Bentuk intervensi politisi SeÂnaÂyan itu, berupa titipan agar pihak Kementerian ESDM meÂmeÂnangÂkan perusahaan yang disoÂdorÂkannya dalam proyek terÂsebut. NaÂmun, jaksa tidak mengÂungkap siapa anggota DPR yang melaÂkukan intervensi tersebut.
Tak diungkapnya siapa angÂgoÂta DPR itu, tampak dalam siÂdang perdana bagi terdakwa Ridwan SanÂjaya di Pengadilan Tindak PiÂdana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Ridwan adalah Pejabat Pembuat KoÂmitmen dalam proyek peÂngaÂdaan dan pemasangan solar home system (SHS) pembangkit listrik teÂnaga surya (PLTS) di KeÂmenÂterian ESDM.
Kepala Biro Humas KPK JoÂhan Budi Sapto Prabowo meÂngÂakui, JPU KPK tidak menyebutÂkan, siapa angÂgota DPR yang mengÂinterÂvensi proyek tersebut. Namun, kaÂtanya, JPU memiliki straÂtegi terÂsendiri sehingga belum meÂnyeÂbutkan identitas anggota DPR tersebut sekarang.
“Nanti seÂmua akan melalui proses pemÂbukÂtian,†katanya keÂpada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dakwaan yang disusun JPU itu, lanjut Johan, telah melalui proses yang matang di KPK. Dari penyelidikan, penyidikan hingga naik ke penuntutan telah seÂpeÂngetahuan pimpinan KPK.
Dalam dakwaan itu, jaksa KMS Roni memaparkan, terÂdakwa Ridwan menginstruksiÂkan panitia pengadaan untuk memilih perusahaan titipan anggota DeÂwan sebagai rekanan.
“Terdakwa menyampaikan arahan kepada panitia pengadaan dengan meÂngatakan,’ini tolong dibantu unÂtuk dimenangkan kaÂrena meÂruÂpakan titipan dari DPR dengan tujuan untuk membantu mengÂgolÂkan RUU KetenagaÂlisÂtrikan, juga titipan dari KejakÂsaÂan dan Kepolisian. Untuk mengÂakoÂmodir keinginan anggota DPR, maka saya minta panitia pengadaÂan agar mengangkat nilai perÂusaÂhaan’,†kata Roni membacakan surat dakwaan.
Arahan tersebut, lanjut Roni, diÂsampaikan Ridwan dalam rapat panitia pengadaan pada Mei 2009. Saat itu, Ridwan mengÂajukan PT Ridho Teknik untuk mengerjakan proyek SHS di Aceh. Ia juga menyodorkan PT Paesa Pasindo untuk proyek di SuÂmatera Selatan dan Bengkulu serta PT Berdikari Utama Jaya untuk wilayah Sumatera Barat.
Sebelum rapat dengan panitia pengadaan, Ridwan juga telah meÂnemui Ketua Panitia PengaÂdaan, Budianto Hari Purnomo. Ia meÂnyerahkan daftar 28 perÂusaÂhaan yang ingin dimenangkan seÂbagai rekanan kepada Budianto.
Dalam kasus ini, selain RidÂwan, KPK juga telah menyeret bekas Dirjen Listrik Dan PeÂmanfaatan Energi (LPE) KemenÂterian ESDM Jacobus Purwono sebagai terÂdakwa. Ridwan dan Jacobus seÂcara bersama-sama meÂngaÂrahkan panitia pengadaan barang guna memenangkan suatu reÂkanÂan tertentu. Modusnya, dengan mengubah hasil evaluasi teknik daÂlam pelaksanaan pengaÂdaan terÂsebut.
“Setelah dievaluasi, beÂberapa perusahaan tidak lulus adÂmi–nistrasi, tapi terdakwa tetap minta agar dibantu dan diperbaiki agar tidak berantakan. Terdakwa meÂmerintahkan panitia mengÂganti dokumen jaminan penaÂwarÂan yang seharusnya tidak lulus adÂministrasi,†kata jaksa.
Dari hasil perbuatannya, RidÂwan mendapat imbalan sebesar Rp 14,66 miliar dan juga memÂperÂkaya Jacob Purwono sebesar Rp 1 miliar.
“Terdakwa juga memÂÂÂperkaya koorporasi, yaitu PT Ridho Teknik untuk pekerjaan di NAD Rp 3,86 miliar, PT Somit Karsa Trienergi untuk pekerÂjaan di Sumut Rp 4,2 miliar dan pihak lainnya (26 perÂusaÂhaan), sehingÂga merugikan keÂuangan negara Rp 131,280 miliar,†lanjut Roni.
Jacob tidak hanya menjadi terÂsangka di kasus korupsi PLTS taÂhun anggaran 2009 itu. Dalam proÂyek pengadaan peralatan PLTS yang sama, tahun 2007-2008, Jacob pun menjadi terÂsangÂka bersama pejabat pemÂbuat koÂmitmen kala itu, Kosasih. KeÂduaÂnya diduga melakukan koÂrupsi senilai Rp 119 miliar dari niÂlai proyek menÂcapai Rp 1 triliun.
Atas dakwaan itu, pihak RidÂwan Sanjaya mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas peÂrintah atasannya, yakni Dirjen LPE Kementerian ESDM JacoÂbus Purwono.
“Dia melakukan itu buÂkan atas keinginannya sendiri, tapi atas perintah Jacob,†ujar kuasa huÂkum Ridwan, Sofyan Kasim.
Ditanya apakah benar ada tiÂtipan anggota DPR dan piÂhak lain dalam pengadaan itu? RidÂwan hanya berujar singkat,“SeÂmua ikut bertanggung jaÂwabâ€.
Dirjen Listrik Terseret Dua Kasus
Reka Ulang
KPK mengendus dugaan korupsi dalam pengadaan solar home system (sistem listrik tenaga maÂtahari untuk rumah tangga) di DiÂrektorat Jenderal Listrik dan PeÂmanfaatan Energi (LPE) KeÂmenÂterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) taÂhun anggaran 2007-2008.
Setelah melalui penyelidikan dan penyidikan, pada Juni 2010, KPK menetapkan Dirjen LPE KeÂmenÂterian ESDM Jacobus PurÂwono seÂbagai tersangka. SeÂlain Jacob, Pejabat Pembuat KoÂmitmen berÂnama Kosasih juga ditetapkan seÂbagai tersangka. Pengadaan berÂmasalah itu diduga telah meÂnimÂbulkan kerugian negara sekitar Rp 119 miliar.
Penyelidikan KPK berlanjut, ternyata Jacob tidak hanya berÂmasalah pada proyek solar home system (SHS) tahun anggaran 2007-2008. KPK mengendus duÂgaan korupsi dalam pengadaan SHS pada tahun anggaran 2009. JaÂcob pun diduga terlibat di daÂlamÂnya.
Pada kasus kedua ini, Pejabat Pembuat Komitmen Ridwan SanÂjaya diduga terlibat. Jacob pun menjadi tersangka bersama RidÂwan untuk anggaran 2009. KPK juga pernah menggeledah beÂbeÂrapa ruangan kantor Ditjen LPE.
Dalam kasus ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 131 miliar. Ridwan dan Jacobus lanÂtas disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, Pasal 5 dan PaÂsal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada 26 Oktober 2011, berkas Ridwan yang sudah dinyatakan lengkap atau P21 masuk penunÂtutÂan. Dia pun menghadapi perÂsiÂdangan pertamanya di PengaÂdilan Tipikor, Jakarta. Dalam persidangan itulah terungkap adaÂnya tangan-tangan politisi SeÂnayan yang turut berperan dalam pengadaan tersebut.
Menurut jaksa KPK, perbuatan Ridwan juga bertentangan deÂngan Keppres Nomor 80 Tahun 2003.
“Perbuatan terdakwa berÂsama Jacob Purwono yang meÂngarahkan panitia pengadaan baÂrang untuk memenangkan reÂkanÂan tertentu dengan cara mengÂubah hasil evaluasi teknik dalam pelaksanaan pengadaan dan peÂmasangan solar home system, bertentangan dengan Kepres tenÂtang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah,†papar jaksa Roni.
Ridwan didakwa dengan pasal berÂlapis, yaitu dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18, dan dakÂwaan subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang PemÂbeÂrantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Dakwaan Jaksa Tak Boleh Kabur
Yulianto, Wakil Ketua KRHN
Wakil Ketua Komisi ReforÂmaÂsi Hukum Nasional (KRHN) YuÂlianto mengingatkan jaksa peÂnuntut umum (JPU) KPK agar tidak main-main dalam meÂnyusun dakwaan. Sebab, jakÂsa adalah salah satu ujung tombak pegakan hukum.
Dalam menyusun dakwaan, bila jaksa menyebut keterÂliÂbatan sejumlah pihak, seperti DPR, maka mereka harus meÂmiliki bukti yang kuat. “DakÂwaÂan tidak boleh kabur, atau haÂnya dibuat berdasarkan asumÂsi. Bila memang jaksa meÂnemukan adanya keterlibatan angÂgota DPR dalam sebuah perÂkara, maka jaksa harus meÂmaÂparkan buktinya dan orang-orangnya,†kata Yulianto, keÂmarin.
Akan menjadi sebuah kecuriÂgaÂan bagi publik, apabila jaksa meÂnyusun dakwaan secara “abu-abuâ€. “KPK harus memÂbongÂkar siapa saja anggota DPR yang disebut melakukan inÂtervensi dalam pengadaan solar home system pembangkit lisÂtrik tenaga surya itu. Jika tidak, maka dakwaan seperti itu sangat rentan disalahgunakan,†ujar Yulianto.
Peneliti di Koalisi MasyaÂraÂkat Pengawasan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (KOMÂWAS PBB) ini mengatakan, daÂlam menyusun dakwaan, jakÂsa bisa saja memiliki agenda atau interest tertentu yang pada akÂhirnya bisa mengaburkan peÂnuntasan perkara.
“Apakah ada unsur keseÂngaÂjaan, untuk melindungi pihak terÂtentu. Atau ada deal-deal deÂngan pihak terkait? Itu tidak boÂleh. Bisa juga karena unsur keÂtidaksengajaan jaksa, miÂsalÂnya karena kurang profesional dan jam terbang yang tidak meÂmaÂdai, sehingga tidak cermat meÂnyusun dakwaan,†terangnya.
Bagaimana pun, lanjut YuÂlianÂto, jaksa yang melakukan keÂsalahan, disengaja maupun tidak, harus mendapat peÂngaÂwasan ketat dari atasannya. “PimÂpinannya harus mengaÂwaÂsi dan memberikan sanksi,†tegasnya.
Kenapa Mau Diintervensi
Ahmad Farial, Wakil Ketua Komisi VII DPR
Wakil Ketua Komisi VII DPR Ahmad Farial mengaku, selama ini mekanisme yang berÂjalan di komisinya tidak meÂngenal titip menitip proyek. PemÂbahasan anggaran dan proÂgram pemerintah, dilakuÂkan secara terbuka.
“Semua program, anggaran dan pengadaan itu selanjutnya menjadi urusan pemerintah. Tidak ada upaya titip-menitip,†ujar Ahmad Farial ketika diÂhubungi, kemarin.
Sebagai rekan kerja KeÂmenÂterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lanjut Farial, KoÂmisi VII malah melakukan pengawasan atas setiap kinerja peÂmerintah. Karena itu, bila meÂmang ada bukti-bukti yang diteÂmukan KPK mengenai keÂterlibatan oknum DPR dalam peÂngadaan itu, maka proses hukum harus ditegakkan.
“Silakan KPK membuktikan. Kalau memang ada, maka proÂses saja,†kata Farial.
Dia pun mengingatkan jaksa KPK agar tidak menyeret-nyeÂret anggota DPR jika tak meÂmiÂliki bukti yang kuat. Apabila daÂlam dakwaan disebutkan keÂterlibatan anggota DPR, teÂgasÂnya, maka jaksa harus bisa meÂnunjukkan bukti secara gamÂblang, tidak hanya mengumbar tuduhan. “Jangan menuduh tanÂpa bukti akurat,†ujarnya.
Farial menyebutkan, jika daÂlam pengadaan seperti itu diÂteÂmukan adanya intervensi angÂgota DPR, maka alangkah anehÂÂnya apabila pejabat peÂmeÂrintah menuruti begitu saja.
“Kan mereka yang mengerÂjaÂkan, apa urusannya menginÂterÂvensi kerja mereka. Mengapa mau diintervensi, aneh pejabat seÂÂperti itu. Silakan diproses huÂkum saja semuanya,†katanya.
Kepala Biro Humas KPK JoÂhan Budi Sapto Prabowo meÂngakui, JPU KPK tidak meÂnyeÂbutkan, siapa anggota DPR yang mengÂintervensi proyek terÂsebut. NaÂmun, kata Johan, itu strategi JPU. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: