RMOL. Jaksa Agung Basrief Arief memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Marwan Effendy agar memberikan sanksi berat kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Takalar, Sulawesi Selatan Rakhmat Harianto dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Takalar Tuwo yang diduga melakukan pemerasan.
Hal tersebut dilontarkan BasÂrief saat menyampaikan Laporan CaÂpaian Kinerja Kejaksaan RepubÂlik Indonesia Tahun 2001 di GeÂdung Kejaksaan Agung, Jakarta, JuÂmat lalu. “Begitu laporan meÂngenai pemerasan itu saya terima, saya langsung perintahkan keÂpada Jamwas untuk melakukan peÂnyelidikan secara mendalam. Bila benar terlapor melakukan peÂmerasan, maka akan diberikan sanksi berat,†ujar dia.
Dalam acara yang sama, MarÂwan Efendy menyampaikan, pada Jumat pagi (30/12), pihakÂnya sudah memiliki hasil peÂnyeÂliÂdikan terhadap Rakhmat HaÂrianÂto dan Tuwo. Namun, saat itu KeÂjaksaan Agung belum bisa meÂnguÂmumkan hasil penyelidikan dan jenis sanksi berat yang diÂjatuhkan kepada Rakhmat.
“Sesuai PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, itu belum bisa diumumkan, kalau putusannya belum sampai kepada yang bersangkutan,†ujar Marwan.
Menurut Marwan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi berat keÂpada dua jaksa tersebut. “TenÂtu akan dijatuhi sanksi berat,†ujarÂÂnya tanpa menjelaskan sankÂsi beÂrat apa yang akan diberikan. Tapi, sanksi internal terberat adaÂlah pemÂberÂhentian dengan tiÂdak hormat.
Mengenai indikasi korupsi daÂlam perkara pemerasan terhadap orang yang diduga terlibat kasus koÂrupsi ini, Marwan menyatakan bahÂwa jajarannya sedang meÂneÂlusuri hal tersebut. “Jika memang sudah ditemukan bukti kuat adaÂnya tindak pidana korupsi, tentu akan kami proses sampai ke peÂngaÂdilan,†ujar bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini.
Dalam acara ini, Jaksa Agung juga menyampaikan, hingga akÂhir tahun 2011, pihaknya sudah meÂnindak 6 jaksa sampai pada proses pengadilan. “Sepanjang yang kami tangani sendiri, di luar yang ditangani KPK, kami sudah memroses 6 jaksa yang terbukti meÂlakukan tindak pidana ke peÂngaÂdilan. Mereka harus mengÂhaÂdapi proÂses persidangan,†ujar Basrief.
Basrief tidak merinci jaksa-jakÂsa yang sudah masuk ke tahapan peÂngadilan itu. Tapi, seperti dikeÂtahui, jajaran Jaksa Agung Muda PeÂngawasan pernah melaporkan jaksa Cirus Sinaga ke Mabes PolÂri terkait kasus pemalsuan dan pembocoran rencana tuntutan terÂhadap Gayus Tambunan. “Satu, ada yang diserahkan ke pihak kepolisian karena melakukan tinÂdak pidana umum,†katanya.
Jaksa Agung juga memaparkan peÂnindakan terhadap para jaksa dan staf tata usaha kejaksaan yang melakukan pelanggaran. Pada DeÂsember 2010, masih ada sisa laÂpoÂran dari tahun sebelumnya seÂbaÂnyak 910 laporan pelanggaran. Kemudian, hingga November 2011, masuk 1611 laporan. TotalÂnya, ada 2.521 laporan yang haÂrus diselesaikan.
“Yang sudah diÂselesaikan seÂbaÂnyak 1.571 laporan pengaduan dan 950 laporan sedang dalam proÂses. Hingga saat ini, dari 1.571 laÂporan yang diselesaikan itu, terÂdapat 170 laporan yang diÂnyÂaÂtaÂkan terbukti dan sebanyak 1.401 tiÂdak terbukti,†jelas Basrief.
Dalam laporan Capaian KeÂjakÂsaan Agung pada akhir tahun 2011, jelas Basrief, pihaknya suÂdah menghukum sebanyak 336 staf dan jaksa yang melakukan peÂlanggaran. Berdasarkan jenis huÂkumannya, yakni hukuman riÂngan, sedang dan berat. Ada 52 staf tata usaha dan 61 jaksa yang dihukum ringan sepanjang 2011. HuÂkuman sedang terdiri dari 28 staf tata usaha dan 78 orang jaksa. Hukuman berat terdiri dari 49 staf tata usaha dan 67 jaksa.
Untuk hukuman berat, dapat diÂrinci lagi menjadi hukuman peÂnurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun sesuai PP 53 tahun 2010. Ada 9 staf tata usaha (TU) dan 11 jaksa yang kena sanksi itu. Selanjutnya, hÂuÂkuman penurunan pangkat seÂtingÂkat lebih rendah selama satu tahun sesuai PP 30 tahun 1980. Ada 3 staf TU dan 7 jaksa yang kena sanksi itu.
Berikutnya, hukuman pemÂbeÂbaÂsan dari jabatan fungsional jakÂsa ada 9 jaksa. Pembebasan dari jabatan struktural, ada 2 staf TU dan 34 jaksa. Pemberhentian deÂngan hormat tidak atas perÂminÂtaÂan sendiri, ada 15 staf TU dan 1 jaksa. Pemberhentian tidak deÂngan hormat sebagai PNS ada 19 staf TU dan 6 jaksa. “Total ada 48 staf tata usaha dan 68 jaksa yang dijatuhi hukuman berat,†ujar Basrief.
REKA ULANG
Minta 500 Juta Kepada Yang Diduga Korupsi
Jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan tengah menangani kasus pemerasan yang diduga dilakukan Kepala Kejaksaan NeÂgeri Takalar, Sulawesi Selatan Rakhmat Harianto.
Rakhmat dan Kepala Seksi PiÂdana Umum Kejari Takalar Tuwo dilaporkan kepada Jaksa Agung karena memeras seseorang yang diduga terlibat perkara korupsi. Keduanya juga dilaporkan karena memaki, mengancam dan meÂnyerang pribadi serta kehormatan keÂluarga seseorang.
Ketika dikonfirmasi, Jaksa Agung Muda Pengawasan (JamÂwas) Marwan Effendy memÂbeÂnarkan, Rakhmat berupaya meÂmeras seseorang di Takalar. RachÂmat mengancam akan menjaÂdiÂkan orang itu tersangka jika tidak diberikan Rp 500 juta. “Kalau diÂberikan, katanya tidak akan diÂjaÂdikan tersangka. Kacau yang beÂgini ini,†tandasnya.
Upaya pemerasan itu, bermula saat seseorang bernama Rommy Hartono Theos meminjamkan Rp 160 juta kepada temannya yang bernama William pada 2009 unÂtuk modal usaha. Uang itu diÂguÂnaÂkan William untuk membuat kapal.
Selanjutnya, pada 25 NoÂvemÂber 2011, William bersama seÂseÂorang bernama Sirajuddin Andi Ismail diduga melakukan korupsi proyek pengadaan kapal penyeÂbeÂrangan sebanyak 2 unit pada Dinas Perhubungan Kabupaten Takalar. Proyek tersebut bernilai Rp 1,5 miliar.
Rommy kemudian dipanggil KeÂjari Takalar untuk diperiksa terÂÂkait kasus tersebut. “Klien kami tak tahu menahu mengenai peÂngaÂdaÂan kapal itu, tak meÂngeÂnal SiÂraÂjuddin, tak pernah berÂhuÂbuÂngan dengan Dinas PerhuÂbuÂngan dan tak mengerti meÂngaÂpa dipangÂgil. Dia hanya tahu meÂminÂjamkan uang kepada sahaÂbatÂnya, WilÂliam, yang katanya akan dipaÂkai sebagai modal usaÂha,†ujar kuasa huÂkum Rommy, Anang YuÂliardi Chaidir ketika dihubungi.
Kendati begitu, lanjut Anang, Rommy bersedia datang untuk menghormati kejaksaan, guna memberikan keterangan. “Tapi, awal kedatangan klien kami iniÂlah yang menjadi awal peÂmeÂraÂsan, intimidasi dan makian KaÂjari TaÂkalar Rakhmat Harianto,†ujarnya.
Menurut Anang, untuk pengaÂmanan, Rakhmat meminta uang Rp 100 juta kepada Rommy. “TeÂtapi klien kami tidak meÂnaÂngÂgaÂpinya,†ujar Anang. Karena tidak memenuhi permintaan Rakhmat, Rommy pun sering ditelepon dan diÂmaki-maki. Bahkan, lanjut Anang, kata-kata kasar dan tidak senonoh kerap disampaikan Rakhmat kepada Rommy.
Pada 13 Desember 2011, RakhÂmat menelepon Rommy dan meÂnyuruh untuk datang diperiksa jam 9 pagi. Tapi, Rommy baru diteÂmui Rakhmat pukul 4 sore. Rommy kemudian merekam perÂbÂincangan dan intimidasi yang disampaikan Rakhmat keÂpaÂdaÂnya. “Pada hari itu, Rakhmat kemÂbali memeras klien kami seÂbesar Rp 500 juta. Rommy sudah tak tahan, dia merekam semua pertemuan itu. Rekamannya suÂdah disampaikan ke Kejaksaan Agung,†ujar Anang.
Menurut Jamwas Marwan EfÂfendy, Kajari dan Kasi Pidum KeÂjari Takalar sudah menjalani peÂmeÂriksaan fungsional. “Jabatan fungÂsional mereka sudah diÂnonÂaktifkan,†katanya.
Jaksa Agung, lanjutnya, juga suÂdah meÂngeÂluarÂkan surat peÂriÂngatan kepada dua jaksa itu. “SuÂdah ditunjuk PelakÂsaÂna Tugas KaÂjari Takalar, mengÂgantikan KaÂjari itu. Kajarinya suÂdah ditaÂrik ke Kejaksaan Tinggi.â€
Lebih Bahaya Dari Teroris
Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil menilai, ulah jaksa memeras atau menerima suap sudah tidak asing di telinga masyarakat. “Masyarakat sudah muak,†tandasnya.
Menurut dia, perilaku buruk jaksa kian menggila dan sudah sangat telanjang di mata publik. “Capek deh kalau masyarakat diÂsuguhi fakta masih ada jaksa yang suka memeras. Saya meÂnguÂsulkan agar jaksa-jaksa seÂperÂti ini dipecat saja,†tegas angÂgota DPR dari Fraksi PKS ini.
Tetapi, lanjut Nasir, mungkin saja masih banyak jaksa yang bersih. Karena itu, sarannya, jakÂsa nakal harus dikenakan sankÂsi yang berat. Jika jaksa naÂkal tidak diberikan sanksi yang berat, kejaksaan akan tetap menÂjadi sasaran ketidakÂpeÂrÂcaÂyaÂan publik dalam penegakan hukum. “Ibarat pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu seÂbelanga,†ujarnya.
Hingga saat ini, menurutnya, pemberian sanksi di internal keÂjaksaan belum mampu meÂnimÂbulÂkan efek jera. Jika sanksi yang dijatuhkan hanya berupa penundaan kenaikan pangkat atau mutasi, maka tidak akan baÂnyak gunanya. “Itu tidak efekÂtif karena hanya memindahkan maÂsalah dari satu tempat ke temÂpat lain. Minimnya pemÂbinaan juga menyebabkan para jaksa masih nekat melanggar perintah harian Jaksa Agung,†kata Nasir.
Kata Nasir, jaksa yang suka meÂmeras, menerima suap dan meÂlakukan tindak pidana lain jumlahnya sedikit. “Tetapi kaÂlau dijumlahkan dari seluruh IndÂonesia, jadi banyak,†ucapnya.
Nasir menyampaikan, peÂnyimÂpangan kekuasaan dan keÂwenangan para jaksa itu lebih diÂsebabkan gangguan mental. “Kalau pikiran sehat tapi mental sakit, seketat apapun bisa bobol. Penyakit mental ini, telah berÂlangsung sejak masa Orde Baru dan tak mudah mengobatinya. Satu-satunya cara, harus ada penÂÂdekatan kesejahteraan. SeÂtelah itu melakukan pemecatan terhadap jaksa nakal, meskipun kecil kesalahannya. Sebab, kaÂlau penegak hukum sudah diÂbeÂri kesejahteraan lebih tapi masih berbuat nakal, bahayanya lebih besar dari teroris.â€
Manalah Publik Bisa Percaya
Burhanuddin Abdullah, Ketua Umum LSM LAKI
Kejaksaan Agung dinilai sangat lembek menindak jaksa yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran lainnya. DeÂngan sikap loyo seperti itu, agak sulit membenahi Korps AdhyakÂsa, sehingga kepercayaan pubÂlik masih sulit pulih.
“Sanksi yang diberikan keÂpada jaksa pemeras, jaksa koÂrup, jaksa nakal sangat lembek, tidak ampuh dan tak meÂnimÂbulÂkan efek jera. Kalau hanya sankÂsi administratif atau mutasi dan pencopotan sementara saja, tidak akan bisa mengubah kejaksaan kita lebih baik,†ujar Ketua Umum LSM Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) BurÂhanuddin Abdullah.
Menurut Burhanuddin, sankÂsi berat dan tegas seperti peÂmeÂÂcatan dan proses pidana ke peÂÂngadilan harus semakin banyak dilakukan kejaksaan. “Tidak boleh sekadarnya. Biar ampuh, pecat dan proses piÂdaÂna,†tandasnya.
Laporan kejaksaan yang meÂnyebut sudah banyak jaksa naÂkal yang diberikan sanksi, meÂnurut Burhanuddin, perlu diÂtelusuri kebenarannya. “Bisa saja dibuat, mereka sudah meÂnindak begitu banyak jaksa naÂkal. Manalah kita tahu yang seÂbenarnya,†curiga dia.
Salah satu cara agar diperÂcaÂya masyarakat, lanjutnya, KeÂjakÂsaan Agung meÂmbeberkan satu per satu jaksa nakal yang teÂlah ditindak, yang telah dibeÂriÂkan sanksi tingkat ringan hingÂga berat seperti pemecatan.
“Buka secara transparan, jakÂsa siapa, di mana, pelangÂgaran apa, hukumannya apa. PaÂparÂkan saja ke publik, biar publik bisa menilai. Kalau hanya laÂporan, manalah publik bisa perÂcaya begitu saja,†ujar BurÂhanuddin.
Dia mengingatkan, sejarah terÂbentuknya Komisi PemÂbeÂranÂtasan Korupsi (KPK) pun kaÂrena ketidakpercayaan maÂsyaÂrakat kepada kejaksaan dan kepolisian. Lantaran itu, jika tiÂdak serius membenahi diri, maka kehadiran KPK yang siÂfatnya ad hoc atau sementara itu akan terus dipertahankan dan diinginkan masyarakat.
“KeÂjakÂsaan harus memÂbeÂnahi diri dan benar-benar memÂbeÂrsihkan diri dari praktik-prakÂtik kotor agar bisa mendapatkan simpati dan kepercayaan pubÂlik. Kalau tidak, berarti kita maÂsih terus menginginkan KPK,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: