“Paham propaganda seperti menyebarkan permusuhan dan menamkan kebencian, di IndoÂnesia belum bisa dikategorikan seÂbagai kriminal. Padahal di negara lain seperti Inggris sudah ada undang-undang yang mengaÂtur hal itu,†tandas Kepala Badan Nasional Penanggulangan TeroÂrisme, Ansyad Mbai.
Menurutnya, peraturan dalam bentuk undang-undang itu dibuÂtuhkan pihak aparat dan intelijen untuk bertindak proaktif. MelaÂkukan usaha pencegahan. Bukan menunggu bom meledak.
RUU Intelijen yang lagi digoÂdok itu akan menjamin keamanan di negeri ini. Kalau sudah aman berarti menjamin berjalannya sistem demokrasi dengan baik.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apakah belum adanya peraÂtuÂran itu menghambat aparat menangkap terorisme?
Kalau sudah terjadi bom, soal penangkapan tidak terlalu sulit. Sebab, sampai hari ini semua seÂrangan bom bisa terungkap dan pelakunya tertangkap.
Pihak internasional mengapreÂsiasi tindakan kita dalam menaÂngani paham radikal dengan peÂneÂgakan hukum yang kuat. Tidak mengÂÂguÂnakan tindakan fisik berlebihan. Selama ini kita tidak mengÂguÂnakan peÂrang atauÂpun extra judicial killing, yang terÂmasuk pelangÂgaran HAM berat.
Usaha menetralisir radikalisme dan berbagai paÂham di dalamnya perlu ada keteÂgaÂsan. Tentunya tidak bisa dilakukan deÂngan penÂdekatan keÂkerasan fisik. MiÂÂsalÂnya, penÂdeÂkaÂtan soft, seperti deÂraÂdikalisasi mauÂpun penindakan, harus ada dasar huÂkumnya. DeraÂdiÂkaliÂsasi itu hanya moral force. SeÂdangÂÂkan pada phyÂsical force adalah bagaimana kita meÂÂminta pada maÂsyarakat melaporkan tinÂdakan para terorisme.
Berapa besar ancaman geraÂkan radikal pasca bom di Solo?
Tentunya ancaman cukup besar karena potensi terorisme sulit untuk diukur. Karena apaÂbila tinÂdakan terorisme meledak, damÂÂpaknya sangat besar padahal hanya dilakukan oleh satu orang, seperti kasus bom di Solo.
Teroris itu berapa kelompok lagi?
Saat ini masih ada belasan keÂlompok yang melatih, merekrut, mencari dana, dan mengumpulÂkan logistik untuk melakukan tindakan keji. Mereka terpencar, jumlahnya sekitar 100 orang. Tapi hanya 15 orang yang memiÂliki dasar untuk ditangkap. Kami sudah sebarkan lewat Daftar PenÂcarian Orang (DPO).
Ada keterkaitan jaringan di antara mereka?
Seluruh aksi teror di Indonesia ini berkaitan. Apabila kita lihat peta, ada daerah Cirebon, Solo, Medan, Sulawesi Tengah, Poso, lalu kita isi nama para teroris. Hasilnya pasti ada nama yang dobel di satu daerah dan ada di daerah yang lain. Sebab, meÂreka satu jariÂngan, satu strategi, satu ideologi, dan toÂkohnya satu juga.
Kenapa tidak meÂÂlibatkan TNI untuk membeÂranÂtas terorisme?
Strategi menangani terorisme ada dua, yakni tegas dalam peneÂgakan hukum dan tidak mengguÂnakan kekuatan militer. Hari ini (5/9) Presiden mengatakan agar TNI mendukung Polri. Tapi tidak memerintahkan agar miliÂter meÂlaÂÂkukan operasi. Karena kita tahu latar belakangnya, seÂmakin keras tindakan kita, geraÂkan mereka semakin militan. Ini suÂdah diakui secara interÂnasional.
Bagaimana dengan perÂkemÂbangan program deradikaÂliÂsasi?
Di dalam program itu ada sekiÂtar 51 kegiatan yang dilakukan para ulama, ormas keagamaan, lembaga pendidik formal dan non-formal seperti pesantren. Pemerintah atau BNPT dalam hal ini hanya sebagai fasilitator saja. Kami melibatkan 25 ormas. SeÂbenarnya banyak sekali yang ingin berpartisipasi. Tapi tidak bisa ikut semuanya karena ada keterbatasan.
Banyak yang mengatakan program itu hanya basa-basi?
Basa-basi bagaimana, selama ini program deradikalisasi itu berhasil dilakukan. Tapi para ulama yang menjalankannya. Mereka tidak senang berkoar-koar mengenai keberhasilan proÂgram itu.
Program yang dilakukan para ulama dan difasilitasi pemerintah, berhasil menekan paham radiÂkalisÂme yang bisa mendorong keÂpada tindakan terorisme. [rm]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: