WAWANCARA

M Jasin: Kewenangan KPK Dibonsai, Koruptor Diuntungkan

Minggu, 16 Oktober 2011, 08:00 WIB
M Jasin: Kewenangan KPK Dibonsai, Koruptor Diuntungkan
M Jasin

RMOL. DPR diminta tidak membonsai kewenangan KPK. Sebab, kalau itu dilakukan yang untung koruptor.

“Kami tidak mampu membe­rantas korupsi lagi kalau kewe­nangan dibonsai. Yang untung koruptor,’’ tegas Wakil Ketua KPK, M Jasin, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Seperti diketahui, DPR sudah mulai mengambil kuda-kuda untuk menggodok revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ten­tang KPK. Revisi yang dila­kukan atas inisiatif DPR ini be­ren­cana memangkas sejumlah kewenangan yang dimiliki KPK.

Sejumlah kewenangan yang akan dipangkas adalah penya­dapan, penghentian penyidikan ka­sus, kewenangan satu atap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

M Jasin selanjutnya mengata­kan, ada oknum DPR yang ingin kembali ke sistem lama dan me­mangkas kewenangan KPK. Sebab, kepentingan mereka ter­ganggu.

“Banyak wakil rakyat dita­ngani KPK, namun mereka tidak bisa tawar-menawar de­ngan KPK. Hal itu mem­buat beberapa orang di Sena­yan ingin me­ngebiri KPK,” tu­turnya.

Berikut ku­ti­pan se­leng­kap­nya;

Kalau ke­wengan KPK di­bon­sai, siapa yang paling diru­gi­kan?

Ya, rakyat kecil. Sebab, hak-hak me­reka diko­rup­si. Se­ha­­rus­nya ke­wena­ngannya tetap saja seperti seka­rang.

Undang-undang KPK didisain de­ngan sejumlah ke­we­nangan khusus, karena lembaga anti­ko­rupsi ini memang mempunyai tugas besar.


Bagaimana soal ke­wenangan pe­nya­dapan, kenapa mau di­re­visi?

Penyadapan perlu diperkuat dengan Undang-Undang Penya­da­pan, bukan dihapuskan. Ko­rupsi kan kejahatan luar biasa dan modusnya sangat dinamis. Kalau kewenangan KPK ter­hadap pe­nyadapan dihilangkan, transaksi suap akan merajalela tanpa ada yang mampu men­deteksi. Tidak akan ada lagi tangkap tangan kasus suap me­nyuap, seperti yang beberapa kali dilakukan KPK.


Yang diwacanakan adalah pengaturan penyadapan, bukan penghapusan. Misalnya, KPK harus izin ke pengadilan sebe­lum melakukan penyadapan. Tanggapan Anda?

Kalau minta izin pengadilan, itu nggak efektif. Saya kira nggak perlu minta izin. Pe­nyadapan yang dilakukan KPK selama ini kan di­audit dan me­­lalui standar operasi yang ber­sifat ra­hasia.

Jika penyadapan harus men­dapat izin pengadilan, maka salah satu upaya penegakan hukum ter­ganggu. Bayangkan, jika pe­nya­dapan dila­kukan dini hari atau tengah ma­lam, melewati jam kerja. Nah, kalau proses itu dila­kukan, pelakunya keburu pergi.


DPR berencana memangkas kewenangan satu atap, tangga­pan Anda?

Selama ini mekanisme satu atap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dimiliki KPK sangat efektif. Mekanisme itu memungkinkan pembahasan perkara digarap bersama, se­hingga penangananya cepat selesai.

Dilakukannya pembahasan bersama sejak awal penanganan perkara, menyebabkan adanya kesamaan pandang. Tidak bolak balik P 21 ke P 19, seperti ke­jak­saan dan kepolisian.

Tidak ada bolak balik P 21 ke P 19 juga berkorelasi dengan ki­nerja. Buktinya, 99 persen per­kara korupsi yang dituntut KPK berhasil.


Apakah penanganan perkara di KPK masih efektif kalau bo­leh menghentikan penyidikan de­ngan mengeluarkan SP3?

Sejak awal, KPK sengaja tidak diberi wewenang menerbitkan SPR. Tidak adanya pemberian we­wenang itu agar KPK terhin­dar dari bentuk-bentuk tawar me­nawar kasus. Itulah background filosofinya.   [rm]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA