Dalam tradisi keilmuan Islam, hadits adalah perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Dan, pembiaran Nabi terhadap perilaku sahabat juga bisa dikategorikan sebagai hadits yang dikenal dengan istilah hadits
taqriri.
Dalam ilmu hadits, ada dikenal dengan istilah hadits
maudhu atau hadits palsu. Ini sebenarnya bukan hadits, sebab bukan berasal dari perkataan, perbuataan, atau pembiaran Nabi. Namun untuk memudahkan kategorisasi dalam ilmu, disebutlah hadits palsu.
Kini, para politisi saling menyerang lelucon di
blackberry messenger (BBM) dengan menggunakan bahasa yang mirip-mirip dengan karakteristik hadits palsu. Tentu saja, ini lebih palsu dari hadits palsu.
Politisi A: Barang siapa menjalani malam-malam bulan Puasa dengan tidak tidur dan tidak mengerjakan amalan-amalan soleh, itu adalah contoh orang-orang yang begadang tiada artinya (H. Rhoma Irama).
Politisi B: Barang siapa di bulan Ramadhan tidak dapat menahan dirinya berbelanja sebelum THR tiba, sesungguhnya mereka termasuk di dalam golongan orang-orang yang mampu (Kyai Tajir).
Politisi C: Barang siapa di bulan Puasa yang ketika waktu buka masih berada dalam perjalanan, maka tidaklah orang itu melainkan sedang berada dalam kemacetan (HR Rasuna Said). HR Rasuna Said menunjuk jalan di kawasan Kuningan yang terkenal macet.
[***]