RMOL. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin menjatuhkan vonis bersalah kepada bekas Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman dua tahun enam bulan penjara, karena Hari terbukti terÂlibat kasus pengadaan mobil peÂmadam kebakaran (damkar) unÂtuk 22 pemerintah daerah tahun 2003-2004.
“Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,†kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo saat membacakan puÂtusan di Pengadilan Tipikor, JaÂkarta, kemarin.
Hari juga diwajibkan membaÂyar denda kepada negara sebesar Rp 150 juta. “Dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar, diÂganti dengan pidana kurungan seÂlama tiga bulan,†kata Suhartoyo.
Majelis hakim menilai, Hari telah menguntungkan diri sendiri dan pihak lain dalam pengadaan itu, sehingga negara dirugikan seÂbesar Rp 97,026 miliar. “Hari berÂsalah lantaran telah memberikan disposisi surat radiogram kepada Dirjen Otonomi Daerah, Oentarto Sindung Mawardi,†tandasnya.
Selain itu, menurut majelis hakim, Hari telah meÂnyaÂlahÂguÂnaÂkan wewenangnya dengan meÂngaÂrahkan gubernur, bupati, dan walikota di 22 wilayah untuk memilih mobil damkar dengan spesifikasi yang diproduksi peruÂsaÂhaan milik Hengky Samuel Daud (almarhum), yakni PT IsÂtana Sarana Raya.
“Akibat menÂdapatkan fasilitas itu, Hengky berhasil menjual 200 unit damkar miliknya, termasuk mendapatkan pembebasan bea masuk impor damkar.â€
Menurut majelis, Hari telah melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan itu. Kemudian, Hengky meminta surat edaran meÂngenai pembelian damkar meÂlalui Oentarto berupa radiogram.
Dengan terbitnya radiogram NoÂmor 0271/1496/OTDA, meÂnuÂrut majelis, Hari telah menÂgaÂrahkan gubernur, bupati atau waÂliÂkota untuk melaksanakan peÂngadaan mobil damkar milik HengÂky dengan Type 80 ASM dan Morita, karena mencanÂtumÂkan tipe yang dimaksud. RaÂdioÂgram itulah yang dijadikan lamÂpiran untuk menawarkan damkar.
Selain itu, Hengky juga kerap hadir pada kunjungan daerah, dan Hari memperkenalkannya kepada kepala daerah. “Seharusnya, seÂtiap pengadaan itu melalui proses lelang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003,†kata Suhartoyo.
Dalam putusan juga disebutÂkan, Hari telah mendapatkan uang sebesar Rp 396 juta untuk pembayaran interior dan meubel rumahnya melalui istri Hengky. Selain itu, menerima mobil meÂrek Volvo dengan nopol B 448 HR tahun 2005 seharga Rp 808 juta melalui istri Hengky.
“Fakta hukum seperti peneriÂmaÂan mobil dan pembaÂyaÂran interior serta mebel, meÂnunÂjukÂkan korelasi yang sangat erat, seÂhingga terdakwa terbukti terÂliÂbat,†tegas Ketua Majelis Hakim.
Mendengar vonis itu, Hari dan kuasa hukumnya, Eko Prananto menyatakan banding. “Kami langsung mengajukan banding Yang Mulia,†kata Hari yang sejak awal sidang raut wajahnya terlihat datar.
Soalnya, menurut Hari, keteÂraÂngan saksi yang meringankan tidak disinggung majelis hakim. Terutama soal memo yang diÂkeÂluarkan Oentarto. “Saya tidak perÂnah minta supaya dikeluarkan radiogram, dan memo dinas yang dibuat Oentarto itu palsu,†kata Hari yang mengenakan batik coklat berlengan panjang.
Saksi meringankan lainnya, lanjut Hari, juga tidak disinggung dan tidak dipertimbangkan haÂkim. Sebagai contoh, kata dia, inÂterior dan meubel di rumahnya bukan berasal dari uang Hengky atau istri Hengky, Jenny. “Itu diÂakui kok dalam BAPnya nyonya Daud,†alasannya.
Hari juga membantah mobil Volvo dengan nopol B 448 HR taÂhun 2005 bukan hasil pembeÂrian Hengky. “Mobil itu dari saku saya, dia hanya membantu untuk memproses. Fakturnya saja atas nama saya semua,†katanya.
Hari menambahkan, dia memÂbeli mobil itu setelah tidak menÂjadi Mendagri. “Setelah tiga moÂbil dinas saya ditarik, saya menÂcari kendaraan. Kebetulan, HengÂky datang ke rumah dan memÂproses pembeliannya,†ujar dia.
Sebelumnya, dalam sidang tangÂgal 9 Desember 2011, jaksa KPK menuntut supaya majelis haÂkim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Hari, dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Jadi, hukuÂman penjara untuk Hari separuh lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Menurut jaksa Hadiyanto, Hari terbukti melakukan korupsi berÂsama-sama Dirjen Otonomi DaeÂrah Oentarto Sindung Mawardi dan bos PT Istana Sarana Raya, Hengky Samuel Daud.
“Terdakwa bersama-sama OenÂtarto mewujudkan keinginan Hengky. Kemudian bersama-sama Hengky menemui kepala daerah. Sebagai realisasinya, keÂpala daerah membeli mobil peÂmadam kebakaran dari Hengky. Sehingga negara dirugikan seÂbesar Rp 97 miliar,†urai HadiÂyanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
REKA ULANG
Bawahan Hari Kena 3 Tahun Penjara
Kasus pengadaan mobil dinas pemadam kebakaran (damkar) yang diselidiki KPK sejak tahun 2006 ini, berawal dari radiogram Departemen Dalam Negeri kepada sejumlah keÂpala daerah. Kala itu, Hari Sabarno menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Namun, pada 25 Maret 2011, KPK baru menahan bekas MenÂdagri Hari Sabarno.
Radiogram bernomor 27/1496/Otda/tanggal 13 Desember 2002 itu, mengarahkan para kepala daeÂrah tersebut membeli mobil damÂkar dengan jenis dan rekanan yang telah ditentukan, yaitu PT Istana Sarana Raya milik Hengky Samuel Daud (almarhum). HengÂky pun telah menjadi terpidana kasus ini.
Nama Hari Sabarno mulai disebut-sebut dalam persidangan terdakwa bekas Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Depdagri Oentarto Sindung Mawardi. Majelis hakim memvonis Oentarto tiga tahun penÂjara. Dalam pertimbangan huÂkum putusannya, majelis hakim menilai, Hari Sabarno turut berÂperan dalam turunnya radiogram Dirjen Otda tahun 2002 itu.
Sejak penyidikan hingga perÂsidangan, Oentarto bersikukuh radiogram diterbitkan atas pe tunÂjuk Hari Sabarno. Dia menuruti perintah tersebut karena Hengky dikenal dekat dengan Hari serta kerap mengÂintimidasinya.
Sebelum meninggal, Hengky diÂhukum 18 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sementara Oentarto divonis tiga tahun penÂjara. [Harian Rakyat Merdeka]
Sebelum bekas Menteri DaÂlam Negeri Hari Sabarno dijatuhi huÂkuman 2,5 tahun penjara, seÂjumlah kepala daerah sudah lebih dahulu tinggal di hotel prodeo kaÂrena kasus pengadaan mobil peÂmadam kebakaran (damkar).
1. Gubernur Riau 1998-2003 SaÂleh Djasit, kasus pengadaan mobil damkar yang merugikan negara Rp 4,719 miliar. HuÂkuman empat tahun penjara.
2. Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, korupsi pengadaan mobil damkar pada 2004 yang merugikan negara sekitar Rp 72 miliar. Hukuman empat tahun penjara.
3. Wali Kota Medan Abdillah. HuÂkuman empat tahun penjara.
4. Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
5. Wali Kota Makassar 1999-2004 Baso Amiruddin Maula menerima hadiah senilai Rp 600 juta dalam pengadaan 10 mobil damkar pada tahun angÂgaran 2003. Hukuman empat tahun penjara.
6. Gubernur Kepulauan Riau IsÂmeth Abdullah, korupsi peÂngadaan mobil damkar di OtoÂrita Batam 2004-2005. HukuÂman dua tahun penjara.
KPK Tak Beda Dengan Kajagung
Ahmad Rivai, Direktur LPHSN
Bekas pengacara pimpinan KPK Bibit-Chandra saat meÂlawan Anggodo, Ahmad Rivai merasakan KPK pilih kasih daÂlam menangani perkara korupsi yang diduga melibatkan nama-nama besar.
Hal itu, tegas Rivai, sehaÂrusÂnya tidak boleh terjadi dalam peÂnanganan kasus korupsi apaÂpun, dengan tersangka siapaÂpun. “Sebaiknya KPK dalam memroses harus sama, tanpa panÂdang bulu terhadap siapaÂpun yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,†ingat Direktur Lembaga Penegakan HuÂkum dan Strategi Nasional (LPHSN) Ahmad Rivai, kemarin.
Menurut Rivai, sampai saat ini, publik masih mempercayai KPK sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki integritas baik. Jangan sampai, KPK memberikan perlakuan berbeda kepada tersangka tertentu, kaÂreÂna itu dapat merusak keperÂcayaan publik.
“Lembaga inilah yang masih bisa dipercaya publik untuk menangani kasus-kasus korupsi secara serius, dan apabila ada piÂlih kasih, tentu KPK tidak ada bedanya dengan lembaga peÂneÂgak hukum lain,†ujar dia.
Dalam kasus Damkar, Rivai meÂnilai, KPK pilih kasih terhaÂdap Hari Sabarno dibandingkan dengan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung MaÂwardi, bos PT Istana Sarana Raya Hengky Samuel Daud dan sejumlah kepala daerah yang jauh lebih dahulu ditetapkan seÂbagai tersangka dan dibawa ke pengadilan.
Menurut Rivai, publik mesti menggugat pola-pola pilih kasih seperti itu. “Indikasi itu ada, sehingga harus dilawan. Kalau dibiarkan, maka hal itu akan terulang dan terulang,†ujarnya.
Tidak hanya dalam penaÂnganan kasus damkar KPK pilih kasih. Menurut Rivai, pada seÂjumlah kasus lain pun dapat diÂrasakan bagaimana KPK bisa tampak begitu garang di satu sisi, tapi pada sisi lain kelihatan sangat “kooperatifâ€.
“Kita maÂsih melihat peÂnanganan kasus Wisma Atlet dan Kemenakertrans, apakah KPK juga akan pilih kasih,†tandasnya.
Tidak Boleh Diskriminatif
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Penanganan kasus pengaÂdaam mobil pemadam keÂbaÂkaÂran (damkar) di 22 pemerintah daerah, akhirnya sampai pada putusan majelis hakim terhadap bekas Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
Kendati begitu, anggota KoÂmisi III DPR Yahdil Abdi HaÂrahap menilai, KPK melakukan diskriminasi saat menangani kasus ini. Soalnya, proses terÂhadap Hari Sabarno berÂlangÂsung sangat lama, dari mulai peÂnetapan status tersangka, peÂmeriksaan sampai persidangan.
Perlakuan diskriminatif, meÂnurut dia, juga terasa pada peÂnanganan sejumlah kasus lain di KPK. “Ada seorang yang baru diperiksa sekali, langsung ditetapkan menjadi tersangka. Ada yang sudah diperiksa berÂkali-kali serta telah dilengkapi bukti-bukti, tapi tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka,†ujarnya, kemarin.
Menurut politisi PAN ini, pubÂlik tentu tidak begitu saja bisa dibohongi dengan pola perlakuan yang berbeda-beda dan terkesan pilih-pilih itu. MeÂnurut Yahdil, kecurigaan publik terhadap pola penanganan kasus di KPK tidak bisa ditutupi dengan retorika saja.
“Secara umum, tindakan KPK memang tebang pilih. Ada yang prosesnya cepat sekali, ada yang prosesnya lama sekali. Kalau memang demi keÂakuÂratan bukti, hendaknya diperÂlaÂkuÂkan sama,†ujar dia.
Lantaran itu, Yahdil menamÂbahÂkan, wajar jika pada akhirÂnya publik menaruh curiga keÂpada KPK. Atau, muncul tuÂdingan, ada pejabat KPK memÂbuat deal dengan pihak-pihak tertentu terkait perkara yang diÂtanganinya. “Kecurigaan publik seperti itu wajar. Itu muncul dari proses yang diikuti masyaÂraÂkat,†ujarnya.
Ke depan, saran Yahdil, KPK di bawah pimpinan Abraham Samad hendaknya tidak bertele-tele dan terkesan membuat lama proses penanganan perkara. KaÂrena itu, dia meminta KPK meÂlakÂukan brainstorming di interÂnal mereka, untuk menyamakan persepsi penanganan perkara.
Yahdil pun mengingatkan, agar pengawasan internal KPK konsisten melakukan kontrol terhadap kinerja pimÂpinan dan para staf KPK. SeÂlain itu, tentu publik tidak akan tinggal diam. Masyarakat tenÂtu mengawasi KPK. “PimÂpiÂnan KPK yang baru diÂhaÂrapÂkan tiÂdak melakukan perlakuan yang berbeda dalam penaÂngaÂnan perkara,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: