KY Selidiki, Benarkah Oknum Hakim MA Disuap DL Sitorus

Menggandeng Satgas Pemberantasan Mafia Hukum

Kamis, 03 November 2011, 06:08 WIB
KY Selidiki, Benarkah Oknum Hakim MA Disuap DL Sitorus
Darianus Lungguk (DL) Sitorus
RMOL.Komisi Yudisial (KY) menelusuri dugaan suap dari Darianus Lungguk (DL) Sitorus kepada oknum hakim agung.

Dugaan suap ini terkait pe­nguasaan lahan oleh DL Sitorus di Padang Lawas, Tapanuli Se­latan, Sumatera Utara yang di­gugat Menteri Kehutanan MS Kaban.

KY antara lain akan ber­koor­di­nasi dengan Satgas Pem­be­ran­ta­san Mafia Hukum untuk me­nye­lidiki, benarkah sejumlah hakim agung disuap Sitorus, sehingga mereka memenangkan pengu­saha asal Sumatera Utara itu? Ber­modalkan kemenangan di Mahkamah Agung (MA) itu, lahan ke­lapa sawit Sitorus yang menurut Menteri Kehutanan me­rupakan hutan milik negara, dapat tetap beroperasi. 

Menurut Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh, pene­lu­su­ran dugaan suap miliaran rupiah itu untuk memperbaiki lembaga peradilan yang kini berada da­lam kondisi karut marut.

“Ranah KY ialah pengawasan terhadap hakim, termasuk hakim agung. Jika benar, akan kami kla­rifikasi,” kata Imam melalui SMS, kemarin.

Kendati begitu, Imam tidak me­­nyebutkan siapa saja hakim agung yang disinyalir menerima sejumlah uang dari pengacara DL Sitorus berinisial AS. Jika diper­lu­kan, menurutnya, AS akan di­pang­gil KY untuk dimintai ke­te­rangan. Imam mengaku tidak pe­duli jika AS adalah Amir Syam­suddin yang kini menjabat Men­teri Hukum dan HAM.

Yang pasti, Amir adalah penga­cara Sitorus yang menangani per­kara tersebut di MA. “Kami ti­dak peduli AS itu siapa, tak pe­duli ji­ka dia Amir Syamsuddin. Apa­lagi yang kami bidik adalah ha­kim­nya, bukan yang diduga mem­beri suap,” katanya.  

Sebelumnya, Amir Syam­sud­din membuka tawaran kepada siapa pun untuk membentuk tim in­dependen guna menelusuri du­gaan suap yang menyeret nama­nya ini. “Selain menyampaikan data ke KPK, silakan dibentuk saja tim itu,” katanya di Gedung KPK, Jakarta pada 31 Oktober lalu.

Kembali kepada pernyataan Imam, dia berjanji, jika bukti-buk­tinya sudah kuat atau bisa di­pertanggungjawabkan secara hu­kum, KY tidak akan ragu untuk me­manggil hakim yang diduga di­suap tersebut. “Akan kami pang­­gil, asalkan kami sudah me­mi­liki bukti yang cukup,” ujarnya.

Munculnya dugaan suap ini, ber­mula saat seseorang bernama Hendrik RE Assa mengadu ke Satgas Pemberantasan Mafia Hu­kum pada April 2010. Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hu­kum Mas Achmad Santosa pada Selasa (1/11) mengaku, pihaknya akan menelisik lagi laporan ma­syarakat tersebut.

Laporan tersebut berisi catatan aliran uang ke sejumlah pihak untuk memenangkan Sitorus di MA. Sitorus, menurut Menteri Ke­hutanan, menggunakan kawa­san hutan milik negara seluas 80 ribu hektar sebagai perkebunan sawit tanpa izin.

Dalam dokumen itu dise­but­kan, ada aliran uang total Rp 141,3 miliar yang d­i­gu­na­kan untuk pe­ngu­rusan masalah di MA. “Kate­gori pengaduan ini penting, bah­kan sangat penting,” katanya.

Lantaran itu, Satgas Pemb­e­ran­­ta­san Mafia Hukum kemu­dian me­ngirim surat kepada Ko­misi Pemberantasan Korupsi pada 14 Juli 2010. Intinya, Sat­gas memin­ta Komisi yang di­pim­pin Mu­ham­mad Busyro Mu­qoddas itu, untuk menyelidiki du­gaan suap tersebut.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo mem­be­narkan, pihaknya pernah mem­peroleh informasi mengenai du­ga­an suap terhadap hakim agung itu. Namun, menurutnya, KPK be­lum mengambil langkah hu­kum karena lebih fokus me­na­ngani kasus suap DL Sitorus le­wat pengacara Adner Sirait ke­pada hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Ibrahim.

“Kami memang belum ma­suk ke sana karena ber­ba­rengan de­ngan kasus DL Si­torus yang lain,” katanya.

Kasus suap yang telah dita­ngani KPK itu, terkait seng­keta la­han antara Sitorus dengan Pem­prov DKI Ja­karta. Me­nurut ma­jelis ha­kim Pengadilan Tipikor Ja­karta, DL Sitorus, Adner Sirait dan Ibrahim terbukti terlibat kasus suap se­be­sar Rp 300 juta tersebut. Alhasil, pada Senin 25 Oktober 2010, Si­torus divonis lima tahun penjara.

Namun, lanjut Johan, untuk du­­gaan suap terhadap hakim agung, hingga kemarin KPK be­lum me­nemukan data yang aku­rat. “Kami penegak hukum, se­ga­la se­suatu di­dasarkan pada le­gal formal. Tidak bisa lewat asum­si, apalagi diskusi po­lemik,” ujar Johan.

Hakim PTTUN DKI Terbukti Disuap DL Sitorus

Darianus Lungguk (DL) Sitorus, Direktur Utama PT Sabar Ganda sudah terjerat sejumlah perkara. Salah satunya kasus suap kepada hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta Ibrahim.

Pada 30 Maret 2010, tim pe­nye­­lidik KPK menangkap penga­cara Sitorus, Adner Sirait dan ha­kim Ibrahim yang tengah me­la­koni praktik suap sebesar Rp 300 juta itu. Keduanya ditangkap di ka­wa­san Cempaka Putih Barat, Ja­kar­ta Pusat sekitar pukul 10.30 WIB.

“Uang dimasukkan ke dalam plastik kresek. Di dalam plastik kresek itu terdapat dua amplop coklat, masing-masing berisi uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000,” ujar Kepala Biro Hu­mas KPK Johan Budi Sapto Pra­bowo seusai penangkapan itu.

Ibrahim adalah hakim PTTUN DKI Jakarta yang menangani per­kara banding PT Sabar Ganda, perusahaan milik Sitorus, yang bersengketa dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal lahan di Cengkareng Barat. Adapun Adner adalah pengacara Sitorus.

Pada Senin, 25 Oktober 2010, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Sitorus dan Adner terbukti menyuap Ibrahim. Majelis hakim menjatuhkan hu­kuman lima tahun penjara untuk Sitorus, dan empat tahun enam bu­lan penjara untuk Adner.

Hu­ku­man itu lebih rendah ke­tim­bang tuntutan jaksa, enam ta­hun penjara bagi Sitorus dan lima ta­hun penjara bagi Adner. Se­be­lumnya, pada 2 Agustus 2010, Ib­rahim telah dijatuhkan hukuman enam tahun penjara. Ibrahim kemudian mengajukan banding, sehingga hukumannya menjadi tiga tahu penjara.

Menurut dakwaan jaksa pe­nun­tut umum (JPU), pada Maret 2010, Adner menemui Ibrahim di PTTUN DKI Jakarta. Adner  me­ngutarakan niatnya membuat kontra memori banding terhadap perkara tanah itu. Saat itu Ibra­him mengatakan, tak perlu mem­buat kontra memori banding, se­bab perkara itu dia yang ditanga­ni. Lalu  Ibrahim meminta se­jumlah duit sebagai imbalan.

Pada 29 Maret, atau sehari se­belum disergap tim KPK, Adner menghubungi Sitorus, me­nyam­pai­kan kesepakatannya dengan Ibrahim. Menurut JPU, Sitorus me­nyetujui kesepakatan itu dan meminta Adner mengambil duit dari notaris kepercayaannya, Yoko Verra Mokoagow.

Besoknya, pada 30 Maret, Ibra­him bertemu Adner di kantornya, Cikini. Setelah menyepakati pe­nye­rahan duit dilakukan di luar kan­tor, mereka lantas mening­gal­kan gedung pengadilan me­nung­gang mobil masing-masing me­nuju kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur. Di sanalah duit di­se­rahkan.

Sikat Saja Hakim yang Terima Suap

Pieter C Zulkifli, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Pieter C Zulkifli mengingatkan Komisi Yudisial (KY) agar tak hanya melakukan pencitraan dalam mengusut dugaan suap ke­pada hakim agung yang me­nangani perkara DL Sitorus, terkait penguasan lahan di Pa­dang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Soalnya, menurut Pieter, saat ini banyak pejabat penegak hukum yang hanya melakukan pencitraan ketimbang mengusut tuntas suatu perkara. “Pen­cit­ra­an boleh saja, tapi harus disertai tindakan nyata. Jangan hanya berbicara akan mengusut kasus DL Sitorus, tapi nihil saat di­min­tai pembuktian,” katanya.

Pieter menambahkan, secara yuridis KY sangat berhak me­ne­lisik dugaan pelanggaran kode etik hakim. Karena itu, dia meminta KY segera menelisik apakah ada hakim agung yang menerima suap dari Sitorus.

“Kalau ada sikat saja. Jangan takut, kami ada di belakang un­tuk mem-back up. Kami di DPR ini mewakili aspirasi rakyat, jadi rakyat sangat setuju setiap kejahatan itu harus diberantas,” tandasnya.

Politisi Demokrat ini juga meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tak hanya bersilat lidah di depan masyarakat. Me­nu­rutnya, jika ingin menelusuri kasus ini, maka lembaga yang dikomandoi Kuntoro Mang­ku­subroto itu perlu segera mem­bentuk tim khusus yang fokus menelisiknya. “Meskipun pe­ris­tiwa itu diduga terjadi pada ta­hun 2008,” ucapnya.

Pieter mengakui, saat ini se­ring terjadi diskoneksi antara KY dengan Mahkamah Agung. Menurutnya, dalam rapat de­ngan pihak KY, lembaga yang di­komandoi Eman Suparman itu kerap mengeluhkan hasil temuannya yang sering tidak direspon MA.

Karena itu, Pieter berharap ke­dua lembaga ini saling meng­hormati guna terciptanya efek­tivitas yuridis di lembaga pera­di­lan. “Kalau mereka tetap ri­but, bisa bahaya. Saling meng­hor­mati merupakan satu-satu­nya jalan keluar,” ucapnya.

Cium Aroma Tidak Sedap

Jusuf Rizal, Presiden LSM LIRA

Presiden LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal menilai, sejak awal sudah tercium aroma yang tidak beres da­lam kasus DL Sitorus. Bukti­nya, kata dia, hingga kini se­jum­lah aset milik pengusaha kelapa sawit itu belum ada yang dirampas negara.

Belum adanya perampasan itu, menurutnya, akan mengun­dang pertanyaan besar ma­sya­rakat, ada apakah dengan lem­baga penegak hukum dan pe­radilan.

“Kalau sudah tercium aro­ma itu, semestinya sejak du­lu ditin­daklanjuti. Kita kan tahu, DL Sitorus pernah me­nyuap ha­kim bernama Ibrahim melalui pe­nga­caranya, Adner Sirait. Siapa ta­hu, kasus ini pun sama,” ujarnya.

Jusuf menambahkan, sejum­lah lembaga penegak hukum se­dang gencar-gencarnya mene­lu­suri kasus penyuapan hakim. Karena itu, dia mengimbau ke­pada seluruh hakim di lembaga peradilan manapun, supaya bekerja dengan profesional dan mematuhi Undang-Undang.

“Kita akui bahwa keputusan hakim tak bisa diganggu gugat. Tapi, jangan karena itu mem­buat hakim menjadi kepedean alias over acting,” ucapnya.

Dia juga memuji sikap ma­sya­rakat yang melaporkan du­gaan suap ini kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Menurutnya, usaha itu bermak­na bahwa kesadaran masyarakat terhadap nasib penegakan hu­kum di pengadilan sudah tum­buh baik.

“Itu kan awalnya ada yang melaporkan ke Satgas, kemu­dian Satgas meminta KPK un­tuk turun tangan. Tapi, KPK hing­ga kini belum bisa turun tangan juga,” tuturnya.

Menurut Jusuf, kalau sudah muncul dorongan masyarakat un­tuk memantau peradilan, maka tinggal MA meng­in­ten­sif­kan pe­ngawasan terhadap ha­kim lewat standar operasi atau perangkat pengawas yang di­milikinya.

“Jika tak diawasi, bisa ber­imbas terhadap kondisi mental hakim maupun pihak lain yang bermaksud menyimpangkan proses hukum,” katanya. [rm]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA