RMOL. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dinilai mencari sensasi atas pernyataannya soal jual beli pasal di DPR.
“Buat apa ambil pusing dengan tudingan itu. Saya tidak peduli mau dibilang cari sensasi atau tidak. Emang gue pikirin,†ujar Mahfud MD, kepada Rakyat Merdeka, Jumat (18/11).
Menurut bekas Menhan itu, dirinya bukan berbicara soal oknum yang ada di DPR saja. Namun mengenai politik hukum nasional.
“Bukti dan gejala mengenai praktek tersebut sudah saya tunÂjukkan. Masih kurang apa,†kata Mahfud.
Berikut kutipan selengkapnya:
Saya berbicara dalam forum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Selasa (15/11). Ceramah saya panjang tapi pers mengutip soal jual beli pasal saja.
Saya menjelaskan mengenai penyebab buruknya produk legisÂlasi kita, sehingga dari 405 judiÂcial review yang diajukan ke MK, sebanyak 97 pengujian yang dikabulkan atau dinyatakan inÂkonstitusional.
Apa penyebab buruknya proÂduk legislasi itu?
Ada tiga penyebab. Pertama, tukar menukar atau saling memÂberi dan menerima hal-hal yang bertentangan di antara pemain politik. Misalnya kelompok A ingin sistem proporsional terbuka tapi dengan jumlah threshold tujuh persen. Lalu kelompok B ingin partai politik kecil ikut pemilu. Namun minta sistem proÂporsional tertutup. Kemudian dipertukarkan, kelompok A seÂtuju parpol kecil ikut pemilu. Kemudian kelompok B setuju threshold tujuh persen.
Kedua, tidak profesional, seÂhingga tidak mampu membuat undang-undang dan studi komÂprehensif. Bahkan tidak mampu menggali maksud Undang-Undang Dasar. Maka hasilnya jadi buruk.
Ketiga, ada jual beli pasal atau isi undang-undang yang sedang dibahas.
Siapa yang melakukan jual beli pasal itu?
Orang atau insÂtansi yang berÂkeÂpentingan atas isi dari undang-unÂdang. Membayar orang DPR agar suatu undang-unÂdang meÂngaÂtur bagi kepenÂtinganÂnya. Atau DPR membuat kepuÂtuÂsan sesuai kehenÂdaknya. Bandar ini bisa pengusaha, bahÂkan juga bisa institusi negara.
Apa praktek ini sudah lama terjadi?
Saya tidak mengukur jauhnya tapi faktanya ada. Gejalanya juga banyak. Faktanya ada institusi negara mengeluarkan uang Rp 100 miliar secara tidak sah yang diakui untuk menggolkan sebuah undang-undang di DPR. PengaÂdilan menghukum tidak kurang dari empat pejabat. Itu kan bukti yang sudah divonis.
Apa ada alasan lainnya?
Yang diungkapkan anggota DPR, Wa Ode Nurhayati mengeÂnai calo anggaran adalah indikasi jual beli pasal Undang-undang APBN. Pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan TransmiÂgraÂsi yang saat ini diadili di PengaÂdilan Tipikor. Itu kan terkait dengan Undang-undang APBN Perubahan.
Ada yang minta bukti, apa Anda siap menunjukkannya?
Buktinya sudah jelas ada vonis pengadilan. GejaÂlanya sudah banyak, yaitu sekarang baÂnyak diÂpanggil ke KPK. Masa saya diÂminta untuk menunÂjuk bukti. MasyaraÂkat kan sudah tahu. Dulu juga ada kasus dana Jamsostek seÂbeÂsar Rp 7 miliar yang diperguÂnakan untuk membiayai DPR membaÂhas unÂdang-undang. MeÂreka rapat di hotel. Itulah yang secara akademis diidentifikasi sebagai penyebab buruknya undang-undang.
Apa ini salah satu penyebab judicial reÂview banyak yang diÂkabulÂkan MK?
Di dalam konteks politik huÂkum, maka membuat Undang-Undang dengan cara seperti itu menyebabkan produk legislasi kita menjadi buruk dan beleÂpotan.
Minggu lalu di Universitas Haluoleo, Kendari, saya mengaÂtakan semua pilar demokrasi yang bersifat supra strukÂtur seÂdang rusak. Bukan hanya DPR yang rusak, tetapi lembaga ekÂsekutif dan yudikatif juga diteÂngarai rusak berat. Yang masih bisa diharapkan adalah pers dan LSM.
Apa yang harus dilakukan ke depan?
Saya pernah mengatakan, teori-teori untuk mengatasi perÂsoalan sudah keluar semua. Kita sudah kehabisan teori untuk menjelaskannya. Semua profesor sudah berbicara dengan berbagai teori. Tapi tidak ada yang memÂpan. Sekarang harus bertindak bukan mengidentifikasi terus. Tindakannya berupa pengawasan melekat atau leadership yang kuat dan penegakan hukum secara keras. [Harian Rayat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: