RMOL. Untuk menelisik kasus dugaan korupsi pengadaan sistem informasi perpajakan di Ditjen Pajak, Tim Satuan Khusus Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung menggeledah empat lokasi pada 3 November lalu. Tapi, dua tersangka kasus ini tak kunjung ditahan. Seriuskah Kejagung menangani perkara yang diduga merugikan negara Rp 12 miliar ini?
Kemarin, Kepala Pusat PeneÂrangÂan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Noor Rachmad meÂngakui, dua tersangka tersebut memang beÂlum ditahan. KejaÂgung juga belum mengajukan penceÂkalÂan terhadap dua terÂsangka itu ke Ditjen Imigrasi KeÂmenterian HuÂkum dan HAM.
Alasannya, peÂnyidik yang memiliki keÂweÂnangan, merasa belum perlu meÂnahan dan menÂcekal kedua tersangka itu. PadaÂhal, dua tersangka itu seÂbeÂlumÂnya dinilai tidak kooÂperÂatif, sehingga Tim Khusus KeÂjaÂgung melakuÂkan penggeledahan dan penyitaan di empat lokasi.
SeÂkadar mengingatkan, dua terÂÂÂsangÂka kasus tersebut adalah Ketua Panitia Pengadaan Sistem Informasi Manajemen Bahar (B) dan Pejabat Pembuat Komitmen Pulung Soeharto (PS). Keduanya ditingkatkan statusnya sebagai tersangka pada Kamis, 3 NoÂvemÂber lalu.
Menurut Direktur Penyidikan Bagian Pidana Khusus Kejaksaan Agung Arnold Angkouw, pihak-pihak terkait pengadaan sistem informasi ini, tidak kooperatif saat diminta menyerahkan sejumÂlah dokumen.
“Kami tidak bisa meÂnunggu lama. Makanya, kami meÂÂlakukan penyitaan dan pengÂgeÂledahan. Kami turunkan tim, dan ternyata dokumennya sudah diÂpindahkan dari kantor pusat pajak ke kantor pelayanan pajak Jakarta Barat,†katanya.
Melihat pemindahan dokumen itu, penyidik semakin curiga ada penyimpangan dalam pengadaan sistem informasi ini.
“Sesuai UnÂdang-Undang, jaksa memÂpunyai weÂwenang melakuÂkan pengÂgeÂledahan, menyita, karena itu baÂgian pengumpulan alat bukti. Alat bukti itu yang kaÂmi pakai, apakah ada pelanggaran pidananya,†jelas Arnold.
Setelah hampir dua minggu meÂnangani kasus tersebut, KejaÂgung juga belum meneÂmuÂkan terÂsangka baru, meski pengaÂdaan ini tentu tak lepas dari peran rekanan Direktorat Jenderal Pajak KeÂmenÂterian Keuangan. “SamÂpai saat ini belum ada terÂsangka baru. Kami masih meÂngemÂbangkan data hasil pengÂgeÂleÂdahan itu,†kata Noor Rachmad, kemarin.
Padahal, menurut Arnold AngÂkouw, hasil audit Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK) meÂnunÂjukkan, setidaknya terdapat peÂnyelewengan dana sebesar Rp 12 miliar dari total proyek sebesar Rp 43 miliar. Dia juga menyebut dugaan keterlibatan rekanan Ditjen Pajak dalam pengadaan ini, yakni PT BHP. Tapi, hingga kemarin belum ada tersangka dari pihak rekanan ini.
Kendati begitu, menurut Noor, penetapan tersangka baru akan diketahui dari hasil pengemÂbaÂngan dan penyidikan yang masih dilakukan. “TerÂmaÂsuk pengembaÂngan dokumen, itu juga akan meÂnunjukkan apakah ada tersangka baru atau tidak. KaÂmi masih terus melakukan peÂnelusuran. Mudah-mudahan daÂlam satu atau dua hari ini sudah ada perkembangan baru,†ujarnya.
BPK, kata Arnold, menilai bahÂwa pengadaan sistem inforÂmasi ini setengah fikÂtif, sehingga diÂduga terjadi peÂlanggaran Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 tentang PeÂngaÂdaan Barang dan Jasa. “AnÂtara lain mengenai alat-alat yang tidak ada wujudnya,†katanya.
Pengadaan sistem informasi perÂpajakan ini, lanjut Arnold, awalnya berjalan dengan baik. Namun, ketika pengadaan tamÂbahan, diduga terjadi pengÂgeÂlemÂbungan harga atau mark up.
“Pengadaan tambahan terseÂbut juga diubah jenisnya dalam proÂses lelang, sehingga tidak connect dengan yang sudah ada,†tandas Arnold.
Jangan Salahkan Caci Maki Publik
Jamil Mubarok, Kordinator LSM MTI
Tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung belum sepenuhnya pulih. Nah, menurut Koordinator LSM MaÂsyarakat Transparansi InÂdoÂnesia (MTI) Jamil Mubarok, pengÂusutan kasus pengadaan sistem informasi Ditjen Pajak bisa menjadi salah satu ajang peÂmuÂlihan kepercayaan maÂsyaÂrakat.
“Ini menjadi salah satu paÂrameter bagi Kejaksaan Agung. Jika mereka bisa meÂnunÂtasÂkanÂnya, maka tanggapan maÂsyaÂrakat akan positif. Tapi, jika perÂkara ini mangkrak seperti seÂjumlah kasus lain, jangan saÂlahÂkan bila publik kalau mencaci maÂÂki mereka,†kata Jamil di Jakarta, keÂmarin.
Jamil mengingatkan, KejakÂsaÂan Agung jangan lemah daÂlam menetapkan tersangka karena tekanan dan pilih bulu. Dia pun mengingatkan, meski berkenaan dengan kepentingan dan uang, Kejagung jangan membelokkan seseorang yang seharusnya menjadi tersangka menjadi sekadar saksi atau bahkan dilepaskan.
“Ini menjadi perhatian seÂrius. Kasus pengadaan sistem inÂforÂmasi itu sudah masuk pusaran kekuasaan. Kejaksaan jangan hanya mengusut kasus korupsi karena target atau karena kepenÂtingan segelintir pimpinan atau perintah kelomÂpok tertentu. Benar-benarlah haÂdir sebagai lembaga penegak hukum. UnÂtuk ini, saya meÂnyarankan agar kejaksaan beÂlajar dari KPK,†ujarnya.
Penanganan kasus pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak itu, lanjut Jamil, akan menjadi perhatian publik. Sekaligus menjadi ajang uji coba bagi KeÂjakÂsaan untuk menunjukkan kinerja yang positif di mata masyarakat.
“Karenanya tidak cukup haÂnya menangkapi yang kecil-kecil. Mereka juga harus menÂjaring pejabat kakap yang terÂlibat. Ini menjadi momentum baÂgi Kejagung untuk menunÂjukÂÂkan, mereka pun bisa sukes meÂÂlakukan pemberantasan koÂrupÂsi di mata publik,†sarannya.
Ada Pemenang Sebelum Tender
Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR
persoalan peÂngadaan baÂrang dan jasa kerap terjadi di instansi pemerintah. Hal serupa terjadi dalam pengadaan sisÂtem inÂformasi perpajakan di DirekÂtorat Jenderal Pajak pada tahun anggaran 2006.
Hal itu diakui Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis. Menurutnya, setiap peÂngaÂdaan memang rawan diseÂlewengkan.
“Boleh dibilang, hamÂpir seÂmua tender di pemeÂrinÂtahan itu wilayah yang raÂwan,†ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Komisi XI yang merupakan mitra kerja utama Kementerian Keuangan yang membawahi Direktorat Jenderal Pajak, meÂnurut Harry, sudah kerap memÂpertanyakan metode pengadaan seperti ini.
“Yang saya tahu, seÂring kali dalam pengadaan, diikuti satu perusahaan dengan perusahaan lain yang rupanya saling kait, dan saling mengÂakali. Mereka juga yang berÂmain,†ujarnya.
Keputusan Presiden (KepÂpres) No. 80 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PengaÂdaan Barang dan Jasa PeÂmeÂrintah, lanjut Harry, tidak cukup efektif untuk mencipÂtaÂkan pengadaan yang transÂpaÂran.
“Normatifnya memang beÂgiÂtu, tapi siapa saja yang berÂmain tidak dideteksi. Sering kali tenÂder diikuti banyak perÂusahaan, tapi sesungguhnya peÂmenangÂnya sudah ditentuÂkan. Yang lain-lain itu hanya peÂnyumÂbang. Sudah ada pemeÂnang tendernya sebelum tender diÂbuka,†jelasnya.
Modus pengadaan yang keÂrap terjadi, lanjutnya, model titipan bos-bos. Namun, dalam banyak dokumen, tidak terlacak siapa saja pemainnya. Karena itu, dia mendesak Kejaksaan Agung agar menelusuri, siapa penggede yang turut bermain dalam tender dan pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak tersebut.
“Pimpinan proyek memang pengambil keputusan, siapa pemenang tender. Tapi, apakah ada kaitannya dengan meÂreka yang di atas lagi, itu juga mesti dicari. Arahan dari atas tidak terÂtulis, bisikan saja,†katanya.
Dia berkeyakinan, dalam peÂngaÂdaan, tidak ada pejabat pemÂbuat komitmen (PPK) atau keÂtua panitia lelang yang berÂmain sendiri. Makanya, HarÂry menÂdesak dilakukannnya peÂnguÂsutan hingga ke tingkatan atas.
“Yang paling mungkin diÂlaÂkukan pertama kali adalah menyelidiki orang-orang yang sudah tersangka, diperiksa siapa saja yang terlibat. Walaupun meÂÂÂreka tak mau kasih tahu, seÂbab sudah disumpal dan mau diÂkorbankan agar tidak tersenÂtuh ke atas, banyak cara untuk meÂnelusuri. Itu tetap harus dilaÂkukan,†tandasnya.
Politisi Golkar itu menyaranÂkan agar dalam setiap pengaÂdaan dilaÂkukan pembenahan sistem peÂngadaannya. “Perlu adanya transparansi sistem tender itu,†ujar Harry. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: