Direktorat Tipiter Bareskrim Cuma Setor 5,7 M Ke Negara

Lelang Barang Bukti Kasus Pembalakan Liar 2011

Sabtu, 24 Desember 2011, 09:40 WIB
Direktorat Tipiter Bareskrim Cuma Setor 5,7 M Ke Negara
ilustrasi, Pembalakan Liar

RMOL. Direktorat V Tindak Pidana Tertentu (Dit V Tipiter) Bareskrim Polri menyetor Rp 5,7 miliar ke kas negara. Uang itu berasal dari hasil lelang barang bukti kasus tindak pidana tertentu selama 2011.

Penjelasan mengenai hal ter­sebut disampaikan Wakil Di­rek­tur Tindak Pidana Tertentu Ba­res­krim Polri Kombes Alex Man­da­lika pada Kamis (22/12) siang.

Menurutnya, total aset negara yang dikembalikan ke kas negara itu merupakan hasil operasi Dit V Tipiter selama 2011. Angka ter­sebut didapat kepolisian pasca pe­lelangan barang sitaan, khu­sus­nya hasil operasi pembalakan liar. Selain kayu, ada juga barang si­ta­an berupa alat berat pert­am­ba­ngan dan alat penangkap ikan hasil operasi illegal mining dan illegal fishing.

Tapi, angka itu masih tergolong kecil dibanding nilai kasus-kasus tindak pidana tertentu, seperti pem­balakan liar yang terjadi di ber­bagai daerah. Sekadar pem­ban­­­ding, data Satgas Pem­be­ran­ta­san Mafia Hukum (PMH) me­nunjukkan, khusus per­kara pem­balakan liar di Riau saja, ne­ga­ra di­duga mengalami ke­rugian Rp 73, 35 triliun. Kerugian ne­ga­ra ini berupa kehilangan wi­la­yah hutan seluas 188.593 hektare dan kehilangan kayu alam se­banyak 16,88 juta meter kubik.

Contoh lainnya, LSM Indo­nesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Anti Mafia Hu­tan pada Senin (26/9) lalu, me­la­por­kan dugaan korupsi sektor ke­hutanan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ke KPK. Me­reka menaksir, nilai kerugian ne­gara akibat illegal logging di dua provinsi tersebut Rp 9,146 triliun.

Namun, Alex Mandalika me­ne­pis anggapan bahwa jumlah uang yang dimasukkan Dit V Ti­piter ke kas negara masih minim. Alasannya, proses lelang barang bukti masih berlangsung. “Angka itu masih bisa bertambah. Itu baru se­bagian saja. Yang lainnya ma­sih proses menuju tahap lelang,” kata dia.

Nah, kata Alex, proses lelang barang bukti membutuhkan wak­tu yang panjang. Dari menunggu persidangan tuntas hingga tahap penaksiran harga. Pada fase ini, tim khusus dari Balai Lelang akan mengecek barang sitaan dan merilis harganya.

Alex juga menyatakan, kendala pelaksanaan lelang yang me­nye­babkan kecilnya hasil lelang se­ring dihadapi tim lelang. Lam­bat­nya proses pemberkasan ter­sang­ka hingga masuk tahap per­si­da­ngan, membuat barang bukti se­ring rusak akibat disimpan terlalu lama. Kerusakan barang bukti inilah yang membuat perolehan ha­sil lelang turun. Atau bahkan, sama sekali tak bisa dijual karena sudah tidak ada harganya.

Namun saat diminta me­n­ja­bar­kan total barang sitaan yang ru­sak, dia mengatakan, data tentang hal ini harus menunggu pe­lak­sa­na­an lelang tuntas. Yang paling penting, katanya, Tipiter sudah melaksanakan tahapan operasi sesuai prosedur.

“Ada penangkapan tersangka,  penyitaan barang bukti, proses hukum yang jelas, pelelangan serta penyetoran hasil lelang ke Direktorat Kekayaan Negara,” ujarnya.

Untuk kelancaran proses ini, koordinasi dengan kejaksaan dan Kementerian Kehutanan senan­tiasa diintensifkan. Dengan koor­dinasi antar lembaga tersebut, di­tambah supervisi KPK, pembalak liar dan pelaku kejahatan sejenis bisa langsung dikenakan pasal ko­rupsi. “Yang dijarah itu keka­ya­an negara. Jadi bisa langsung dikategorikan melanggar tindak pidana korupsi,” tegasnya.

Selebihnya, data hasil operasi pem­balakan liar 2006 hingga tahun 2011 di kepolisian me­nun­jukkan, Polri, Kemenhut dan ke­jak­saan telah menyita sedikitnya 863.278,86 meter kubik dan 1.420.977 batang kayu log atau ge­­londongan. Total hasil le­lang dari barang sitaan yang dise­tor ke kas negara dari operasi ga­bung sela­ma kurun waktu itu Rp 128,741 miliar. Adapun total tersangka kasus ini mencapai 13.025 orang. Tersangka ditangkap dari se­jum­lah wilayah Nusantara.

Sedangkan Rp 5,7 miliar yang disetor Dit V Tipiter ke kas nega­ra pada 2011, merupakan hasil operasi mereka, bukan operasi gabungan. Makanya, kata Alex Mandalika, penghitungan jumlah aset yang dikembalikan ke negara oleh Dit V Tipiter sifatnya semen­tara, belum digabung dengan ope­rasi yang dilaksanakan Dit Ti­piter dengan polda-polda.

“Ang­ka itu murni yang berasal dari ha­sil operasi Tipiter. Belum diga­bung dengan yang lain,” tandasnya.

Alex menambahkan, belaka­ngan ini intensitas kasus pem­ba­lakan liar menurun. Hal itu di­pe­ngaruhi faktor pengawasan yang ketat serta berkurangnya lahan yang bisa dijarah. Sehingga, hasil penyitaan dan pelelangan barang bukti yang berujung pada setoran ke kas nega­ra, juga menurun.

REKA ULANG

Dugaan Kerugian Negara 9 T Dilaporkan Ke KPK

LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Anti Ma­fia Hutan melaporkan dugaan ko­rupsi sektor kehutanan di Ka­limantan Barat dan Kalimantan Tengah kepada KPK pada Senin, 26 September lalu. Mereka mem­perkirakan, ada kerugian negara Rp 9,146 triliun dalam kasus-kasus itu.

Dari hasil riset Koalisi Anti Ma­fia Hutan di Kalimantan Ba­rat, ditemukan setidaknya tujuh peru­sahaan yang diduga me­lang­gar SK Menteri Kehutanan No­mor 259 tahun 2000 tentang Pe­nunjukan Kuasa Hutan. Tujuh pe­rusahaan itu beroperasi di Ka­bu­paten Sam­bas, Ketapang dan Beng­kayang. PT ISK, PT UAI, PT KMP, PT WHS, PT WHBP bero­pe­rasi di Sambas, PT WHDP dan PT LL beroperasi di Bengkayang.

Modus tujuh perusahaan ter­se­but adalah menerabas aturan alih fungsi hutan. Mereka beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Modus lainnya adalah me­nya­lah­gunakan izin pembukaan lahan untuk perkebunan hanya untuk mendapatkan kayu hutan tanpa diikuti penanaman kelapa sawit.

“Estimasi kerugian negara aki­bat praktik illegal logging di ka­wasan ini mencapai Rp 1,15 tri­liun,” kata M Lutharif dari LSM Kontak Rakyat Borneo.

Di Kalimantan Tengah, me­nu­rut Koalisi LSM ini, modus du­ga­an korupsi yang menyebabkan kerusakan hutan justru berakar pada kepala daerah. Di Ka­bupaten Seruyan, oknum pejabat daerah berinisial DA diduga me­nyalahgunakan wewenang mem­berikan izin operasi usaha per­ke­bunan kepada sejumlah kerabat dan orang dekatnya.

Izin usaha perkebunan itu ke­mu­dian dijual kepada perusahaan besar yang mau membayar de­ngan sejumlah uang. “Modusnya jelas, karena izin diberikan ke­pada kerabat yang tidak memiliki kompetensi mengurus bisnis per­kebunan,” kata Arie Rompas dari Walhi Kalimantan Tengah.

Dari penelusuran Koalisi, patut diduga ada 15 perusahaan boneka yang dibentuk untuk “mengelola” 211.580 hektar wilayah hutan di Seruyan secara ilegal. Potensi kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 7,99 triliun. Lan­taran itu, Koalisi mendesak KPK memanfaatkan perangkat Un­dang Undang Tindak Pidana Ko­rupsi (UU Tipikor) untuk men­jerat pelaku kejahatan di sektor kehutanan.

Yuli Kristiyono yang me­mim­pin tim penerima laporan dari KPK mengatakan, laporan Koa­lisi akan digunakan sebagai ba­han untuk menangani kasus du­ga­an korupsi di wilayah hutan Ka­limantan. Sebelumnya, me­nurut Yuli, tim KPK telah tiga kali melakukan kajian di Kabupaten Seruyan. “Bagi-bagi perizinan ke­­pada kerabat dekat, bisa di­arah­kan ke dugaan tindak pidana ko­rupsi, karena ada konflik ke­pen­tingan. Tapi, KPK harus me­la­ku­kan pembuktian yang lebih kon­kret,” tandasnya.

Koalisi juga mendesak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) untuk menindaklanjuti la­poran mengenai mafia kehu­tanan di Riau. Koalisi menduga, pe­man­faatan hutan alam me­lang­gar ketentuan Undang Undang No­mor 31 Tahun 1999 tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dugaan adanya korupsi itu di­per­kuat hitung-hitungan LSM Jikalahari Riau. Mereka melansir aktifitas 14 perusahaan di Riau yang diduga menimbulkan kehi­la­ngan hutan seluas 188.593 hek­tare. Atau sepadan dengan ke­hilangan kayu alam 16.882.702 meter kubik.

Proses Hukum Kerap Berkutat  Pada Operator

Taslim, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim meminta kepolisian me­ningkatkan upaya pe­nye­la­ma­tan uang negara. Dia juga me­nya­rankan Direktorat V Tindak Pidana Tertentu (Dit V Tipiter) Ba­­reskrim Polri me­nang­kap para pe­laku kakap ka­sus illegal logging.

“Saya berharap banyak, para pe­laku kakap kasus tipiter di­be­kuk dan diproses hingga tun­tas ke pengadilan,” ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Anggota Komisi Hukum DPR ini menilai, penjarah ke­ka­yaan alam Indonesia yang se­ring berurusan dengan penegak hukum, kerap berkutat pada pe­laku lapangan alias hanya ope­rator. Sedangkan oknum kakap yang mengotaki penjarahan ter­sebut, justru luput dari jerat hu­kum. “Pelaku kejahatan di sek­tor ini sangat lihai. Umumnya, me­reka menguasai aturan-atu­ran hukum,” katanya.

Sering pula, lanjut Taslim, para pelaku kakap pembalakan liar mendapatkan perlindungan dari pihak-pihak tertentu. Se­hingga, ketika ada operasi besar dan terpadu, para pelaku ka­kap­nya sudah lebih dahulu kabur atau buron.

“Backing-backing inilah yang diduga membocorkan informasi pelaksanaan operasi terpadu,” tandas dia.

Dari pengalaman yang sudah-sudah, Taslim tidak menampik bahwa pelaku penjarah ke­ka­ya­an alam di Indonesia juga ada yang melibatkan sindikat inter­nasional. Hal itu terlihat ketika ada operasi besar, sejumlah cu­kong illegal logging, illegal min­­ing maupun illegal fishing yang jadi target operasi sudah berada di luar negeri.

Lantaran itu, sinergi ke­po­li­sian dengan institusi terkait lain­nya sangat diperlukan. “Kita ingin target capaian hasil ope­rasi mengalami peningkatan yang signifikan. Bukan sebalik­nya,” kata dia.

Hukumannya Mesti Bikin Jera

Andi W Syahputra, Koordinator LSM GOWA

Pelaku tindak pidana ter­tentu (tipiter) seperti illegal log­ging, illegal mining dan illegal fishing, tidak bisa ditolerir. Selain merugikan negara dalam jumlah besar, dampak atas tin­dakan para pelaku itu, me­nim­bulkan kerusakan alam yang sangat fatal.

“Itu tidak bisa dibiarkan. Pe­na­nganannya mesti berke­lan­jutan serta melibatkan semua ele­men yang kompeten,” ujar Koordinator LSM Government Watch (GOWA) Andi W Syah­putra, kemarin.

Menurut dia, tindak pidana di sektor ini tidak cukup dise­le­sai­kan menggunakan pasal-pasal KUHP atau dengan Undang Undang Lingkungan Hidup. Se­bab, jika masih me­ngan­dal­kan dua undang-undang ter­se­but, banyak pelaku tindak pi­da­na tipiter yang justru mendapat sanksi ringan atau bahkan lolos dari hukuman.

Semestinya, kata Andi, para pe­­laku itu diproses meng­­gu­na­kan pasal-pasal korupsi. De­ngan penerapan pasal korup­si, maka setiap pelaku akan ter­an­cam hukuman yang lebih berat.

“Mereka yang terlibat praktik illegal logging, illegal mining dan illegal fishing diharapkan menjadi jera. Karena hukuman itu kan sifatnya memberi pela­jaran agar setiap pelaku jera atau kapok,” ucapnya.

Lantaran itu, Andi meminta KPK berperan aktif mengu­sut perkara yang masuk kate­gori tindak pidana tertentu itu. Ku­rangnya koordinasi antar lembaga dan masih adanya tum­pang tindih peraturan soal pengelolaan sumber daya alam hutan, tambang dan ikan, h­a­rapnya, dapat diatasi dengan supervisi KPK.

“Kalau koordinasi antar lem­baga sudah terbina baik, aturan main sektor ini akan terpola se­cara terpadu. De­ngan begitu, ten­tu hasil pe­nindakan terhadap para pelaku kejahatan tipiter bisa optimal,” katanya.

Dengan begitu, kata dia, pe­ngembalian kerugian negara ke kas negara dari penanganan ka­sus tindak pidana tertentu, bakal mengalami peningkatan yang sig­nifikan.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA