Belum setahun Pengadilan TiÂpikor daerah dibentuk, sudah puÂluhan terdakwa kasus korupsi divonis bebas. LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, paling tidak 26 terdakwa yang diÂvonis bebas. Yakni, 1 orang di PeÂngadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya dan 3 orang di PengaÂdiÂlan Tipikor Bandung.
Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa, dari data di tiga Pengadilan Tipikor daeÂrah, yakni Surabaya, SemaÂrang, dan Bandung, ada ratusan perkara korupsi yang sedang diÂtangani. Di Surabaya, katanya, jumÂlah perkara yang masuk menÂcapai 142 kasus korupsi. Dari jumlah itu, 72 kasus diputuskan, dan hanya 12 kasus yang terdakÂwanya dibebaskan.
Di Semarang, ada 85 kasus koÂrupsi, dan 51 kasus diputuskan deÂngan satu terdakwa bebas. SeÂdangkan di Bandung, dari 93 kasus yang ditangani, 46 kasus diputuskan dan empat terdakwa divonis bebas. Dengan alasan itu, Tumpa menyatakan bahwa PeÂÂngadilan Tipikor di daerah patut dipertahankan.
Selain itu, Tumpa mengiÂngatÂkan, keberadaan pengadilan TipiÂkor di daerah merupakan perintah Undang-Undang PengaÂdilan (UU) Tipikor.
“Pengadilan Tipikor daeÂrah tiÂdak akan dibubarkan selama UnÂdang-Undangnya tidak diÂubah,†katanya di Gedung MA, Jakarta.
Apalagi, lanjutnya, UU PengaÂdilan Tipikor meÂmerintahkan, selama dua tahun sejak Oktober 2009, MA harus membentuk peÂngadilan Tipikor di 33 ibu kota provinsi.
Pengadilan Tipikor Surabaya merupakan pengadilan yang terÂbanyak memberikan vonis beÂbas kepada terdakwa. Pada tahun 2011, pengadilan yang diresÂmiÂkan MA pada 17 Desember 2010 ini, memberikan vonis bebas terhadap sembilan terdakwa.
Sembilan terdakwa itu didakÂwa terlibat kasus korupsi peÂngaÂdaan lift Pemerintah Kota SuraÂbaya dan Rumah Sakit Bakti DharÂma Husada (BDH) Surabaya sebesar Rp miliar 6,3 miliar. VoÂnis itu dijatuhkan majelis hakim sepanjang Agustus 2011.
Para terdakwa yang divonis beÂbas itu adalah Aris Abdullah (Plt Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Pemkot Surabaya), Hariyanto (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan), Nur Wahyudi (Ketua Tim Pemeriksa Barang), Taufik Siswanto (anggota tim pemeriksa barang), Ananto SukÂmono (Direktur PT Sentrum KonÂsultan), Aulia Fitriati (DirekÂtur CV Aulia Konsolindo), Gatot Suryanto (team leader), Rudy Kuntjoro (Direktur Ilin) dan Indra Lientungan (Direktur PT AneÂkabangun Eka Pratama).
Kemudian, vonis bebas di PeÂngaÂdilan Tipikor Samarinda. PeÂngadilan yang diresmikan MA pada 28 April 2011 ini, antara lain memberikan vonis bebas kepada empat anggota DPRD Kutai KarÂtanegara yang menjadi terdakwa kasus dana operasional APBD Kutai Kartanegara 2004-2009 seÂbesar Rp 2,98 miliar.
Empat terÂdakwa itu adalah SurÂyadi, SuÂwaji, Sudarto dan RusÂliandi. VoÂnis itu diberikan majelis hakim yang diketuai Casmaya pada SeÂnin, 31 Oktober lalu.
Vonis bebas dalam kasus itu bertambah, lantaran terdakwa kasus ini 15 orang. Sebanyak 10 anggota DPRD Kutai KarÂtaÂneÂgara menyusul divonis bebas. Satu terdakwa lagi, Marwan beÂlum divonis karena sedang pergi haji. Dia baru akan divonis Pada 21 November.
Selanjutnya, Pengadilan TipiÂkor Bandung yang memberikan vonis bebas kepada tiga terdakÂwa, yakni Bupati Subang nonÂaktif Eep Hidayat (divonis pada 22 Agustus 2011), Wakil WaÂlikota Bogor Ahmad Ru’yat (divonis pada 8 September 2011) dan Walikota Bekasi Mochtar Mochammad (divonis pada 11 Oktober 2011).
Sedagkan Pengadilan Tipikor Semarang memvonis bebas satu terdakwa, yakni terdakwa dugaan korupsi proyek Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) On-line Cilacap senilai Rp 16,7 miliar. Vonis itu diÂbeÂriÂkan majelis hakim kepada DiÂrektur Utama PT Karunia Prima SeÂdjati, Oei Sindhu Stefanus pada Senin, 10 Oktober 2011, seÂkÂiÂtar pukul 21.00 WIB.
Tarik Saja Ke Jakarta
Suparman Marzuki, Komisioner KY
Dari Komisi Yudisial (KY), disuarakan agar dilakukan pemÂbekuan sementara terhaÂdap peÂnÂgadilan Tipikor di daerah-daeÂrah. Hal itu dirasa penting untuk memberikan wakÂtu bagi semua pihak melaÂkukan kajian yang leÂbih konÂpreÂhensif terhadap keÂhaÂdiran pengadilan tipikor di daerah.
Nah, untuk sementara, kasus-kasus korupsi bisa disidangkan di Jakarta. “Kami mengiÂnginÂkan dibekukan dulu. Disfungsi dulu. Kalau ada kasus, tarik ke Jakarta. Tapi tidak semuanya, haÂnya untuk kasus korupsi keÂpala daerah,†ujar Komisioner KY SuÂparman Marzuki di kantornya, Jakarta.
Menurut dia, penanganan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta akan memiÂniÂmalisir vonis bebas dalam kaÂsus korupsi. “Lebih baik kasus-kasus yang menarik perhatian publik diadili di Jakarta, “ kata Suparman.
Tapi, menurut Ketua MahÂkaÂmah Agung (MA) Harifin TumÂpa, kehadiran pengadilan TipiÂkor di daerah sangat penting baÂgi proses pemberantasan koÂrupsi. Kalau dipaksakan ditaÂngani di Jakarta, biaya operaÂsionalnya akan sangat tinggi.
“Jika dari daerah terpencil harus datang ke ibukota, itu membutuhkan biaya besar. Terus, berapa banyak perkara yang harus dibawa ke Jakarta,†katanya di Gedung MA, Jakarta.
Maraknya vonis bebas itu, juga tidak membuat Tumpa seÂtuju ide pembubaran pengaÂdiÂlan Tipikor daerah. PembubarÂan itu, menurutnya, akan memÂbuat baÂnyak kasus korupsi terÂbengÂkalai. Koruptor yang haÂrusnya disidangkan jadi terÂtunda dan bisa bebas.
Menurut pengamat hukum dari Universitas Muhammadiah Syaiful Bakhri, jika keputusan peÂngadilan dinilai sarat pelangÂgaÂran dan ada dugaan korupsi maupun kolusi, bisa diperiksa ulang putusan tersebut untuk meÂngecek kesahalan apa yang sebetulnya terjadi. Apakah keÂsalahan dari proses awal atau dalam penentapan vonis.
“Kalau memang diketahui ada hakim yang tidak proÂfeÂsional, kan ada sanksi. Baik sanksi dinon-palukan, pemÂberÂhentian, bahkan dipidanakan. Nah, itu semua yang perlu diÂbeÂnahi. Bukan malah memÂbubarkan pengadilan Tipikor,†kata Syaiful.
Penyidik & Penuntut Mesti Diawasi Juga
Azis Syamsudin, Wakil Ketua Komisi III DPR
Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsudin menolak upaya pembubaran pengadilan Tipikor daerah. Selain karena perintah Undang Undang (UU) PengadiÂlan Tipikor, kata Azis, sejumlah vonis bebas jangan dijadikan alasan untuk membubarkan peÂngadilan tipikor daerah.
Semua proses persidangan, tidak terpisah begitu saja hanya pada vonis. Tetapi ada rentetan proses dari mulai penyelidikan, peÂnyiÂdikan dan penuntutan.
“Tak boleh dibubarkan, kaÂrena pembentukan pengadilan tipikor berdasarkan Undang-UnÂdang. Vonis bebas harus diÂgaÂrisbawahi terhadap proses penyidikan dan penuntutan, apaÂkah sudah cukup alasan dan cukup bukti untuk membawa perkara itu ke pengadilan. Serta bagaimana dalam proses peÂnunÂtutan, JPU dapat menghadirkan saksi-saksi yang dapat mendÂuÂkung pembuktian dalam terÂjaÂdiÂnya suatu dugaan tindak piÂdana,†urainya.
Menurut Azis, publik juga harus jeli dan memahami betul bagaimana proses sebuah perÂkara itu dilakukan. Beberapa kesalahan bisa saja terjadi sejak proses awal penyelidikan kasus itu dilakukan. “Justru yang haÂrus dilakukan, bagaimana para penyidik dan penuntut jangan memaksakan suatu kasus yang secara hukum tidak cukup layak pembuktiannya untuk dibawa ke pengadilan,†ujarnya.
Politisi Golkar ini menilai, vonis bebas dalam suatu perÂkara sah-sah saja, jika memang perkara itu tidak cukup bukti atau karena jaksa penuntut tidak bisa membuktikan bahwa perÂkara itu harus diadili.
Lantas, hal itu tidak mesti membuat publik memaki-maki hakim yang memutus bebas terÂdakwa. “Makanya, harus diurut dulu dari mulai proses peÂnyeÂlidikan. Pola pengawasan harus diawali dari proses penyeÂliÂdikan ke penyidikan dan ke peÂnuntutan,†katanya.
Diakui Azis, sampai saat ini pola pengawasan terhadap jakÂsa atau penuntut dan penyidik sangat rendah. Bukan tidak mungkin kesalahan sudah diÂmuÂlai dari mereka. “PeÂngaÂwaÂsan belum efektif, bahkan baÂnyak perkara diteruskan karena ada agenda tertentu, bukan kaÂrena fakta hukum.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: