26 Terdakwa Bebas, Tumpa Ogah Bubarin Tipikor Daerah

Rekor Dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya

Sabtu, 12 November 2011, 08:59 WIB
26 Terdakwa Bebas, Tumpa Ogah Bubarin Tipikor Daerah
Pengadilan Ti­pikor
RMOL. Maraknya vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi di sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) daerah menimbulkan reaksi keras berbagai pihak. Suara yang meminta agar pengadilan Tipikor daerah dibubarkan tak terhindarkan.

Belum setahun Pengadilan Ti­pikor daerah dibentuk, sudah pu­luhan terdakwa kasus korupsi divonis bebas. LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, paling tidak 26 terdakwa yang di­vonis bebas. Yakni, 1 orang di Pe­ngadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya dan 3 orang di Penga­di­lan Tipikor Bandung.

Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa, dari data di tiga Pengadilan Tipikor dae­rah, yakni Surabaya, Sema­rang, dan Bandung, ada ratusan perkara korupsi yang sedang di­tangani. Di Surabaya, katanya, jum­lah perkara yang masuk men­capai 142 kasus korupsi. Dari jumlah itu, 72 kasus diputuskan, dan hanya 12 kasus yang terdak­wanya dibebaskan.

Di Semarang, ada 85 kasus ko­rupsi, dan 51 kasus diputuskan de­ngan satu terdakwa bebas. Se­dangkan di Bandung, dari 93 kasus yang ditangani, 46 kasus diputuskan dan empat terdakwa divonis bebas. Dengan alasan itu, Tumpa menyatakan bahwa Pe­­ngadilan Tipikor di daerah patut dipertahankan.

Selain itu, Tumpa mengi­ngat­kan, keberadaan pengadilan Tipi­kor di daerah merupakan perintah Undang-Undang Penga­dilan (UU) Tipikor.

“Pengadilan Tipikor dae­rah ti­dak akan dibubarkan selama Un­dang-Undangnya tidak di­ubah,” katanya di Gedung MA, Jakarta.

Apalagi, lanjutnya, UU Penga­dilan Tipikor me­merintahkan, selama dua tahun sejak Oktober 2009, MA harus membentuk pe­ngadilan Tipikor di 33 ibu kota provinsi.

Pengadilan Tipikor Surabaya merupakan pengadilan yang ter­banyak memberikan vonis be­bas kepada terdakwa. Pada tahun 2011, pengadilan yang dires­mi­kan MA pada 17 Desember 2010 ini, memberikan vonis bebas terhadap sembilan terdakwa.

Sembilan terdakwa itu didak­wa terlibat kasus korupsi pe­nga­daan lift Pemerintah Kota Sura­baya dan Rumah Sakit Bakti Dhar­ma Husada (BDH) Surabaya sebesar Rp miliar 6,3 miliar. Vo­nis itu dijatuhkan majelis hakim sepanjang Agustus 2011.

Para terdakwa yang divonis be­bas itu adalah Aris Abdullah (Plt Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Pemkot Surabaya), Hariyanto (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan), Nur Wahyudi (Ketua Tim Pemeriksa Barang), Taufik Siswanto (anggota tim pemeriksa barang), Ananto Suk­mono (Direktur PT Sentrum Kon­sultan), Aulia Fitriati (Direk­tur CV Aulia Konsolindo), Gatot Suryanto (team leader), Rudy Kuntjoro (Direktur Ilin) dan Indra Lientungan (Direktur PT Ane­kabangun Eka Pratama).    

Kemudian, vonis bebas di Pe­nga­dilan Tipikor Samarinda. Pe­ngadilan yang diresmikan MA pada 28 April 2011 ini, antara lain memberikan vonis bebas kepada empat anggota DPRD Kutai Kar­tanegara yang menjadi terdakwa kasus dana operasional APBD Kutai Kartanegara 2004-2009 se­besar Rp 2,98 miliar.

Empat ter­dakwa itu adalah Sur­yadi, Su­waji, Sudarto dan Rus­liandi. Vo­nis itu diberikan majelis hakim yang diketuai Casmaya pada Se­nin, 31 Oktober lalu.

Vonis bebas dalam kasus itu bertambah, lantaran terdakwa kasus ini 15 orang. Sebanyak 10 anggota DPRD Kutai Kar­ta­ne­gara menyusul divonis bebas. Satu terdakwa lagi, Marwan be­lum divonis karena sedang pergi haji. Dia baru akan divonis Pada 21 November.

 Selanjutnya, Pengadilan Tipi­kor Bandung yang memberikan vonis bebas kepada tiga terdak­wa, yakni Bupati Subang non­aktif Eep Hidayat (divonis pada 22 Agustus 2011), Wakil Wa­likota Bogor Ahmad Ru’yat (divonis pada 8 September 2011) dan Walikota Bekasi Mochtar Mochammad (divonis pada 11 Oktober 2011).

Sedagkan Pengadilan Tipikor Semarang memvonis bebas satu terdakwa, yakni terdakwa dugaan korupsi proyek Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) On-line Cilacap senilai Rp 16,7 miliar. Vonis itu di­be­ri­kan majelis hakim kepada Di­rektur Utama PT Karunia Prima Se­djati, Oei Sindhu Stefanus pada Senin, 10 Oktober 2011, se­k­i­tar pukul 21.00 WIB.

Tarik Saja Ke Jakarta

Suparman Marzuki, Komisioner KY

Dari Komisi Yudisial (KY), disuarakan agar dilakukan pem­bekuan sementara terha­dap pe­n­gadilan Tipikor di daerah-dae­rah. Hal itu dirasa penting untuk memberikan wak­tu bagi semua pihak mela­kukan kajian yang le­bih kon­pre­hensif terhadap ke­ha­diran pengadilan tipikor di daerah.

Nah, untuk sementara, kasus-kasus korupsi bisa disidangkan di Jakarta. “Kami mengi­ngin­kan dibekukan dulu. Disfungsi dulu. Kalau ada kasus, tarik ke Jakarta. Tapi tidak semuanya, ha­nya untuk kasus korupsi ke­pala daerah,” ujar Komisioner KY Su­parman Marzuki di kantornya, Jakarta.

Menurut dia, penanganan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta akan memi­ni­malisir vonis bebas dalam ka­sus korupsi. “Lebih baik kasus-kasus yang menarik perhatian publik diadili di Jakarta, “ kata Suparman.

Tapi, menurut Ketua Mah­ka­mah Agung (MA) Harifin Tum­pa, kehadiran pengadilan Tipi­kor di daerah sangat penting ba­gi proses pemberantasan ko­rupsi. Kalau dipaksakan dita­ngani di Jakarta, biaya opera­sionalnya akan sangat tinggi.

“Jika dari daerah terpencil harus datang ke ibukota, itu membutuhkan biaya besar.  Terus, berapa banyak perkara yang harus dibawa ke Jakarta,” katanya di Gedung MA, Jakarta.

Maraknya vonis bebas itu, juga tidak membuat Tumpa se­tuju ide pembubaran penga­di­lan Tipikor daerah. Pembubar­an itu, menurutnya, akan mem­buat ba­nyak kasus korupsi ter­beng­kalai. Koruptor yang ha­rusnya disidangkan jadi ter­tunda dan bisa bebas.

Menurut pengamat hukum dari Universitas Muhammadiah Syaiful Bakhri, jika keputusan pe­ngadilan dinilai sarat pelang­ga­ran dan ada dugaan korupsi maupun kolusi, bisa diperiksa ulang putusan tersebut untuk me­ngecek kesahalan apa yang sebetulnya terjadi. Apakah ke­salahan dari proses awal atau dalam penentapan vonis.

“Kalau memang diketahui ada hakim yang tidak pro­fe­sional, kan ada sanksi. Baik sanksi dinon-palukan, pem­ber­hentian, bahkan dipidanakan. Nah, itu semua yang perlu di­be­nahi. Bukan malah mem­bubarkan pengadilan Tipikor,” kata Syaiful.

Penyidik & Penuntut Mesti Diawasi Juga

Azis Syamsudin, Wakil Ketua Komisi III DPR

Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsudin menolak upaya pembubaran pengadilan Tipikor daerah.  Selain karena perintah Undang Undang (UU) Pengadi­lan Tipikor, kata Azis, sejumlah vonis bebas jangan dijadikan alasan untuk membubarkan pe­ngadilan tipikor daerah.

   Semua proses persidangan, tidak terpisah begitu saja hanya pada vonis. Tetapi ada rentetan proses dari mulai penyelidikan, pe­nyi­dikan dan penuntutan.

“Tak boleh dibubarkan, ka­rena pembentukan pengadilan tipikor berdasarkan Undang-Un­dang. Vonis bebas harus di­ga­risbawahi terhadap proses penyidikan dan penuntutan, apa­kah sudah cukup alasan dan cukup bukti untuk membawa perkara itu ke pengadilan. Serta bagaimana dalam proses pe­nun­tutan, JPU dapat menghadirkan saksi-saksi yang dapat mend­u­kung pembuktian dalam ter­ja­di­nya suatu dugaan tindak pi­dana,” urainya.

Menurut Azis, publik juga harus jeli dan memahami betul bagaimana proses sebuah per­kara itu dilakukan. Beberapa kesalahan bisa saja terjadi sejak proses awal penyelidikan kasus itu dilakukan. “Justru yang ha­rus dilakukan, bagaimana para penyidik dan penuntut jangan memaksakan suatu kasus yang secara hukum tidak cukup layak pembuktiannya untuk dibawa ke pengadilan,” ujarnya.

Politisi Golkar ini menilai, vonis bebas dalam suatu per­kara sah-sah saja, jika memang perkara itu tidak cukup bukti atau karena jaksa penuntut tidak bisa membuktikan bahwa per­kara itu harus diadili.

Lantas, hal itu tidak mesti membuat publik memaki-maki hakim yang memutus bebas ter­dakwa. “Makanya, harus diurut dulu dari mulai proses pe­nye­lidikan. Pola pengawasan harus diawali dari proses penye­li­dikan ke penyidikan dan ke pe­nuntutan,” katanya.

Diakui Azis, sampai saat ini pola pengawasan terhadap jak­sa atau penuntut dan penyidik sangat rendah. Bukan tidak mungkin kesalahan sudah di­mu­lai dari mereka. “Pe­nga­wa­san belum efektif, bahkan ba­nyak perkara diteruskan karena ada agenda tertentu, bukan ka­rena fakta hukum.”   [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA