Pengacara Kasus Nazar Rame-rame Undur Diri

Ada Konflik Hingga Ancaman Pembunuhan

Minggu, 11 Desember 2011, 08:58 WIB
Pengacara Kasus Nazar Rame-rame Undur Diri
Muham­mad Na­zaruddin

RMOL. Mundurnya sejumlah pengacara dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet, Palembang, layak dicermati. Murni karena profesionalisme atau ada udang di balik batu?

Dalam kasus Wisma Atlet, KPK telah menetapkan empat ter­sangka, yakni bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muham­mad Na­zaruddin, bekas Manajer Mar­ke­ting PT Anak Negeri Min­do Ro­salina Manullang, bekas Manajer Pemasaran PT Duta Gra­ha Indah (DGI) Mohammad El Idris dan Sekretaris Menpora (non-aktif) Wafid Muharram.

Pengacara Otto Hasibuan me­nya­takan mundur dari tim pem­bela Nazaruddin karena ada kon­flik kepentingan mengingat diri­nya sebagai Ketua Umum Per­him­punan Advokat Indonesia (Pe­radi).

“Saya mundur tidak membuat Nazaruddin telantar, karena pe­nga­caranya banyak. Saya memi­lih di luar tim, sebab di luar tim saya lebih berguna, dan kerja-ker­ja Peradi lebih maksimal,” ujar Otto.

Menurut Otto, sebagai Ketua Umum Peradi, dirinya harus kritis terhadap proses penegakan hukum tanpa harus melihat kasus per kasus. Dengan pertimbangan itu dirinya lebih memilih berada di luar tim. “Banyak yang perlu di­kritisi terkait KPK. Saya tidak mau ada konflik kepentingan dalam mengkritisi karena saya berada dalam tim pembela Na­zaruddin,” ujarnya.

Otto mengaku masih ditahan Nazaruddin agar tidak mundur, tapi dia menjelaskan posisinya. “Dia sebenarnya masih menahan saya. Sebaiknya jangan mudur, katanya. Tetapi saya telah men­jelaskan alasan dan posisi saya, dia mengerti. Saya sampaikan, saya tidak boleh egois,” ujarnya.

Tidak hanya Otto yang mundur dari tim pembela para terdakwa kasus suap Pembangunan Wisma Atlet itu. Sebelumnya, pengacara Mindo Rosalina Manullang, Kamaruddin Simanjuntak juga mundur.

Sejak ditangkap, Rosa sudah di­dampingi kuasa hukumnya, Ka­marudin Simanjuntak. Akan te­tapi dalam prosesnya, Kama­ru­din mengaku, bahwa Rosa di­an­cam dan dipaksa agar tidak meng­gunakan jasa dirinya seba­gai pengacara.

Kamarudin juga mengaku men­dapat teror dan ancaman fisik karena membela Rosa. “Saya di­ce­gat segerombolan orang. Saya akan dipukuli. Mereka mencegah saya untuk jadi pengacara Rosa, agar tidak banyak bicara,” ujarnya.

Dijelaskan Kamarudin, pe­ris­ti­wa itu terjadi seusai dia bertemu Rosa di Rumah Tahanan Pondok Bambu. “Mereka mengatakan di depan Pondok Bambu, katanya Ini akan mempersulit kamu,” ceritanya.

Kamaruddin mengatakan, di­rinya juga banyak menerima kiri­man SMS  untuk mundur sebagai pembela Rosa. “Saat kita antar Rosa ke Pondok Bambu ada se­ge­rombolan orang mencegat, min­ta cabut surat kuasa hukum. Mereka juga mengancam akan membunuh,” katanya.

Namun, Kamarudin tidak me­ngetahui siapa saja yang me­merintahkan orang-orang yang mengintimidasinya itu. “Tidak tahu siapa yang mengutus mere­ka,” ucapnya.

Pengacara terdakwa Wafid Mu­harram, Ferry Amahorseya pun menyatakan mengundurkan diri. Hal itu dilakukan Ferry ka­rena merasa dirinya sudah tidak sejalan dengan Wafid dalam pe­ngusutan perkara itu. Ferry ber­sikukuh agar Nazaruddin di­ha­dirkan sebagai saksi dalam per­si­dangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Namun, Wafid tak setuju.

Dia resmi mengundurkan diri pada Rabu (12/10). “Buat saya, pengusutan perkara tindak pidana bukanlah soal menang atau kalah, tetapi mengungkap kebenaran se­utuhnya. Berbeda dengan perkara perdata, memang menang atau kalah,” ujarnya.

Ferry mengatakan, keputusan mundur tersebut telah dibi­ca­ra­kan­nya dengan Wafid. “Terdapat ketidaksesuaian paham dan pemikiran tentang arah kebijakan pembelaan yang harus saya lakukan dengan yang diinginkan terdakwa,” kata dia.

Menurut Ferry, kehadiran Na­za­ruddin dalam persidangan pen­ting untuk mendukung kete­ra­ngan Wafid yang menyebut cek senilai Rp 3,2 miliar sebagai dana talangan. Hanya saja, Wafid tak sepakat karena khawatir Nazar tidak konsisten mengungkap ka­sus suap proyek Wisma Atlet SEA Games ini.

Kendati begitu, Ferry mengaku menghormati pendapat berbeda dari bekas kliennya itu. “Ini se­mua kan yang menyatakan Wafid tidak terima suap, tinggal Na­za­ruddin. Kita periksa dong Naza­ruddin. Tapi, Wafid tampaknya agak terganggu, ragu-ragu dan tak yakin,” ujarnya.

Menurut Ferry, dalam peme­riksaan Rosa sebagai saksi bagi Wa­fid, Rosa mengakui bahwa pemberian uang kepada Wafid ada­lah atas perintah Nazar. “Rosa bilang itu sepengetahuan Naza­rud­din. Makanya wajib diha­dir­kan Nazaruddin itu. Saya sudah serahkan kepada jaksa dan hakim agar Nazaruddin dihadirkan. Ka­lau tidak, maka putusan per­kara ini akan prematur, akan ab­normal,” ujarnya.

Kata Ferry, termasuk dirinya, dari tim pembela Wafid Muhar­ram ada empat pengacara yang mengundurkan diri. “Ada tiga orang lagi yang pada akhirnya mun­dur. Bersama saya jadi empat orang. Saya tidak etis menyebut nama mereka. Biarlah itu menjadi pertimbangan masing-masing saja,” ujarnya.

REKA ULANG

“Apakah Ini Tim Pembela Saudara”

Pada awal persidangan Na­zaruddin, di kalangan wartawan beredar surat pencabutan kuasa hukum dari M Nazaruddin atas OC Kaligis tertanggal 30 No­vem­ber 2011. Namun, saat di­kon­fir­masi terkait hal tersebut, Na­za­rud­din mengaku bahwa OC Kali­gis masih menjadi kuasa hukumnya.

“Surat itu ditarik kembali, apa ini adalah tim saudara?” tanya hakim Darwati kepada Nazarud­din di Pengadilan Tipikor. Dar­wati ingin mengetahui secara pas­ti, apakah empat pengacara yang hadir dalam sidang perdana Na­zaruddin pada Rabu (7/12), yakni Hotman Paris, Elza Syarief, OC Kaligis dan Afrian Bonjol adalah pengacara bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu.

Menjawab pertanyaan tersebut, Nazaruddin menyatakan, persida­ngan bisa dilanjutkan karena se­mua kuasa hukumnya sudah leng­kap. “Iya, pengacara saya. Ma­jelis hakim bisa memulai per­sidangan,” ujarnya.

Dalam perkara ini, dua orang ter­dakwa sudah divonis, yaitu Mindo Rosalina Manullang di­jatuhkan hukuman penjara se­lama 2,5 tahun dan Mohammad El Idris dijatuhkan hukuman penjara dua tahun.

Dalam kasus ini, empat orang dijadikan tersangka oleh KPK, yaitu yakni bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Mu­ham­mad Nazaruddin, bekas Manajer Marketing PT Anak Negeri Min­do Rosalina Manullang, bekas Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris dan bekas Sekretaris Men­pora Wafid Muharram. Da­lam perkembangannya, Otto Ha­sibuan (pengacara Nazar), K­a­marudin Simanjuntak (pengacara Mindo Rosalina) dan Ferry Amarhoseya (pengacara Wafid) mengundurkan diri.

Menurut Otto Hasibuan yang juga Ketua Perhimpunan Ad­vo­kat Indonesia (Peradi), pengacara tidak boleh menyatakan mundur dari pembelaan terhadap kliennya dengan alasan-alasan yang tidak prinsipil.

Dia mengakui, dalam beberapa pengalaman, ada saja pengacara yang mundur karena bayarannya tidak sesuai. Namun, hal itu tidak diperbolehkan.

“Persoalan honor ti­dak boleh dijadikan alasan un­tuk mundur. Ataupun gara-gara si­kap politik, seorang advokat tidak boleh mundur,” ujarnya.

Hal prinsip yang menjadi ala­san seorang pengacara mundur, menurut Otto adalah karena hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. “Kedua, tidak ada ke­cocokan dalam hal strategi pem­belaan. Alasan paling kuat adalah alasan hati nurani,”ujarnya.

Bahkan, bila pun ada tekanan-tekanan atau intimidasi terhadap pembela, kata Otto, hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mun­dur. “Itu tidak boleh, dia ha­rus bertahan, tidak boleh mening­galkan perkara. Kalau saya ini mundur dari tim pembela Na­zarud­din untuk menghindari kon­flik kepentingan sebagai Ketua Peradi saja,” ucapnya.

Dengan melakukan pembelaan terhadap upaya penegakan hu­kum secara umum, bukan hanya kasus Nazaruddin, Otto merasa sudah turut membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan hu­kum dalam menghadapi perkara. “Saya sampaikan, biarlah saya berada di luar tim. Saya akan me­n­gawal proses penegakan hu­kum,” ujarnya.

Berakhir Karena Tak Saling Percaya

Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI

Dalam sebuah perkara, se­mes­tinya ada saling percaya antara klien dengan kuasa hu­kumnya. Apabila hal itu tidak tercapai, maka hubungan pem­b­­elaan akan berakhir.

“Ini kan hubungan keper­ca­ya­an. Klien percaya bahwa pe­ngacaranya akan berjuang mem­bela hak-haknya dalam per­karanya. Pengacara juga ber­kewajiban menyimpan ra­ha­sia si klien. Tidak boleh ketika keluar dia mengatakan sesuatu rahasia yang berkenaan dengan kliennya itu,” ujar Ketua Ya­yasan Lembaga Bantuan Hu­kum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih.

Menurut Erna, ada berbagai macam hal yang bisa mem­pe­nga­ruhi hubungan klien dengan pengacaranya, termasuk alasan yang membuat seorang penga­ca­ra mengundurkan diri. “Itu se­mua tentunya sudah tertuang da­lam kontrak dan surat kuasa yang dibuat. Juga tidak mesti sepanjang proses pengurusan perkara itu seorang pengacara mendampingi dan membela, itu tergantung pada isi kontrak dan surat kuasanya,” ujar Erna.

Jika seorang klien memiliki hak untuk memecat penga­ca­ra­nya, maka seorang pengacara pun memiliki hak untuk tidak melanjutkan pembelaannya.

“Pengacara bisa mundur. Hal itu tentu dengan sejumlah ala­san. Mungkin alasan-alasan yang dilakukan dan di­te­rang­kan kliennya tidak sesuai dengan fakta-fakta di lapangan. Atau ka­rena dasar hukumnya tidak kuat untuk melakukan pem­be­laan,” ujarnya.

Dalam pemutusan hubungan itu, lanjut Erna, seorang penga­cara dan klien harus saling mem­beritahukan. “Tentu saja itu harus diberitahukan ke klien­nya. Ketika pengacara keluar, secara kode etik tidak boleh mem­bongkar rahasia kliennya. Wa­laupun sudah tidak jadi pe­ngacaranya,” ujar Erna.

Diingatkan Erna, pengacara juga tidak boleh berebut klien dengan pengacara lainnya. Hal itu melanggar kode etik. “Jika ada yang melakukan hal itu, maka dia harus diinformasikan, dia sudah melanggar kode etik,” ujar Erna.

Bisa Mundur Karena Honor

Harry Witjaksana, Anggota Komisi III DPR

Menurut Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksana, mun­durnya seorang pengacara dari pembelaan hukum terha­dap kliennya adalah hal yang lumrah. Sebab, selain klien mem­punyai hak untuk mem­buat surat kuasa dan mem­be­ri­kan surat kuasa kepada pe­nga­caranya, si pengacara juga me­m­iliki hak untuk me­ngun­durkan diri.

“Dua-duanya memiliki hak untuk meneruskan atau tidak. Soal alasannya mengapa mun­dur atau dicabut kuasanya, ya hanya mereka masing-masing saja yang tahu,” ujar Harry.

Politisi Demokrat itu me­nyam­paikan, dalam urusan pem­belaan tentunya ada kese­pa­katan-kesepakatan dan mo­del hubungan kerja yang di­se­tujui antara pengacara dengan kliennya. Apabila kesepakatan-kesepatakan itu sudah tidak bisa dijalankan oleh salah satu pi­hak, tentunya hubungan klien dengan kuasa hukumnya pun bisa berakhir.

“Ada kontrak antara mereka, terkait hubungan kerja, posisi perkara dan strategi hukum yang akan dilakukan. Nah, bisa saja sudah tidak ada lagi ke­cocokan dalam kontrak itu bagi kedua belah pihak, ya bisa mun­­dur dong. Sama saja prin­sipnya seperti kerja di peru­sa­haan,” ujar Harry.

Harry menduga, dalam ba­nyak perkara, alasan-alasan yang sangat subyektif pun bisa mempengaruhi pengacara untuk mundur. “Misalnya soal honor, bisa saja memang itu tidak se­suai. Bukan tidak mungkin ma­salah honor itu membuat pe­nga­cara mundur. Ada banyak lagi alasan yang mungkin dimiliki masing-masing. Hanya mereka yang tahu itu,” katanya.

Menurut Otto Hasibuan yang juga Ketua Perhimpunan Ad­vo­kat Indonesia (Peradi), pe­nga­ca­ra tidak boleh menyatakan mundur dari pembelaan ter­ha­dap kliennya dengan alasan-alasan yang tidak prinsipil.

Dia mengakui, dalam bebe­ra­pa pengalaman, ada saja pe­nga­cara yang mundur karena ba­ya­rannya tidak sesuai. Namun, hal itu tidak diperbolehkan.

“Persoalan honor tidak boleh dijadikan alasan untuk mundur. Ataupun gara-gara sikap politik, seorang advokat tidak boleh mundur,” ujarnya.

Hal prinsip yang menjadi ala­san seorang pengacara mundur, menurut Otto adalah karena hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. “Kedua, tidak ada ke­cocokan dalam hal strategi pembelaan. Alasan paling kuat adalah alasan hati nura­ni,” ujarnya.  [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA