RMOL. Sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kembali digelar, kemarin. Kali ini, giliran hakim bernama Hendra Pramono duduk di ‘kursi pesakitan’ lantaran bertemu dan membuat deal dengan terdakwa.
Ketua Majelis Hakim perkaÂra di PeÂngadilan Negeri SaumÂlaki, MaÂluku Tenggara Barat itu, keÂmuÂdian mendapat uang Rp 40 juta.
Atas perbuatannya, dia didakÂwa melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dengan ancaman hukuman dipecat. Yang meÂngaÂjukan Hendra unÂtuk disidang MKH adalah Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) sekaligus.
Sebelumnya, Tim Pengawas KY yang menyelidiki laporan meÂÂngenai Hendra berkeÂsimÂpuÂlan, yang bersangkutan terbukti meÂlakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. “Keputusan SiÂdang Pleno Komisi Yudisial meÂrekomendasikan pemberhentian terhadap terlapor,†ujar Ketua MKH Suparman Marzuki dalam sidang yang digelar di Gedung MA, Jakarta, kemarin.
Bahkan, lanjut Suparman, baÂgian Pengawasan Internal MA yang juga dilapori kasus itu meÂnyatakan hal yang sama, bahwa Hendra terbukti melakukan peÂlanggaran. Lantaran itu, MA juga meÂrekomendasikan pemberÂhenÂtian terhadap Hendra.
Hendra yang sekarang bertugas di Pengadilan Negeri Madiun, saat menerima Rp 40 juta itu, maÂsih menÂjabat sebagai Ketua MaÂjelis HaÂkim perkara yang diÂtaÂnganinya di Pengadilan Negeri Saumlaki.
Hendra kemudian dilaporkan terdakwa yang bernama Freddy ke KY dan MA. Inti laporannya, HenÂdra bertemu terdakwa dan memÂÂbuat kesepakatan dengan terÂdakwa yang tak ingin ditahan di rumah tahanan. Terdakwa ingin haÂnya menjalani tahanan Kota. Permintaan itu dikabulkan Hendra dengan imbalan uang Rp 40 juta.
Sesuai Pasal 20 ayat 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas undang-Undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum junto Pasal 23 ayat 4 Undang-UnÂdang Nomor 22 Tahun 2004 tenÂtang Komisi Yudisial, sebelum MA dan atau KY mengajukan usul pemberhentian, hakim memÂpunyai hak untuk membela diri di hadapan MKH.
Di hadapan MKH, Hendra meÂngakui telah bertemu dan meÂneÂrima uang dari terdakwa. Dia juga mengaku sudah mengembalikan seÂmua uang yang diterimanya, dan berjanji tidak akan menguÂlaÂngi perÂÂbuatan seperti itu. Apabila meÂnguÂlangi, Hendra bersedia dipecat.
Hendra kemudian meminta kebÂijaksanaan MKH agar tidak meÂmecatnya, sebab, dia masih muda, memiliki tanggungan keÂluarga, dimana istrinya sedang haÂmil, dan orangtuanya tengah saÂkit. Selain itu, Hendra meÂnyamÂpaikan bahwa dirinya selaÂma ini selalu ditugaskan di daeÂrah-daerah terpencil.
Hendra pun menghadirkan sakÂsi yang meringankan, yakni istriÂnya. Kepada MKH, istrinya meÂnyatakan bahwa Hendra adaÂlah sosok yang bertanggung jaÂwab terÂhadap keluarga, tidak perÂnah seÂbelumnya melakukan perÂbuatan terÂcela. Lantaran itu, istriÂnya berÂharap agar Hendra tidak dipecat.
Pada kesimpulan MKH, HenÂdra disebut terbukti melakukan peÂlanggaran Kode Etik dan PeÂdoman Perilaku Hakim, karena meÂnerima uang sebesar Rp 40 juta dari terdakwa perkara yang diÂtanganinya. Terungkap pula bahwa dalam kasus-kasus lainÂnya, Hendra melakukan pertÂeÂmuan dengan pihak-pihak berperÂkara dan menerima uang.
Tapi, pada akhir persidangan, MKH tidak menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Hendra. “MeÂmutuskan, menerima pembelaan terlapor sebagian. Memutuskan terÂlapor terbukti bersalah melaÂkuÂkan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
MenÂjatuhkan hukuman dengan sanksi berat dimutasikan ke PeÂngadilan Tinggi Surabaya, Jawa Timur, sebagai hakim non palu seÂlama satu tahun, dan dikurangi tunjangannya sebesar seratus perÂsen selama satu tahun,†ujar SuÂparman Marzuki saat membÂaÂcaÂkan vonis.
Hendra yang disidang MKH dengan nomor register 05/MKH/XII itu menyatakan menerima puÂtusan tersebut. “Saya setuju. Saya kirÂa itu keputusan yang adil bagi saya,†ujar Hendra yang daÂtang ke siÂdang MKH didampingi istrinya.
Sesuai Undang Undang KoÂmisi Yudisial, MKH digawangi tujuh hakim, yang terdiri dari emÂpat unsur KY dan tiga unsur MA. MKH kali ini digawangi Ketua KY Suparman Marzuki sebagai KeÂtua MKH, anggota KY IbraÂhim sebagai anggota MKH, angÂgoÂta KY Jaja Ahmad Jayus sebagai anggota MKH, anggota KY Taufiqurahman Syahuri sebagai anggota MKH, hakim MA Muhammad Taufik sebagai anggota MKH, hakim MA Imam Harjadi sebagai anggota MKH, hakim MA I Made Tara sebagai anggota MKH.
REKA ULANG
13 Hakim Digiring Ke MKH
Sepanjang tahun 2009 hingga 2011, Majelis Kehormatan HaÂkim (MKH) baru 13 kali meÂnyiÂdangkan dan memberikan sanksi kepada hakim yang melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Hal itu disampaikan KomisÂioÂner Komisi Yudisial (KY) Jaja AhÂmad Jayus yang didampingi Juru Bicara KY Asep Rahmat FaÂjar saat memaparkan Hasil PeÂneÂlitian Komisi Yudisial Mengenai Pengadilan Khusus di Gedung KY, Jakarta, Rabu (28/12).
Sekadar mengingatkan, MKH adalah perangkat yang dibentuk MA dan KY. MKH bertugas meÂmeriksa dan memutus kasus duÂgaan pelangÂgaran Kode Etik dan atau PedoÂman Perilaku Hakim. “Dalam arti bahwa Majelis KeÂhormatan HaÂkim menjadi forum pembelaan diri bagi hakim yang diÂusulkan untuk diberhentikan seÂcara berÂtahap,†ujar Jaja.
Jubir KY Asep Rahmat Fajar menyampaikan, MKH berjalan sesuai mekanisme yang diterÂbitÂkan dalam Keputusan Bersama KeÂtua Makamah Agung dan KeÂtua Komisi Yudisial Nomor 129/KMA/IX/2009–Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2009 tanggal 8 SeptemÂber 2009 tentang Tata Cara Pembentukan, tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
“Sejak diterbitkannya keputuÂsan bersama itu sampai sekarang, MKH telah dibentuk sebanyak 13 kali. Dari jumlah tersebut, sebaÂnyak 6 hakim yang diajukan ke MKH merupakan rekomendasi KY. Sisanya atas rekomendasi MA,†ujar Asep.
Dari 13 kali pembentukan MKH itu, lanjutnya, yang terlakÂsana persidangannya hingga dikeluarkannya keputusan adalah 12 kali MKH. “Satu MKH tidak dapat dilaksanakan perÂsidaÂnganÂnya, karena hakim yang diberikan kesempatan melakukan pembeÂlaan diri itu mengundurkan diri seÂbagai hakim sebelum sidang MKH dilaksanakan. Sehingga, dia secara otomatis diberhentikan seÂbagai hakim oleh MA atas perÂmintaan sendiri,†ujar Asep.
Dari data yang dipaparkan KY, jumÂlah hakim yang dipanggil unÂtuk diperiksa KY dari tahun 2005 sampai 15 Desember 2011, sebaÂnyak 471 hakim. Dari jumlah itu, 452 hakim memenuhi panÂgÂgilan. Sedangkan yang tidak meÂmenuhi panggilan 19 hakim. “Yang tidak memenuhi panggilan itu, 9 hakim agung, 5 hakim tinggi dan 5 haÂkim tingkat I atau pengadilan negeri. Sedangkan untuk jumlah pelapor dan saksi yang diperiksa 625 orang,†urai Asep.
Nah, untuk tahun 2011 saja, kata Asep, ada 71 hakim yang memeÂnuhi panggilan KY dan 4 orang tiÂdak memenuhi panggilan. Dari 452 hakim yang diperiksa, sebaÂnyak 133 orang telah direkoÂmeÂnÂdasikan ke MA untuk dijaÂtuhÂkan sanksi. Asep menambÂahÂkan, ada tiga maÂcam rekomendasi sanksi, yaitu teÂguran tertulis, pemberhentian seÂmenÂtara dan pemberhentian.
Minta Kepolisian Turun Tangan
Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI
Hakim yang terbukti melakuÂkan tindak pidana korupsi, seÂperti menerima uang dari terÂdakÂwa, seharusnya juga diproÂses secara pidana di kepolisian, keÂjaksaan, hingga ke pengadilan.
“Jadi, tidak cukup hanya menÂdapatkan sanksi adminsitratif melalui Majelis Kehormatan HaÂkim,†kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum InÂdonesia (YLBHI) Erna RatÂnaÂningsih, kemarin.
Erna mengingatkan, upaya huÂkum pidana tentu harus diÂlakukan apabila hakim terbukti melakukan tindak pidana suap atau pemerasan, selain persiÂdaÂngan kode etik profesi. Hal itu, kata dia, juga berlaku untuk proÂfesi lainnya seperti dokter dan advokat.
Menurut Erna, memang daÂlam aturan Majelis KehorÂmatan Hakim (MKH) tidak ada keÂwaÂjiban seseorang untuk dilaÂporÂkan ke proses pidana. Namun, bukan berarti hal itu didiamkan begitu saja.
Dia menambahkan, MKH yang dibentuk Mahkamah Agung (MA) dan Komisi YuÂdisial (KY), bertugas meÂmeÂrikÂsa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan PeÂdoman Perilaku Hakim, dengan sanksi terberat adalah pemÂberhentian tidak hormat, alias pemecatan.
“Sanksi MKH memang berÂkaitan dengan penegakan kode etik, bukan masuk ranah piÂdana. Dalam Undang Undang KY tiÂdak ada aturan yang meÂwaÂjiÂbÂkan KY untuk meninÂdaklanjuti ke kepolisian. Kalau sudah maÂsuk pidana, tentu saja itu masuk wilayah kepolisian,†ujarnya.
Erna menjelaskan, dalam konÂsep hukum pidana, apabila jenis perkaranya bukan delik aduan, kepolisian memiliki weÂÂwenang untuk memÂprosesÂnya meski tanpa ada laporan. Tapi, bisa saja ada korban yang juga melaporkan hakim terÂsebut ke kepolisian, selain ke KY dan MA.
“Kalau hakim terbukti meÂlaÂkukan tindak pidana, maka keÂpoÂlisian harus meninÂdakÂlanÂjutiÂnya karena suap, korupsi buÂkan merupakan delik aduan. Tanpa ada yang mengadu pun, poÂlisi harus melakukan penyiÂdiÂkan,†ujarnya.
Prihatin Sanksi Sangat Lembek
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar merasa sangat priÂhatin melihat model pemÂbeÂrian sanksi yang sangat lembek terhadap aparat penegak huÂkum, seperti hakim yang meÂlaÂkuÂkan tindak pidana.
Karena itu, dia mendesak agar semua hakim yang melaÂkuÂkan pelanggaran pidana, tiÂdak hanya diproses di Majelis Kehormatan Hakim (MKH), teÂtapi juga ditindaklanjuti dengan proses hukum pidana.
“Masalah hakim seperti ini sangat serius, tapi sanksinya sering tidak menimbulkan efek jera. Seharusnya, MKH meÂlanÂjutkan perkara ini ke proses piÂdana. Hakim-hakim bermasalah dengan bukti pidana itu dimeÂjaÂhijaukan saja,†tandasnya, kemarin.
Politisi Partai Demokrat itu juga mengingatkan Makamah Agung (MA) dan Komisi YuÂdisial (KY) yang bergabung daÂlam MKH agar tidak berupaya memberikan perlindungan kepada hakim-hakim nakal dan berwatak korup.
“Jangan dilinÂdungi dengan haÂnya pemberian sanksi admiÂnistratif atau mutasi. Itu tidak akan mampu memberikan efek jera, dan watak buruk hakim tiÂdak akan berubah dengan sanksi model seperti itu,†ujarnya.
Menurut Dasrul, hakim sebaÂgai ujung timbak penegakan huÂkum jika tidak diberikan sanksi berat dalam kesalahannya, maka ke depannya penegakan huÂkum hanya menjadi permaiÂnan, tanpa rasa keadilan yang sesungguhnya.
Saat ini, lanjut dia, era reforÂmasi yang mesti ditegakkan adalah keadilan di semua biÂdang, termasuk menetapkan keÂadilan bagi hakim yang berÂmasalah. “Sudah reformasi, seÂmua harus bisa diubah menjadi lebih baik.
Hakim juga bisa dipidanaÂkan, dan juga aparat penegak huÂkum lainnya. Itu harus dilaÂkukan kaÂlau kita mau peneÂgaÂkan hukum di negeri ini tetap ada. Kalau tidak, akan amÂbrukÂlah tatanan peÂnegakan hukum kita,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: