RMOL. Direktorat V Tindak Pidana Tertentu (Dit V Tipiter) Bareskrim Polri menyetor Rp 5,7 miliar ke kas negara. Uang itu berasal dari hasil lelang barang bukti kasus tindak pidana tertentu selama 2011.
Penjelasan mengenai hal terÂsebut disampaikan Wakil DiÂrekÂtur Tindak Pidana Tertentu BaÂresÂkrim Polri Kombes Alex ManÂdaÂlika pada Kamis (22/12) siang.
Menurutnya, total aset negara yang dikembalikan ke kas negara itu merupakan hasil operasi Dit V Tipiter selama 2011. Angka terÂsebut didapat kepolisian pasca peÂlelangan barang sitaan, khuÂsusÂnya hasil operasi pembalakan liar. Selain kayu, ada juga barang siÂtaÂan berupa alat berat pertÂamÂbaÂngan dan alat penangkap ikan hasil operasi illegal mining dan illegal fishing.
Tapi, angka itu masih tergolong kecil dibanding nilai kasus-kasus tindak pidana tertentu, seperti pemÂbalakan liar yang terjadi di berÂbagai daerah. Sekadar pemÂbanÂÂÂding, data Satgas PemÂbeÂranÂtaÂsan Mafia Hukum (PMH) meÂnunjukkan, khusus perÂkara pemÂbalakan liar di Riau saja, neÂgaÂra diÂduga mengalami keÂrugian Rp 73, 35 triliun. Kerugian neÂgaÂra ini berupa kehilangan wiÂlaÂyah hutan seluas 188.593 hektare dan kehilangan kayu alam seÂbanyak 16,88 juta meter kubik.
Contoh lainnya, LSM IndoÂnesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Anti Mafia HuÂtan pada Senin (26/9) lalu, meÂlaÂporÂkan dugaan korupsi sektor keÂhutanan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ke KPK. MeÂreka menaksir, nilai kerugian neÂgara akibat illegal logging di dua provinsi tersebut Rp 9,146 triliun.
Namun, Alex Mandalika meÂneÂpis anggapan bahwa jumlah uang yang dimasukkan Dit V TiÂpiter ke kas negara masih minim. Alasannya, proses lelang barang bukti masih berlangsung. “Angka itu masih bisa bertambah. Itu baru seÂbagian saja. Yang lainnya maÂsih proses menuju tahap lelang,†kata dia.
Nah, kata Alex, proses lelang barang bukti membutuhkan wakÂtu yang panjang. Dari menunggu persidangan tuntas hingga tahap penaksiran harga. Pada fase ini, tim khusus dari Balai Lelang akan mengecek barang sitaan dan merilis harganya.
Alex juga menyatakan, kendala pelaksanaan lelang yang meÂnyeÂbabkan kecilnya hasil lelang seÂring dihadapi tim lelang. LamÂbatÂnya proses pemberkasan terÂsangÂka hingga masuk tahap perÂsiÂdaÂngan, membuat barang bukti seÂring rusak akibat disimpan terlalu lama. Kerusakan barang bukti inilah yang membuat perolehan haÂsil lelang turun. Atau bahkan, sama sekali tak bisa dijual karena sudah tidak ada harganya.
Namun saat diminta meÂnÂjaÂbarÂkan total barang sitaan yang ruÂsak, dia mengatakan, data tentang hal ini harus menunggu peÂlakÂsaÂnaÂan lelang tuntas. Yang paling penting, katanya, Tipiter sudah melaksanakan tahapan operasi sesuai prosedur.
“Ada penangkapan tersangka, penyitaan barang bukti, proses hukum yang jelas, pelelangan serta penyetoran hasil lelang ke Direktorat Kekayaan Negara,†ujarnya.
Untuk kelancaran proses ini, koordinasi dengan kejaksaan dan Kementerian Kehutanan senanÂtiasa diintensifkan. Dengan koorÂdinasi antar lembaga tersebut, diÂtambah supervisi KPK, pembalak liar dan pelaku kejahatan sejenis bisa langsung dikenakan pasal koÂrupsi. “Yang dijarah itu kekaÂyaÂan negara. Jadi bisa langsung dikategorikan melanggar tindak pidana korupsi,†tegasnya.
Selebihnya, data hasil operasi pemÂbalakan liar 2006 hingga tahun 2011 di kepolisian meÂnunÂjukkan, Polri, Kemenhut dan keÂjakÂsaan telah menyita sedikitnya 863.278,86 meter kubik dan 1.420.977 batang kayu log atau geÂÂlondongan. Total hasil leÂlang dari barang sitaan yang diseÂtor ke kas negara dari operasi gaÂbung selaÂma kurun waktu itu Rp 128,741 miliar. Adapun total tersangka kasus ini mencapai 13.025 orang. Tersangka ditangkap dari seÂjumÂlah wilayah Nusantara.
Sedangkan Rp 5,7 miliar yang disetor Dit V Tipiter ke kas negaÂra pada 2011, merupakan hasil operasi mereka, bukan operasi gabungan. Makanya, kata Alex Mandalika, penghitungan jumlah aset yang dikembalikan ke negara oleh Dit V Tipiter sifatnya semenÂtara, belum digabung dengan opeÂrasi yang dilaksanakan Dit TiÂpiter dengan polda-polda.
“AngÂka itu murni yang berasal dari haÂsil operasi Tipiter. Belum digaÂbung dengan yang lain,†tandasnya.
Alex menambahkan, belakaÂngan ini intensitas kasus pemÂbaÂlakan liar menurun. Hal itu diÂpeÂngaruhi faktor pengawasan yang ketat serta berkurangnya lahan yang bisa dijarah. Sehingga, hasil penyitaan dan pelelangan barang bukti yang berujung pada setoran ke kas negaÂra, juga menurun.
REKA ULANG
Dugaan Kerugian Negara 9 T Dilaporkan Ke KPK
LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Anti MaÂfia Hutan melaporkan dugaan koÂrupsi sektor kehutanan di KaÂlimantan Barat dan Kalimantan Tengah kepada KPK pada Senin, 26 September lalu. Mereka memÂperkirakan, ada kerugian negara Rp 9,146 triliun dalam kasus-kasus itu.
Dari hasil riset Koalisi Anti MaÂfia Hutan di Kalimantan BaÂrat, ditemukan setidaknya tujuh peruÂsahaan yang diduga meÂlangÂgar SK Menteri Kehutanan NoÂmor 259 tahun 2000 tentang PeÂnunjukan Kuasa Hutan. Tujuh peÂrusahaan itu beroperasi di KaÂbuÂpaten SamÂbas, Ketapang dan BengÂkayang. PT ISK, PT UAI, PT KMP, PT WHS, PT WHBP beroÂpeÂrasi di Sambas, PT WHDP dan PT LL beroperasi di Bengkayang.
Modus tujuh perusahaan terÂseÂbut adalah menerabas aturan alih fungsi hutan. Mereka beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Modus lainnya adalah meÂnyaÂlahÂgunakan izin pembukaan lahan untuk perkebunan hanya untuk mendapatkan kayu hutan tanpa diikuti penanaman kelapa sawit.
“Estimasi kerugian negara akiÂbat praktik illegal logging di kaÂwasan ini mencapai Rp 1,15 triÂliun,†kata M Lutharif dari LSM Kontak Rakyat Borneo.
Di Kalimantan Tengah, meÂnuÂrut Koalisi LSM ini, modus duÂgaÂan korupsi yang menyebabkan kerusakan hutan justru berakar pada kepala daerah. Di KaÂbupaten Seruyan, oknum pejabat daerah berinisial DA diduga meÂnyalahgunakan wewenang memÂberikan izin operasi usaha perÂkeÂbunan kepada sejumlah kerabat dan orang dekatnya.
Izin usaha perkebunan itu keÂmuÂdian dijual kepada perusahaan besar yang mau membayar deÂngan sejumlah uang. “Modusnya jelas, karena izin diberikan keÂpada kerabat yang tidak memiliki kompetensi mengurus bisnis perÂkebunan,†kata Arie Rompas dari Walhi Kalimantan Tengah.
Dari penelusuran Koalisi, patut diduga ada 15 perusahaan boneka yang dibentuk untuk “mengelola†211.580 hektar wilayah hutan di Seruyan secara ilegal. Potensi kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 7,99 triliun. LanÂtaran itu, Koalisi mendesak KPK memanfaatkan perangkat UnÂdang Undang Tindak Pidana KoÂrupsi (UU Tipikor) untuk menÂjerat pelaku kejahatan di sektor kehutanan.
Yuli Kristiyono yang meÂmimÂpin tim penerima laporan dari KPK mengatakan, laporan KoaÂlisi akan digunakan sebagai baÂhan untuk menangani kasus duÂgaÂan korupsi di wilayah hutan KaÂlimantan. Sebelumnya, meÂnurut Yuli, tim KPK telah tiga kali melakukan kajian di Kabupaten Seruyan. “Bagi-bagi perizinan keÂÂpada kerabat dekat, bisa diÂarahÂkan ke dugaan tindak pidana koÂrupsi, karena ada konflik keÂpenÂtingan. Tapi, KPK harus meÂlaÂkuÂkan pembuktian yang lebih konÂkret,†tandasnya.
Koalisi juga mendesak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) untuk menindaklanjuti laÂporan mengenai mafia kehuÂtanan di Riau. Koalisi menduga, peÂmanÂfaatan hutan alam meÂlangÂgar ketentuan Undang Undang NoÂmor 31 Tahun 1999 tentang PemÂberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dugaan adanya korupsi itu diÂperÂkuat hitung-hitungan LSM Jikalahari Riau. Mereka melansir aktifitas 14 perusahaan di Riau yang diduga menimbulkan kehiÂlaÂngan hutan seluas 188.593 hekÂtare. Atau sepadan dengan keÂhilangan kayu alam 16.882.702 meter kubik.
Proses Hukum Kerap Berkutat Pada Operator
Taslim, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim meminta kepolisian meÂningkatkan upaya peÂnyeÂlaÂmaÂtan uang negara. Dia juga meÂnyaÂrankan Direktorat V Tindak Pidana Tertentu (Dit V Tipiter) BaÂÂreskrim Polri meÂnangÂkap para peÂlaku kakap kaÂsus illegal logging.
“Saya berharap banyak, para peÂlaku kakap kasus tipiter diÂbeÂkuk dan diproses hingga tunÂtas ke pengadilan,†ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.
Anggota Komisi Hukum DPR ini menilai, penjarah keÂkaÂyaan alam Indonesia yang seÂring berurusan dengan penegak hukum, kerap berkutat pada peÂlaku lapangan alias hanya opeÂrator. Sedangkan oknum kakap yang mengotaki penjarahan terÂsebut, justru luput dari jerat huÂkum. “Pelaku kejahatan di sekÂtor ini sangat lihai. Umumnya, meÂreka menguasai aturan-atuÂran hukum,†katanya.
Sering pula, lanjut Taslim, para pelaku kakap pembalakan liar mendapatkan perlindungan dari pihak-pihak tertentu. SeÂhingga, ketika ada operasi besar dan terpadu, para pelaku kaÂkapÂnya sudah lebih dahulu kabur atau buron.
“Backing-backing inilah yang diduga membocorkan informasi pelaksanaan operasi terpadu,†tandas dia.
Dari pengalaman yang sudah-sudah, Taslim tidak menampik bahwa pelaku penjarah keÂkaÂyaÂan alam di Indonesia juga ada yang melibatkan sindikat interÂnasional. Hal itu terlihat ketika ada operasi besar, sejumlah cuÂkong illegal logging, illegal minÂÂing maupun illegal fishing yang jadi target operasi sudah berada di luar negeri.
Lantaran itu, sinergi keÂpoÂliÂsian dengan institusi terkait lainÂnya sangat diperlukan. “Kita ingin target capaian hasil opeÂrasi mengalami peningkatan yang signifikan. Bukan sebalikÂnya,†kata dia.
Hukumannya Mesti Bikin Jera
Andi W Syahputra, Koordinator LSM GOWA
Pelaku tindak pidana terÂtentu (tipiter) seperti illegal logÂging, illegal mining dan illegal fishing, tidak bisa ditolerir. Selain merugikan negara dalam jumlah besar, dampak atas tinÂdakan para pelaku itu, meÂnimÂbulkan kerusakan alam yang sangat fatal.
“Itu tidak bisa dibiarkan. PeÂnaÂnganannya mesti berkeÂlanÂjutan serta melibatkan semua eleÂmen yang kompeten,†ujar Koordinator LSM Government Watch (GOWA) Andi W SyahÂputra, kemarin.
Menurut dia, tindak pidana di sektor ini tidak cukup diseÂleÂsaiÂkan menggunakan pasal-pasal KUHP atau dengan Undang Undang Lingkungan Hidup. SeÂbab, jika masih meÂnganÂdalÂkan dua undang-undang terÂseÂbut, banyak pelaku tindak piÂdaÂna tipiter yang justru mendapat sanksi ringan atau bahkan lolos dari hukuman.
Semestinya, kata Andi, para peÂÂlaku itu diproses mengÂÂguÂnaÂkan pasal-pasal korupsi. DeÂngan penerapan pasal korupÂsi, maka setiap pelaku akan terÂanÂcam hukuman yang lebih berat.
“Mereka yang terlibat praktik illegal logging, illegal mining dan illegal fishing diharapkan menjadi jera. Karena hukuman itu kan sifatnya memberi pelaÂjaran agar setiap pelaku jera atau kapok,†ucapnya.
Lantaran itu, Andi meminta KPK berperan aktif menguÂsut perkara yang masuk kateÂgori tindak pidana tertentu itu. KuÂrangnya koordinasi antar lembaga dan masih adanya tumÂpang tindih peraturan soal pengelolaan sumber daya alam hutan, tambang dan ikan, hÂaÂrapnya, dapat diatasi dengan supervisi KPK.
“Kalau koordinasi antar lemÂbaga sudah terbina baik, aturan main sektor ini akan terpola seÂcara terpadu. DeÂngan begitu, tenÂtu hasil peÂnindakan terhadap para pelaku kejahatan tipiter bisa optimal,†katanya.
Dengan begitu, kata dia, peÂngembalian kerugian negara ke kas negara dari penanganan kaÂsus tindak pidana tertentu, bakal mengalami peningkatan yang sigÂnifikan. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: