akan memberikan pelajaran bagi upaya penegakan hukum di Tanah Air. Dibanding me­ngam­bil langkah yang anarkis, pra­pe­radilan dirasakan lebih me­mi­liki ruang bagi terciptanya de­mok­ratisasi hukum.

Dia berharap, penanganan mau­pun pertimbangan hakim dalam menilai gugatan pra­pe­ra­dilan dilaksanakan secara pro­por­sional. Sehingga, apa dan bagaimana duduk perkara yang jadi pokok sengketa terangkum secara jelas. Dengan trans­pa­ran­nya penanganan perkara, kelak hal tersebut menjadi modal ha­kim memutus perkara. Intinya, azas atau prinsip keadilan bagi se­mua pihak, dalam hal ini ter­gu­gat maupun penggugat seti­dak­nya tercipta lewat sidang yang proporsional. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA