RMOL. Ikatan Dokter Indonesia siap membantu KPK mengetahui kondisi tersangka kasuk cek pelawat Nunun Nurbaeti. Apakah dalam keadaan sakit atau pura-pura sakit.
“KPK punya hak untuk percaya atau tidak percaya terhadap perÂÂÂnyataan dokter pribadinya Bu Nunun. Kalau tidak percaya, KPK bisa membuat second opiÂÂÂnion ke IDI. Pasti kami memÂÂbantu,†kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Priyo SidipraÂtomo kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, Andreas Harry sebagai dokter pribadi istri Adang Daradjatun itu mengataÂÂkan, Nunun menderita dementia (penyakit lupa) yang hampir mengarah ke alzheimer (penyakit pikun). Tetapi dalam kenyataanÂnya, saat turun dari pesawat dan dibawa ke KPK beberapa waktu lalu, Nunun tampak sehat.
Priyo Sidipratomo selanjutnya mengatakan, sebagai ikatan proÂÂÂfesi dokter, pihaknya merasa berÂtanggung jawab terhadap kasus ini. Apalagi Andreas juga sedang dalam proses Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK).
“Tetapi itu bukan isu yang besar. Biar kan IDI menyelesaiÂÂkannya secara internal,†ujarnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kasus itu nggak usah terbeÂÂlenggu dengan statement dokter pribadinya Ibu Nunun. Kalau KPK tidak percaya, ya bikin seÂÂcond opinion. Kemudian diserahÂkan ke IDI. Kami akan membuat tim independen yang bekerja seÂcara transparan dan profesional.
Pembentukan tim indepenÂÂden ini membutuhkan waktu beÂrapa lama?
Paling tidak kita butuh satu bulan untuk mempersiapkan seÂÂÂmuanya. Saya kira itu sudah cuÂkup. Sebab, peralatan dan tenaga ahli di Indonesia cukup memadai.
Apa KPK belum membicaraÂÂkan masalah ini dengan IDI?
Belum ada. Jika misalnya KPK mempercayai rumah sakit, ya silakan saja. Tapi kalau masih beÂlum percaya juga, ya tanyakan saja ke IDI. Pasti kami memÂbantu.
Apa IDI tidak punya inisiatif memeriksa Andreas?
Sudah kita periksa dia (AnÂÂdreas) melalui MKEK sejak taÂhun lalu. Kalau memang ada keÂsaÂlahan, itu hanya dipakai di IDI. Artinya tidak boleh dipakai di luar.
Bagaimana kalau hasil MKEK terbukti ada kesalaÂÂÂhan?
Tentunya IDI akan memberiÂÂÂkan sanksi. Tetapi hanya sanksi internal. Tidak berdampak terlalu besar ke luar.
Sanksinya apa?
Tergantung dari tingkat kesalaÂÂÂhannya. Kalau ringan akan ada teguran. Kalau sangat berat maka bisa saja pemberhentian izin praktek.
Kenapa hasil MKEK ini beÂlum ada hasilnya?
MKEK DKI belum melaporÂÂkan ke PB IDI, karena ada bebeÂrapa hal lagi yang perlu didalami. Biasanya laporannya secara berÂjenjang. Kami sudah melakuÂkan pemeriksaan MKEK terhaÂÂdap pak Andreas sejak 2010.
Penilaian Anda terhadap AnÂÂÂÂdreas?
Saya nggak bisa nilai ya. SeÂbab, saya belum melihat dia seÂÂcara keseluruhan. Sebagai dokter pribadi dia punya data-data. Tetapi kenapa itu dipuÂÂblikasikan ke publik. Harusnya izin dulu ke pasien karena itu kewenangan pasien. Kecuali jika pasien senÂdiri yang meminta untuk diÂpublikasi.
Bagaimana kalau KPK yang meminta keterangan?
Itu juga harus meminta perÂsetujuan dari pasiennya. Kalau penyakitnya Ibu Nunun menyeÂÂÂbabkan wabah, itu bisa dipubliÂkasiÂÂkan ke masyarakat. Tapi kaÂlau penyakit pribadi dan tidak menyebabkan wabah, maka hak pasien untuk dibuka atau tidak dibuka ke publik.
Kita lihat dulu etikanya diÂlanggar nggak. Itu yang dinilai IDI. Selama ini yang kita dengar Pak Andreas berbicara kepada publik. Padahal aturannya tidak boleh kecuali atas permintaan dari pasiennya sendiri.
Apakah diperbolehkan jika KPK meminta hasil MKEK terÂÂÂsebut?
Kalau diminta KPK nggak mungÂÂÂkin. Sebab, ini sifatnya inÂÂternal. Tidak ada kaitannya deÂngan persoalan ke luar. Tidak bisa jadi bukti perkara pidana. Itu perÂsoalan pembenahan anggota.
Yang paling mungkin KPK membuat second opinion. Tetapi pertanyaannya kenapa KPK haÂrus terganggu dengan pernyaÂÂtaan itu. Kan KPK punya keweÂnangan menelaah sendiri.
Boleh saja dokter pribadinya berÂbicara apa saja. Tapi KPK punya hak unÂtuk melakukan peÂnelitian. Periksa saÂja lagi paÂsienÂnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: