29 Kasus Dipegang Hakim Tukang Ngorok

Hasil Pemantauan 309 Sidang Di Jakarta & Depok

Minggu, 18 Desember 2011, 10:25 WIB
29 Kasus Dipegang Hakim Tukang Ngorok
ilustrasi, hakim agung

RMOL. Masih banyak hakim yang tidak mengerti hukum acara saat memimpin persidangan. Sejumlah pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terjadi dalam persidangan.

Pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim itu mulai dari tertidur saat sidang, ter­lambat datang ke persidangan, me­­ninggalkan persidangan se­enaknya sampai pada penetapan putusan yang tidak dibuat majelis hakim, akan tetapi oleh jaksa pe­nuntut umum (JPU).

Pelanggaran-pelanggaran kode etik itu disampaikan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) bersama Lembaga Kajian Keilmuan FHUI (LK2) kepada Komisi Yudisial.

Kedua lembaga itu melaku­kan pemantauan persidangan se­lama Oktober sampai Novem­ber 2011 untuk Wilayah DKI Ja­karta dan Depok, guna me­monitoring ber­ba­gai jenis pe­lang­garan yang d­i­lakukan ha­kim dalam persidangan.

Menurut Peneliti MaPPI FHUI Muhammad Hendra Setiawan, pemantauan itu dilakukan se­ba­gai bentuk kontrol publik ter­ha­dap kinerja pengadilan. Pe­man­ta­uan dilakukan secara acak ter­hadap 309 persidangan. “Karena kita sayang kepada hakim, maka kita melakukan pemantauan,” ujar Hendra kepada Komisioner KY Abbas Said yang menerima mereka di Gedung KY, Jakarta.

Penelitian dilakukan terhadap 309 persidangan yang diambil secara acak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Barat, PN Jakarta Timur, PN Jakarta Utara, dan PN Depok. Dari jum­lah itu, Masyarakat Pemantau Pe­radilan Indonesia dan LK2 UI me­nemukan ada 307 pelanggaran hukum acara dan kode etik oleh ha­kim. Pemantauan dilakukan pada pertengahan September-24 November 2011.

Hasilnya, hakim terlambat hadir di persidangan ada 13 kasus atau 4,2 persen, hakim tertidur di persidangan sebanyak 29 kasus atau 9,38 persen, hakim tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum ada 72 kasus atau 23,3 persen, hakim tidak menegur ha­dirin yang berisik ada 43 kasus atau 13,91 persen,  saksi tidak di­periksa satu per satu ada 21 kasus atau 6,79 persen, majelis hakim ku­rang dari 3 orang ada 22 kasus atau 7,19 persen, terdakwa tidak didampingi penasihat hukum ada 53 kasus atau 19,09 persen, putu­san diucapkan tanpa membaca irah-irah “Demi Keadilan Ber­da­sar­kan Ketuhanan Yang Maha Esa” ada 6 kasus atau 1,94 persen.

Selanjutnya, hakim ketua tidak menanyakan upaya hukum terha­dap putusan ada 14 kasus atau 4,53 persen, anggota majelis ha­kim keluar ruang sidang di tengah persidangan ada 8 kasus atau 2,58 persen, saksi tidak disumpah se­belum memberikan kesaksian ada 3 kasus atau 0,97 persen, hakim tak bertanya apa­kah saksi me­mi­liki hubungan keluarga dengan terdakwa ada 6 kasus atau 1, 94 persen, saksi tidak diperiksa satu per satu ada 1 kasus atau 0,32 persen, hakim melakukan hal yang tidak berkaitan dengan sidang ada 4 kasus atau 1,29 persen, hakim menunjukkan sikap atau pernyataan memihak ada 1 kasus atau 0,32 persen.

Koordinator Analisis  LK2 UI Fajar Raihan menyampaikan, ber­dasarkan pemantauan yang di­lakukannya bersama teman-te­ma­nnya, terdapat pelanggaran yang dapat mengakibatkan batal­nya putusan, yakni hakim tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum dan dibuka untuk umum. Hal itu melanggar Pasal 13 Un­dang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 53 Ayat (3) dan Pasal 195 Kitab Undang-undang Hu­kum Acara Pidana (KUHAP).

“Kami menemukan 72 kasus atau 23,3 persen. Paling banyak di PN Jakarta Utara. Ini kesalahan fatal, bisa berdampak pada batal­nya putusan,” kata  Fajar.

Hal yang memalukan, jumlah kasus hakim tertidur saat per­si­dangan cukup banyak. Pemantau menemukan 29 kasus, atau sebe­sar 9,38 persen. “Bahkan, di PN Jakarta Utara, ada satu sidang yang hakim salah membacakan pu­tusan. Saat itu, hakim sudah mem­bacakan putusan, lalu pa­nitera menegur hakim. Putusan di­ganti, dibacakan lagi. Meski salah, terdakwa tidak komplain,” ujar Fajar.

Komisioner Komisi Yudisial Abbas Said mengatakan, KY akan menindaklanjuti laporan ter­sebut dan akan mengecek ulang kepada yang bersangkutan.

REKA ULANG

Mesti Belajar Hukum Acara Dasar Lagi

Sejumlah pelanggaran yang dilakukan ratusan hakim di wilayah DKI Jakarta dan Depok dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) pada Kamis lalu (15/12).

Laporan itu disampaikan Ma­syarakat Pemantau Peradilan In­donesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) bersama Lem­ba­ga Kajian Keilmuan FHUI (LK2). Kedua lembaga itu telah me­laku­kan pemantauan persi­dangan se­lama Oktober sampai November 2011 untuk Wilayah DKI Jakarta dan Depok.

Menurut Peneliti MaPPI FHUI Muhammad Hendra Setia­wan, berdasarkan hasil peman­tauan, dari 309 persidangan ter­dapat 307 pelanggaran yang di­lakukan hakim.

“Di mana pelanggaran ter­sebut menunjukkan beberapa hakim tidak menjalankan pro­sedur se­suai ketentuan KUHAP. Pe­nga­baian prosedur beracara menun­jukkan keti­dak­pr­o­fe­sio­nalan ha­kim dalam memimpin sidang. Pe­ngabaian hal kecil yang terjadi ber­ulangkali membuat pe­rilaku buruk hakim terjadi ber­ulang-ulang,” ujar Hendra.

Dalam melakukan peman­tauan, para peneliti MaPPI dan LK2 FHUI mengaku berpegang teguh pada tertib hukum dalam menjalankan prosedur beracara, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) an­tara Ketua Makamah Agung (MA) dengan Ketua Komisi Yu­di­sial (KY) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

“Poin 8 ke-1 dalam SKB ter­se­but mewajibkan hakim untuk melaksanakan tugas pokok sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Selain itu, hak terdakwa dalam memperoleh bantuan hu­kum, beberapa kali dalam persidangan tidak ditawarakan atau tidak diberikan oleh hakim,” ujar Hendra.

Pelanggaran Kode Etik dan Pe­doman Perilaku Hakim menjadi kewenangan KY untuk mene­gak­kan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim berdasarkan Pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945.

“Proses pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi terhadap ha­kim yang terbukti melanggar, menjadi suatu kewajiban untuk menertibkan perilaku dan kinerja hakim dalam memimpin persi­dangan,” ujar Hendra.

Komisioner KY Abbas Said yang menerima laporan MaPPi dan LK2 itu menyampaikan, KY akan mendalami laporan dan hasil pantauan itu. Menurut bekas hakim agung itu, sungguh mem­prihatikan perilaku hakim-hakim saat ini apabila memang demi­kian adanya.

“Komisi Yudisial akan meng-cross check temuan ini. Kita ber­ha­rap, semua hakim mengikuti se­tiap aturan dan kode etik dan pe­doman perilaku hakim,” ujarnya.

Abbas mengakui, wilayah DKI Jakarta dan Depok menjadi baro­meter dalam meneropong peri­la­ku hakim di Indonesia. “Apapun temuan-temuan ini, akan kami tindaklanjuti. Apabila benar ada pelanggaran tersebut, tentunya akan diambil tindakan,” ucapnya.

Dengan masih banyaknya peri­laku hakim yang tidak pro­fe­sio­nal seperti itu, lanjut Abbas, me­nun­jukkan penurunan kualitas ha­kim. “Kalau hakim-hakim ba­nyak yang begini, mestinya para hakim itu belajar hukum acara da­sar lagi,” katanya.

Bagaimanapun, perilaku ha­kim yang mengabaikan sejumlah me­kanisme dan aturan Kode Etik itu ha­rus diawasi dan diberi­kan sanksi yang setimpal. Jika ti­dak, kata Abbas, para pencari ke­adilan akan banyak yang ter­ci­derai hak-haknya.

“Kok ada hakim yang se­enaknya begitu ya. Hakim-hakim memang perlu dikasih pem­be­lajaran, tidak boleh seenaknya be­gitu,” ujarnya.


Hakim Bermartabat Sulit Dicari Lagi

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Menurut Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Pad­ja­langi, dalam kesehariannya, ba­nyak hakim yang tidak men­cer­minkan kewibawaan dan mar­tabat sebagai hakim. Padahal, dia mengingatkan, hakim di­personifikasikan sebagai wakil Tuhan yang memutus perkara dengan keadilan.

“Begitulah wajah buruk pe­rilaku hakim kita. Yang dipusat saja begitu perilakunya, ba­gai­mana dengan yang di daerah-daerah yang sangat minim pe­mahaman masyarakat dan juga pengawasannya,” ujar Andi Rio.

Dia menegaskan, Komisi Yu­disial sebagai lembaga pe­nga­wa­san eksternal bagi para ha­kim mesti terus membongkar dan memberikan pengawasan yang tegas bagi hakim. Jika ti­dak demikian, lanjut Andi, maka persidangan bagi para pencari keadilan bagai dagelan belaka. “Akan sulit men­da­pat­kan keadilan di persidangan jika hakim-hakim kita tidak me­mi­liki komitmen, hati nurani dan kebijakan yang murni,” ujarnya.

Dia mendorong semua ele­men masyarakat bersikap kritis terhadap mekanisme dan peri­la­ku hakim dalam memimpin persidangan, termasuk dalam membuat putusan di pe­nga­dilan.

“Saya sangat setuju ma­sya­rakat kita aktif mengkritisi ki­nerja hakim, termasuk me­la­ku­kan pe­mantauan-pemantauan di per­sidangan, dan kemudian di­pub­li­kasi dan ditindaklanjuti,” ujarnya.

Agar perilaku hakim yang me­nyimpang dapat dimi­ni­ma­li­sir, Andi Rio menegaskan per­lu­nya pola rekrutmen hakim yang transparan, bersih dan memiliki komitmen penegakan hukum.

Dia pun mengkritik para ha­kim yang tidak mengemban misi dan tanggung jawab s­e­ba­gai hakim secara sungguh-sung­guh. “Jangan sampai mereka memilih menjadi hakim karena alasan tidak ada pekerjaan. Atau menjadi hakim hanya dijadikan sebagai ladang mencari nafkah. Kalau mau kaya jangan jadi ha­kim, jadi pengusaha saja. Men­jadi hakim berat tanggung ja­wab­nya, dan siap tidak kaya. Ka­lau dia kaya, justru diper­ta­nya­kan darimana asal keka­yaan­nya sampai berlimpah,” ujarnya.


Keadilan Terancam Nggak Tercapai

Fajar Raihan, Koordinator Analis LK2

Koordinator Analis Lem­baga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) Fajar Raihan me­nyampaikan, dengan perilaku yang melanggar Kode Etik Pe­rilaku Hakim, sangat besar ke­mungkinan terjadinya kesa­la­han dan pengambilan putusan yang tidak adil.

“Tentu perilaku hakim yang menyimpang itu bisa berakibat tidak terwujudnya keadilan bagi para pencari keadilan,” ujar Fajar.

Lebih lanjut dia menyatakan, kewibawaan hakim pun akan kian tak dianggap oleh ma­sya­rakat apabila perilaku me­nyim­pang terus menerus terjadi. Atau, kewibawaan hakim se­ma­kin turun.

“Bagaimana mung­kin orang memper­ca­ya­kan hi­dup­nya dan ke­putusan yang adil ke­pada ha­kim-hakim yang tidak sung­guh-sungguh mengemban ama­nah sebagai hakim,” ucap Fajar.

Pengawasan hakim yang dilakukan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus lebih diefektifkan. Bahkan, sanksi yang menimbulkan efek jera perlu menjadi pilihan yang tak terhindarkan bagi para hakim yang menyeleweng dari tugas dan tanggung jawabnya.

“Kita berharap KY dapat membe­rikan pengawasan yang sungguh-sungguh atas hakim-hakim kita,” ujarnya.

Langkah yang lebih jauh lagi, ujar Fajar, perlunya upaya yang serius melakukan evaluasi atau­pun eksaminasi terhadap pu­tu­san-putusan hakim yang ber­masalah. “Pengambilan putusan harus dikritisi, banyak juga pu­tu­san hakim yang tidak ber­da­sarkan pada rasa keadilan,” ucapnya.

Nah, pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menjadi kewenangan Komisi Yudisial. KY wajib menegak­kan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim berdasarkan Pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945.

“Proses pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar, menjadi suatu kewajiban untuk menertibkan perilaku dan kinerja hakim dalam memimpin persidangan,” ujarnya.

Berdasarkan hasil peman­tauan LK2 dan Mappi di Jakarta dan Depok selama Oktober hing­ga November 2011, dari 309 per­sidangan terdapat 307 pe­lang­garan yang dilakukan hakim. Katanya, pelanggaran tersebut menunjukkan beberapa ha­kim tidak menjalankan pro­sedur sesuai ketentuan KUHAP.

Pengabaian prosedur ber­acara menunjukkan ketidak­pro­fesionalan hakim dalam me­mimpin sidang. Pengabaian hal kecil yang terjadi berulangkali, membuat perilaku buruk hakim terjadi berulang-ulang. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA