WAWANCARA

Abdullah Hehamahua: Seleksi Dapat Giliran Ketiga, Saya Hadapi Dengan Santai

Selasa, 22 November 2011, 08:30 WIB
Abdullah Hehamahua: Seleksi Dapat Giliran Ketiga, Saya Hadapi Dengan Santai
Abdullah Hehamahua
RMOL.Abdullah Hehamahua mengaku santai saja menghadapi fit and proper test calon pimpinan KPK yang dilakukan Komisi III DPR. Makanya, tidak ada persiapan khusus.

“Saya mendapat giliran ketiga, tepatnya Rabu (23/11) untuk fit and proper test. Saya tidak ada persiapan khusus menghadapi seleksi itu. Santai saja,” tandas Abdullah Hehamahua, di Jakarta, Sabtu (19/11).

Bahkan, lanjut Penasihat KPK itu, sehari sebelum seleksi, dia pergi ke Banjarmasin menjadi pem­bicara dalam seminar dan melakukan sosialisasi pemberan­tasan korupsi.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa ya sih tidak ada persia­pan sama sekali?

Tidak ada hal khusus yang saya lakukan. Sebagai seorang Mu­slim saya hanya menjalani sholat lima waktu sehari, 17 rakaat. Memanjatkan doa kepada Tuhan.

Bagaimana dengan duku­ngan keluarga?

Keluarga dan teman-teman de­kat saya mendukung penuh apa yang akan saya lakukan.

Menurut pandangan Anda, ba­gaimana KPK ke depan?

KPK harus menjadi motor peng­gerak masyarakat untuk meng­galakkan budaya anti-korupsi. Strategi dan fokus utama yang harus dikembangkan KPK ke depan adalah pencegahan ko­rupsi. Ini sebagai pilar pertama. Sebab, penjara sudah penuh.    

Paradigma masyarakat terha­dap korupsi perlu diubah. Ko­rupsi harus disadari sebagai keja­hatan yang luar biasa, sehingga orang tidak  mau lagi melakukan korupsi.

Bagaimana dengan peninda­kan?

KPK harus memasang target tinggi. Minimal kasus senilai Rp 50 miliar harus ditindak. Orien­tasinya menangani kasus korupsi kelas kakap, seperti kasus Bank Century dan kasus pajak. Se­dangkan kasus korupsi lainnya diserahkan ke kepolisian dan ke­jaksaan.

Itu menjadi solusi atas begitu banyaknya kasus.  

Soal hukuman bagi korup­tor?

Pemberian hukuman bagi ko­rup­tor harus dibagi dua, yaitu hu­kuman mati dan hukuman pemis­kinan. Proses pemiskinan itu bisa dilakukan negara dengan menyita aset-aset koruptor. Ke­mudian koruptor tersebut harus menjalani kerja sosial. Misalnya member­sihkan gorong-gorong.

Berapa nilai korupsi yang ha­­rus dihukum mati?

Saya mengusulkan agar dida­lam undang-undang menetapkan secara konkret nominalnya. Ko­rupsi lebih dari Rp 50 miliar diberikan hukuman mati. Kurang dari jumlah tersebut tidak dipen­jara. Tapi dimiskinkan dengan me­nyita semua asetnya. Kemu­dian diberikan hukuman sosial.

Berarti Undang-undangnya perlu direvisi?

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Un­dang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2 ayat 2 disebutkan huku­man mati adalah hukuman yang diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Yaitu keadaan ketika negara dalam keadaan perang dan bencana alam. Namun itu kan susah dilaksanakan dan tidak konkrit.

Bukannya hukuman mati ini masih ditolak sebagian kala­ngan?

Lho, terpidana teroris dan nar­­koba saja dihukum mati. Pa­dahal korupsi itu lebih berba­haya dari teroris dan narkoba. Saya kira semua kalangan me­ma­hami itu. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA