WAWANCARA

Darmono: Ketua KPU Masih Berstatus Tersangka

Kamis, 20 Oktober 2011, 05:25 WIB
Darmono: Ketua KPU Masih Berstatus Tersangka
Darmono

RMOL. Wakil Jaksa Agung Darmono menegaskan, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary masih berstatus tersangka dalam kasus surat palsu hasil rekapitulasi suara caleg Partai Hanura Mumammad Syukur Mandar.

“Sampai hari ini (Selasa, 18/10), kami tetap berpedoman ter­hadap Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kepoli­sian. Surat itu secara terang me­nuliskan nama Ketua KPU dan tiga orang lain sebagai tersangka. Kami tidak punya hak untuk me­nganulir isi SPDP, kecuali polisi menarik laporannya atau meng­hentikan penyidikan,” tutur Dar­mono kepada Rakyat Mer­deka di Jakarta, Selasa (18/10).

Sebelumnya diberitakan, Ke­tua KPU Abdul Hafiz Anshary di­kabarkan menjadi tersangka ka­sus pemalsuan surat hasil Pe­milu Legislatif 2009 untuk daerah pe­milihan Halmahera Barat, Ma­luku Utara. Namun, hal ini di­kla­rifikasi Kepala Badan dan Re­serse Kriminal Polri Komisa­ris Jenderal Sutarman.

“Belum ditetapkan sebagai ter­sangka. SPDP memang diberi­kan kepada Kejaksaan Agung atas la­poran polisi Muhammad Syukur Mandar dengan terlapor Hafiz Anshary. Syukur adalah calon ang­gota DPR dari Partai Hati Nu­rani Rakyat dari daerah pemilihan Maluku Utara,” terang Sutarman.

Darmono selanjutnya menga­ta­kan, Kejaksaan belum menda­patkan kejelasan soal kesalahan tulis yang dijadikan alasan Ke­polisian. Makanya, status  Abdul Hafiz Anshary masih sebagai tersangka.

“Kalau terjadi kesalahan, ke­salahannya untuk tersangka yang mana? Apakah hanya untuk ketua KPU atau semuanya,” ujar Ang­gota Satgas Pemberantasan Ma­fia Hukum ini bertanya-tanya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kepolisian menyatakan ter­jadi kesalahan pengetikan, apa ini tidak bisa diterima Kejak­saan?

Ini perlu saya luruskan. Sistem hukum kita mengamanatkan, ka­lau sudah ada penyidikan ha­nya ada tiga kualifikasi, yakni saksi, ahli dan tersangka. Tidak ada lagi istilah terlapor atau pela­por da­lam kerangka penyidikan.

Kalau kita sudah dapat SPDP, kita secara hukum sudah men­ca­tat dalam register SPDP, berarti sudah ada tersangka di situ. Un­tuk mempertanggung­jawab­kan­nya, ya dicabut. Sebenarnya saya tidak ingin berpolemik de­ngan polisi. Itu temen kita. Temen baik kita semua.


Bagaimana solusinya kalau begitu?

Kepolisian hendaknya menca­but SPDP yang menuliskan peri­hal Abdul Hafiz Anshary sebagai tersangka dalam kasus surat palsu Pemilu Legislatif 2009 di Hal­mahera Barat, Maluku Utara.

Saya mengharapkan, kalau pe­nyidik belum menetapkan jadi tersangka, surat itu dicabut kem­bali karena surat itu secara hukum sudah menerangkan adanya tersangka. Itu surat resmi, bukan surat liar.

Pasalnya, surat itu telah masuk dalam registrasi SPDP di Kejak­saan Agung. Makanya, Kepolisi­an harus bertanggung jawab un­tuk mencabutnya kembali.


Apa Anda sudah menyam­pai­­kan hal itu kepada Kepoli­sian?

Kami sudah memberi masu­kan kepada Kepolisian untuk me­ng­am­bil opsi terakhir, yakni menarik laporan tersebut, atau meng­hen­tikan penyidikan. Ini di­lakukan guna meredam per­tentangan pe­netapan tersebut kian meluas.


 Bagaimana kalau tidak di­cabut dan tidak dihentikan pe­nyidikan dengan tersangka Ke­tua KPU?

Kalau tidak dicabut, kami te­tap menyatakan dia sebagai ter­sang­ka. Itu aturan hukumnya. Catatan atau register itu tidak dapat diha­pus tanpa ada catatan yang sah juga.


Apa yang dilakukan Kejak­saan?

Posisi kami saat ini adalah me­nunggu perkembangan penyidi­kan yang dilakukan Kepolisian.  Apalagi saya baca di media bah­wa tidak ada yang keliru dan ti­dak ada yang salah dalam la­poran itu.


Apa belum ada disampaikan secara lisan soal kesalahan itu?

Belum. Sampai saat ini belum ada surat terkait pencabutan atau penghentian penyidikan.


Oh ya, bagaimana tanggapan Anda soal jaksa makan siang ber­sama terdakwa?

Kami baru mendapat laporan bahwa jaksa itu mengantar ter­dakwa untuk melakukan peme­rik­saan kesehatan. Itu merupakan perintah majelis hakim.

Dalam perjalanan pas waktu­nya makan, sehingga jaksa me­miliki tanggung jawab untuk memberikan makan terhadap orang yang di bawah tanggung jawabnya.


Apa ada aturan seperti itu?

Tidak ada aturan hukum baku yang mengatur hal tersebut.

Tapi jaksa mempunyai kewaji­ban untuk menjaga terdakwa yang berada dalam tanggung ja­wabnya. Nggak ada standar pro­sedur yang mengatur boleh ma­kan atau tidak dengan ter­dakwa.


Apa sudah dicek laporan itu?

Sekarang kami minta penge­ce­kan lebih lanjut terhadap pe­lak­sanaan itu.


Bagaimana kalau terjadi pe­langgaran hukum?

Kalau memang ada pelangga­ran hukumnya ya akan ada sanksi sesuai derajat kesalahannya. Sank­si ada tiga tingkatan, yakni hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, dan berat.


Bagaimana kalau makan siang itu yang bayar terdakwa, bu­kankah itu pelanggaran?

Yang kami cek makan siang itu siapa yang bayar. Kalau yang ba­yar terdakwa, ya itu keliru.

Menurut informasi yang kami terima baru seperti itu. Intinya, setiap pelanggaran akan kami ambil tindakan sesuai mekanis­me yang ada.  [rm]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA