“Saya mendapat giliran ketiga, tepatnya Rabu (23/11) untuk fit and proper test. Saya tidak ada persiapan khusus menghadapi seleksi itu. Santai saja,†tandas Abdullah Hehamahua, di Jakarta, Sabtu (19/11).
Bahkan, lanjut Penasihat KPK itu, sehari sebelum seleksi, dia pergi ke Banjarmasin menjadi pemÂbicara dalam seminar dan melakukan sosialisasi pemberanÂtasan korupsi.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa ya sih tidak ada persiaÂpan sama sekali?
Tidak ada hal khusus yang saya lakukan. Sebagai seorang MuÂslim saya hanya menjalani sholat lima waktu sehari, 17 rakaat. Memanjatkan doa kepada Tuhan.
Bagaimana dengan dukuÂngan keluarga?
Keluarga dan teman-teman deÂkat saya mendukung penuh apa yang akan saya lakukan.
Menurut pandangan Anda, baÂgaimana KPK ke depan?
KPK harus menjadi motor pengÂgerak masyarakat untuk mengÂgalakkan budaya anti-korupsi. Strategi dan fokus utama yang harus dikembangkan KPK ke depan adalah pencegahan koÂrupsi. Ini sebagai pilar pertama. Sebab, penjara sudah penuh.
Paradigma masyarakat terhaÂdap korupsi perlu diubah. KoÂrupsi harus disadari sebagai kejaÂhatan yang luar biasa, sehingga orang tidak mau lagi melakukan korupsi.
Bagaimana dengan penindaÂkan?
KPK harus memasang target tinggi. Minimal kasus senilai Rp 50 miliar harus ditindak. OrienÂtasinya menangani kasus korupsi kelas kakap, seperti kasus Bank Century dan kasus pajak. SeÂdangkan kasus korupsi lainnya diserahkan ke kepolisian dan keÂjaksaan.
Itu menjadi solusi atas begitu banyaknya kasus.
Soal hukuman bagi korupÂtor?
Pemberian hukuman bagi koÂrupÂtor harus dibagi dua, yaitu huÂkuman mati dan hukuman pemisÂkinan. Proses pemiskinan itu bisa dilakukan negara dengan menyita aset-aset koruptor. KeÂmudian koruptor tersebut harus menjalani kerja sosial. Misalnya memberÂsihkan gorong-gorong.
Berapa nilai korupsi yang haÂÂrus dihukum mati?
Saya mengusulkan agar didaÂlam undang-undang menetapkan secara konkret nominalnya. KoÂrupsi lebih dari Rp 50 miliar diberikan hukuman mati. Kurang dari jumlah tersebut tidak dipenÂjara. Tapi dimiskinkan dengan meÂnyita semua asetnya. KemuÂdian diberikan hukuman sosial.
Berarti Undang-undangnya perlu direvisi?
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-UnÂdang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2 ayat 2 disebutkan hukuÂman mati adalah hukuman yang diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Yaitu keadaan ketika negara dalam keadaan perang dan bencana alam. Namun itu kan susah dilaksanakan dan tidak konkrit.
Bukannya hukuman mati ini masih ditolak sebagian kalaÂngan?
Lho, terpidana teroris dan narÂÂkoba saja dihukum mati. PaÂdahal korupsi itu lebih berbaÂhaya dari teroris dan narkoba. Saya kira semua kalangan meÂmaÂhami itu. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: