Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hot Money di Instrumen Moneter

Oleh: Dopul Rudy Tamba, SE.,MM*

Senin, 21 November 2011, 14:44 WIB
MENGAPA Bank Indonesia menghabiskan triliunan rupiah per bulan untuk menerbitkan SBI?  Siapa yang menikmati bunga SBI? Dari mana uang untuk bunga SBI?  Sedemikian dermawankah Indonesia menjual instrumen OPT tersebut ke pihak asing? Pertanyaan tersebut seringkali muncul.

Hal yang wajar dan beralasan bagi mereka yang perduli mengenai kebijakan moneter dan perbankan yang sedang dijalankan di Indonesia.

Secara singkat SBI diterbitkan untuk menyerap kelebihan likuiditas dana yang ada di masyarakat yang tidak digunakan dalam perekonomian. Dana yang belum dapat disalurkan ke kredit, dana pembangunan yang belum direalisasikan, atau dana yang belum dapat diinvestasikan merupakan bagian dari kelebihan (ekses) likuiditas ini. Bila likuiditas ini dibiarkan "menggenangi"  pasar keuangan yang terjadi adalah tekanan inflasi, karena nilai intrinsik uang menjadi berkurang.

BI menyedot kelebihan likuiditas tersebut melalui penerbitan SBI, Term Deposit atau melakukan transaksi Reverse Repo SBN dengan perbankan atau melakukan Swap USD.

Inflow asing

Aliran modal yang deras ke Indonesia diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 lalu.  Hal ini dipengaruhi oleh 2 faktor, domestik dan luar negeri.
Derasnya aliran modal masuk tersebut didorong oleh prospek ekonomi domestik yang kuat, kondisi moneter dan sistem keuangan yang stabil, fiskal yang sustainable dan kinerja eksternal yang solid serta imbal hasil yang masih menarik. Sementara itu dari sisi luar negeri, aliran modal yang masih tinggi terkait dengan kebijakan negara maju yang memiliki suku bunga rendah dan ekspansi likuiditas.

Apabila ekses likuiditas yang besar tersebut tidak terserap oleh sektor riil, maka dana ini justru menambah  jumlah ekses likuiditas yang sudah ada. Dibalik kegairahan transaksi di pasar keuangan yang ditimbulkan dari inflow tersebut satu hal yang seluruh pelaku pasar sepakat untuk dihindari adalah pembalikan modal asing yang tiba-tiba (large sudden reversal). Kondisi ini lah yang terjadi dapat dikatakan sebagai awal maupun sebagai akibat dari krisis keuangan di Indonesia pada tahun 1998, 2005 dan 2008 lalu.

Kegalauan ini menjadi kian jelas ketika dampak dari krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa mulai semilir meniup ke negara emerging market, termasuk Indonesia.
       
Strategi OPT

Dari tiga instrumen penyerapan ekses likuiditas, hanya SBI yang dapat dibeli secara langsung oleh pihak asing. Diperkirakan ada sekitar 27% SBI yang dimiliki pihak asing. Siapkah Bank Indonesia menjaga kondisi pasar keuangan untuk tetap tumbuh berkembang apabila terjadi penjualan  SBI besar-besaran dari pihak asing. Siapkah BI untuk menangkal hembusan krisis.

Sedikitnya terdapat tiga jurus yang telah dikeluarkan Bank Indonesia untuk mempertahankan kondisi keuangan. Pertama,  menjarangkan Lelang SBI. Sejak bulan Maret 2010, Bank Indonesia tidak lagi melakukan lelang SBI setiap minggu, tetapi menjadi hanya sekali setiap bulannya. Dengan strategi ini, perbankan  diharapkan mempertahankan SBI yang dimilikinya dan tidak menjualnya ke pihak asing  karena lelang SBI tidak sesering sebelumnya.

Kedua, mengurangi jumlah SBI yang diterbitkan dan sekaligus menambah atau meningkatan porsi instrumen non securities, yaitu Term Deposit dan Reverse Repo SBN dalam menyerap kelebihan likuiditas. Ketiga, menerapkan six month holding period (6 MHP) di SBI.  Dengan ketentuan ini, maka jumlah SBI yang dapat dijual di pasar sekunder akan berkurang, karena sebagian SBI masih ter”kunci” sehingga tidak dapat ditransaksikan, termasuk yang dimiliki oleh pihak asing.

Efektifitas Minimal Holding Period SBI

Kebijakan ini bukan untuk mencegah asing masuk ke pasar keuangan Indonesia namun hanya menghambat terjadinya sudden reversal. Apabila saat ini SBI hanya diterbitkan dengan tenor 9 bulan, maka pihak lain selain bank baru dapat memperoleh SBI tersebut enam bulan kemudian setelah terbit.  Pembeli SBI di pasar sekunder juga terkena ketentuan ini.  Singkatnya,  karena BI saat ini hanya menerbitkan SBI yang berjangka waktu 9 bulan, maka pembeli di pasar sekunder otomatis menjadi harus memegang SBI tersebut hingga jatuh tempo.  Terdapat sanksi bagi pelanggar ketentuan ini. Sanksi tersebut dialamatkan kepada bank atau subreg (kustodian) yang menatausahakan pembeli SBI selain perbankan.

Apakah kebijakan ini menjamin tidak terjadinya dampak large and sudden reversal, tentu saja tidak.  Sumber gejolak dapat bersumber dari mana saja: pasar saham, pasar SBN dan nilai tukar, waspadalah.

*) Penulis merupakan pemerhati Kebijakan Moneter
Bekerja di Direktorat Pengelolaan Moneter
Bank Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA