Tersangka Kasus Sistem Info Ditjen Pajak Tambah Satu

Kali Ini Dari Pihak Swasta Pemenang Tender

Senin, 16 Januari 2012, 08:55 WIB
Tersangka Kasus Sistem Info Ditjen Pajak Tambah Satu
Noor Rachmad

RMOL. Tersangka dugaan korupsi pengadaan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), Jasa Pemeliharaan Sistem Monitoring Pembayaran Direktorat Jenderal Pajak dan Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara (MPN) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2006 yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 12 miliar, bertambah satu orang.

Kali ini, tersangkanya adalah pi­hak swasta yang menjadi pe­me­nang tender pengadaan itu. “Ada penetapan tersangka baru untuk kasus korupsi di Ditjen Pajak. Ber­asal dari rekanan Ditjen Pa­jak, dari pihak swasta. Jadi, untuk sementara ini ada tiga tersangka dalam kasus tersebut,” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jam­­pidsus) Andhi Nirwanto di Ge­dung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Pihak Kejaksaan Agung ber­dalih belum bisa menyampaikan nama tersangka baru tersebut, sebab mereka belum me­nyam­paikan kepada yang bersangkutan perihal status tersangkanya. “Belum bisa disebutkan. Tunggu saja, nanti akan dikasih tahu,” ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rochmad.

Berdasarkan informasi yang di­peroleh Rakyat Merdeka dari se­­orang penyidik Kejaksaan Agung, tersangka baru tersebut me­mang berasalah dari pihak swasta, dengan inisial LWH. “Tersangkanya berinisial LWH dari PT BHP,” ujarnya singkat.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah menetapkan dua tersangka kasus ini. Mereka pun sudah di­tahan Kejagung di Rutan Sa­lem­ba cabang Kejari Jakarta Selatan. Mereka adalah Pulung Sukarno yakni Pejabat Pembuat Komit­men (PPK) dan Ketua Panitia Pengadaan bernama Bahar. “Ter­sangkanya jadi tiga orang,” ujar Noor Rachmad.

Kasus ini bermula ketika Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan sebesar Rp 12 miliar dalam proyek pengadaan sistem informasi yang menelan anggaran Rp 43 miliar.

Atas temuan BPK itu, Jam­pid­sus melakukan penyelidikan dan baru meningkatkan status per­kara itu ke penyidikan pada 3 No­­vem­ber 2011. Berdasarkan audit yang telah dilakukan BPK, ditemukan alat-alat yang tidak ada wujudnya dalam pengadaan sistem informasi.

Pada November 2011, Penyi­dik Kejaksaan Agung juga me­nurunkan timnya untuk mela­ku­kan penggeledahan di kantor Ditjen Pajak. Upaya peng­ge­le­da­han itu dilakukan, untuk me­ngum­pulkan sejumlah informasi yang diperlukan dalam pengus­u­tan kasus.

Pihak Kejaksaan Agung sudah pernah meminta agar diberikan se­jumlah do­ku­men. Namun, pi­hak Ditjen Pajak yang dimintai ke­terangan tak mau mem­be­rikannya.

“Jadi kami tidak bisa me­nunggu lama, kami melakukan tindakan penyitaan dan pengg­e­le­dahan. Kami turunkan tim dan ternyata ditemukan dokumennya sudah dipindahkan dari kantor pusat ke kantor pelayanan Jakarta Barat,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Arnold Angkouw di Kejaksaan Agung, Kamis, 3 No­vember 2011.

Dia menjelaskan, langkah peng­geledahan yang dilakukan pe­nyidik Kejagung itu sudah se­suai dengan Undang-Undang. Ka­rena tak ada itikad baik dari pihak direktorat. “Sesuai dengan undang-undang, jaksa mem­pu­nyai wewenang melakukan peng­geledahan, menyita karena itu bagian pengumpulan alat bukti dan alat bukti itu yang kita pakai apakah ada pelanggaran pida­na­nya,” ujar Arnold.

Dalam pengadaan sitem infor­masi tersebut, diduga terjadi pe­nyimpangan dalam pengadaan peralatan Sistem Informasi Ma­na­jemen pada Ditjen Pajak tahun anggaran 2006. Berdasarkan audit BPK, dari nilai proyek total sebesar Rp 43 miliar, diduga ter­dapat penyelewengan dana sedi­kitinya sebesar Rp 12 miliar.

“Setelah dikumpulkan doku­men-dokumen tersebut, baru kita datangkan auditor dari BPK ka­rena mereka juga yang me­ne­mukan kejanggalan tersebut,” kata Arnold.

REKA ULANG

Sebelumnya Ada Dua Tersangka

Awal November 2011, Kejak­saan Agung sudah menetapkan dua tersangka dugaan korupsi pengadaan Sistem Informasi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pa­jak pada 2006.

Dua tersangka itu diduga me­nyelewengkan penggunaan ke­uangan negara sekitar Rp 43 mi­liar. Mereka adalah Ketua Pa­nitia Proses Pengadaan Sistem Infor­masi Manajamen Bahar dan Pe­jabat Pembuat Komitmen Pu­lung Sukarno. Kejaksaan Agung pun sudah menahan ke­dua ter­sangka.

Para tersangka dijerat pidana Pasal 2 atau 3 Undang-Undang No­mor 31 Tahun 1999, sebagai­mana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pem­be­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai melanggar Kepres No 80 Tahun 2003 tentang Pe­doman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Saat pengusutan kasus ini, Ke­jaksaan Agung melakukan peng­geledahan di Kantor Ditjen Pajak, sebab pihak Ditjen Pajak tidak bersikap kooperatif.

Tim dari kejagung juga mela­ku­kan penggeledahan di dua buah rumah, yani rumah di Jalan Madrasah Gandaria, Jakarta Se­latan, dan rumah di Komplek Ci­nere, Depok, Jawa Barat. Kedua rumah itu adalah rumah ter­sang­ka Bahar.

Kasus tersebut berawal dari laporan dari Badan Pemeriksa Ke­­uangan (BPK) yang menemukan adanya kejanggalan uang sebesar Rp 12 miliar dari total dana pe­nga­daan sistem informasi terse­but yang mencapai angka Rp 43 miliar.

BPK menilai bahwa ada alat-alat sistem informasi yang tidak ada wujudnya alias tidak ada ba­rangnya. Dari hasil audit BPK ter­sebut, Kejaksaan Agung me­naikkan status dari penyelidikan ke penyidikan.

Setelah itu, Kapuspenkum Ke­jagung Noor Rochmad me­nya­takan, kasus tersebut belum ber­henti sampai dua tersangka ini. Soalnya, penyidik masih me­ngem­bangkan perkara tersebut. “Kami akan kaji lebih dalam supaya kasus ini menjadi terang benderang,” ujarnya.

Menanggapi kasus ini, Ditjen Pa­jak menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. “Tentu kami prihatin. Tapi, kami sangat kooperatif dengan pihak berwa­jib agar segera tuntas,” kata Di­rektur Penyuluhan dan Bi­m­bi­ngan Pela­ya­nan Hubungan Ma­syarakat Dit­jen Pajak Dedi Ru­daidi saat jum­pa pers di Gedung Ditjen Pajak.

Dedi menyatakan, kasus ini murni bukan perkara perpajakan, tapi pengadaan barang. “Tidak sedikit pun kami resistance terha­dap proses hukum ini. Justru kami dukung, karena kami se­dang berbenah,” ujarnya.

Direktur Eksekutif LSM Indo­nesian Resource Studies (IRES) Marwan Batubara menilai, Ditjen Pajak mesti direformasi total un­tuk menghilangkan reaksi negatif masyarakat kepada lembaga ini. Terlebih, katanya, setelah Kejak­sa­an Agung me­netapkan dua pe­jabat Ditjen Pajak sebagai ter­sangka kasus pengadaan sistem informasi manajemen ini.

“Setelah kasus Gayus, tadinya saya berharap tidak ada lagi per­kara korupsi di Ditjen Pajak. Ini tanda bahwa pengawasan di Ditjen Pajak lemah. Sebab, jika pengawasannya bagus, tentu kasus seperti ini tidak terjadi,” katanya.

Masyarakat Kita Sudah Cerdas

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­nilai, Kejaksaan Agung ter­ke­san menutup-nutupi pengu­mu­man tersangka dugaan korupsi pe­ngadaan Sistem Informasi Di­rektorat Jenederal Pajak (SIDJP), itu aneh dan patut dicurigai.

“Lucu juga mereka, kok ma­lah menutupi nama atau iden­titas tersangka. Itu harus dibuka dong. Sebab, seseorang dite­tap­kan sebagai tersangka karena sudah ada alat bukti yang kuat,” ujar Andi Rio.

Politisi Golkar itu menilai, bila memang ada unsur kese­nga­jaan dalam upaya menutupi pengumuman tersangka itu, maka Kejaksaan Agung pantas dipertanyakan. “Apakah ada se­suatu di situ, mengapa tak di­umumkan, ya itu patut di­per­ta­nyakan,” ujarnya.

Andi Rio menyampaikan, jaksa penyidik yang menangani kasus itu hendaknya bekerja secara profesional. Penetapan sta­tus tersangka pun harus di­sampaikan secara profesional.

“Kita ini jadi bingung dengan pola kerja penyidik seperti itu. Kapan akan benar negara hu­kum kita ini kalau masih saja ada tersangka yang ditutup-tu­tupi. Masyarakat kita sudah cer­das, jangan dianggap bodoh. Sikap kejaksaan begitu ya harus dipertanyakan. Jaksa harus ker­ja profesional,” ujarnya.

Dia mengingatkan, publik ja­ngan dibuat curiga terus me­ne­rus. Sebab, hal itu akan meru­gi­k­an kejaksaan sendiri. “Ma­syarakat bisa semakin tak per­caya dengan kerja mereka. Saat­nya jaksa kita berubah makin pro­fesional,” ujarnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menahan dua pe­ga­wai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan sistem informasi manajemen pada tahun 2006.  Tapi, identitas mereka jelas, tak seperti tersangka baru itu.

“Kejagung menahan dua pe­gawai Ditjen Pajak yang se­be­lumnya sudah ditetapkan se­ba­gai tersangka. Mereka ditahan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rochmad, pada saat penahanan tersangka itu.

Kedua tersangka itu adalah Ke­tua Panitia Pengadaan Sis­tem Informasi Manajamen Ba­har dan Pejabat Pembuat Ko­mit­men Pulung Sukarno.

“Ter­sangka Bahar ditahan di Rutan Salemba Cabang Keja­gung dan Pulung ditahan di Ru­tan Saemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Mereka ditahan selama 20 hari ke depan untuk kepentingan peyidikan,” ujar Noor.

Untuk Apa Kejaksaan Tutupi Identitas Tersangka

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Masyarakat berke­pen­ti­ngan untuk mengetahui proses hukum yang dilakukan Ke­jak­saan Agung, termasuk dalam hal mengumumkan tersangka se­buah perkara korupsi.

Pengamat hukum dari Uni­versitas Trisakti Yenti Garnasih menilai, upaya me­nyem­bu­nyi­kan penetapan status tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Sistem Informasi di Ditjen Pa­jak itu tidak berdasar. Karena itu, kejaksaan harus me­ngu­mum­kan secara transparan pro­ses yang mereka lakukan.

“Bagaimana publik bisa me­ngawal proses yang terjadi bila menyampaikan tersangka saja penuh dengan sikap men­cu­ri­ga­k­an. Kejaksaan harus trans­paran dong,” ujar Yenti.

Yenti menyampaikan, tidak akan ada efek negatif dalam pengumuman seseorang seba­gai tersangka asalkan memang sudah ada alat bukti yang kuat. “Tidak apa-apa. Harus di­umum­kan, sebab itu pun bisa me­nimbulkan efek jera bagi orang lain,” ujarnya.

Apabila ada upaya dengan sengaja menutupi penetapan status tersangka, lanjut Yenti, maka tingkat kecurigaan ma­sya­rakat harus dinaikkan. “un­tuk apa ditutupi, harus trans­paran,” katanya.

Dia pun meminta jaksa agar be­kerja profesional, serta tidak me­lakukan penyelewengan tu­gas dan tanggung jawab. “Jika di­tutupi, apakah mereka akan meng-SP3 kasus itu? Apakah ada permainan? Ini tentu akan men­jadi pertanyaan masya­ra­kat, sebab masyarakat kita me­nga­wasi proses hukum,” ucapnya.

Proses yang transparan, ser­ta profesional, lanjut Yenti, akan mampu mengeliminasi tin­da­kan penyalahgunaan oleh jaksa. “Tindakan menerima suap, me­la­kukan pemerasan atau me­nye­lewengkan perkara akan bisa terhindarkan dengan trans­pa­ransi. Ya harus terbuka,” ucapnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA