WAWANCARA

Mahfud MD: Koruptor Pantas Diperketat Pemberian Bebas Bersyarat

Senin, 07 November 2011, 08:30 WIB
Mahfud MD: Koruptor Pantas Diperketat Pemberian Bebas Bersyarat
Mahfud MD
RMOL.Langkah pemerintah memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor, teroris, dan pelaku narkoba, didukung Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.

“Mengenai pengetatan pem­berian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan te­roris secara prinsip itu bagus. Memang pantas itu dilakukan. Saya sangat setuju kebijakan pe­merintah tersebut,” papar Mah­fud MD, kepada Rakyat Mer­deka, Jumat (4/11).

Menurut Mahfud, apa yang dilakukan koruptor merusak masa depan bangsa. Tega memis­kinkan jutaan rakyat. Makanya, perlu diberi hukuman berat. Ini demi memperbaiki bangsa ke depan.

“Soal hukumnya memang bisa diperdebatkan. Tapi tak ada isi undang-undang secara terang-terangan dilanggar kebijakan ter­sebut,” ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Bukankah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat ada­lah hak narapidana?

Kalau dikatakan kebijakan itu melanggar undang-undang, rasa­nya tidak juga. Undang-undang memang mengatakan remisi dan pembebasan bersyarat merupa­kan hak narapidana. Tapi menurut undang-Undang juga ketentuan dan syarat-syaratnya diatur de­ngan peraturan pemerin­tah (PP). Di dalam PP itu dikata­kan salah satu syarat pemberian remisi atau pembebasan bersyarat harus mem­­­perhatikan rasa keadilan masyarakat.

Bisa disebutkan lebih kon­krit aturannya?

Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menyatakan bahwa remisi, pem­bebasan bersyarat dan asimilasi diatur dengan PP Nomor 28 Ta­hun 2006 yang pasal 43 ayat (5) menyatakan, syarat untuk pelak­sanaan hak tersebut mem­perhati­kan rasa keadilan masya­rakat. Nah, untuk mengakomo­dasi rasa keadilan itu pemerintah bisa mem­buat kebijakan transisi untuk memperketat pemberian hak itu.

Mengapa harus transisi?

Kalau mau permanen harus de­ngan perubahan undang-undang. Memperketat itu bukan berarti meniadakan. Tapi me­nyeleksi secara sungguh-sungguh demi rasa keadilan masyarakat.

Bagaimana mengukur rasa keadilan itu?

Memang rasa keadilan itu yang bisa diperdebatkan secara hu­kum. Sebab, ukurannya terlalu abstrak. Tapi dari sana bisa masuk kebijakan pemerintah untuk me­lakukan pengetatan dan mora­torium pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Untuk jangka panjang, remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan teroris itu perlu di­hapus. Namun sebagai langkah transisi, kebijakan moratorium yang dilakukan pemerintah tidak melanggar hukum. Alasannya, ketentuan PP tentang rasa kea­dilan itu. Tapi kebijakan transisi itu tidak boleh terlalu lama.

Ini berarti perlu diubah un­dang-undangnya?

Ya. Kalau mau meniadakan hak remisi dan pembebasan ber­syarat bagi napi harus melalui perubahan undang-undang. Se­bab hak itu diatur di dalam undang-undang, sehingga penia­daan­nya juga harus dengan perubahan undang-undang.

Ada yang menuding ini se­rangan balik koruptor?

Saya tidak tahu apakah itu serangan balik para koruptor atau bukan. Namun saya heran, ke­napa ada yang marah kepada pe­jabat anti korupsi. Padahal, ko­rupsi itu membahayakan kita sebagai bangsa.

Kebijakan itu dinilai diskri­minatif, sebab Agus Condro di­berikan bebas bersyarat, ko­men­­tar Anda?

Saya kira ini sudah tepat. Tidak ada diskriminasi. Agus Condro yang telah menolong membong­kar korupsi sebagai wistle blo­wer, hak pembebasan bersyarat­nya diberikan. Ini maksudnya memenuhi rasa keadilan ma­syarakat.

Meski begitu, saya mengusul­kan kebijakan pengetatan seperti ini hanya kebijakan transisi. Se­baiknya penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat bagi ko­ruptor dan teroris itu diperma­nenkan saja.

Anda yakin kebijakan ini bisa efektif?

Saya yakin efektif untuk mem­buat orang lebih takut melakukan korupsi. Kalau gampang diberi­kan remisi dan bebas bersyarat, nanti tidak takut melakukan ko­rupsi. [Harian Rakyat Merdeka]



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA