Jaksa Agung Pelajari Kasus Awang Farouk

Masal Cekal Gubernur Kaltim Diperpanjang

Senin, 01 Agustus 2011, 07:17 WIB
Jaksa Agung Pelajari Kasus Awang Farouk
Awang Farouk Ishak
RMOL. Kejaksaan Agung kembali memperpanjang status cekal Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak. Otomatis tersangka kasus dugaan korupsi divestasi saham Kaltim Prima Coal (KPC) Rp 576 miliar tersebut tak bisa leluasa bepergian ke luar negeri hingga enam bulan mendatang.

Perpanjangan masa cekal ter­hadap orang nomor satu Kal­tim ini disampaikan Kapus­pen­kum Kejagung Noor Rochmad. Da­lam keterangannya, ia me­nya­takan, permintaan cekal telah di­la­yangkan Kejagung pada Di­rek­torat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Ke­menterian Hukum dan HAM. Status cekal Awang tersebut, lan­jutnya, mulai berlaku pada 29 Juli. “Melanjutkan status cekal yang sebelumnya habis pada 28 Juli 2011,” ucapnya.

Disinggung mengenai berapa lama masa perpanjangan cekal terhadap Awang, ia mengatakan, status cekal Awang akan berlaku hingga enam bulan ke depan alias setengah tahun.

Jaksa Agung Muda Bidang In­telejen (Jam Intel) Edwin Situ­mo­rang menambahkan, surat per­pan­jangan status cekal Awang te­lah ditandatangani dan dikirim ke Imigrasi sejak 26 Juli. Surat cekal kali ini, tuturnya, bernomor  208/D/DSP.3/07/2011. Menurutnya, per­panjangan cekal Awang dila­ku­kan atas permintaan penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jam­pidsus). “Diusulkan penyi­dik Jampidsus pa­da 22 Juli 2011 lalu,” terang­nya.

Dia menggarisbawahi, permin­taan perpanjangan cekal Awang oleh penyidik Jampidsus dilatari penanganan perkara tersebut ma­sih dalam tahap penyidikan ja­jaran Jampidsus. Menam­bah­kan keterangan ini, Noor yang di­konfirmasi mengenai jadwal pe­meriksaan terhadap Awang be­lum bisa memastikan hal ter­se­but. Persoalannya, sambungnya, jaksa belum mengantongi izin pe­meriksaan.  

“Surat izin pemeriksaannya sudah disampaikan ke Jaksa Agung untuk diserahkan kepada Pr­esiden,” tandasnya seraya me­nam­bahkan, Awang Farouk sam­pai saat ini belum pernah men­jalani pemeriksaan dalam ka­pa­sitas sebagai tersangka.

Lebih jauh ketika dikonfirmasi ikh­wal pengiriman surat izin pe­meriksaan kepada Presiden, ia mengaku tidak tahu persis kapan surat izin pemeriksaan Awang akan disampaikan ke Istana. Dia memprediksi, biasanya, pasca per­panjangan masa cekal ter­ha­dap seseorang, surat izin pe­me­rik­saan dikirim secara bersamaan.

Yang terang, surat perpan­jang­an cekal Awang yang bernomor registrasi 208/D/DSP.3/07/2011 merupakan kelanjutan dari SK nomor 248/D/DSP.3/07/2010 ten­tang status cekal terhadap Awang Farouk yang berakhir 29 Juli 2011. Lebih jauh menanggapi per­tanyaan terkait penanganan per­kara yang membelit Gubernur Kaltim ini, sumber penyidik di lingkungan Jampidsus mene­rang­kan, tim jaksa sudah dikirim ke Kaltim untuk mengumpulkan ma­teri dan menggali bukti-bukti da­lam menuntaskan perkara tersebut.

Jaksa dari Kejagung, menu­rut­nya telah berkoordinasi dengan ja­jaran Kejati Kaltim yang me­nangani perkara dua terdakwa lain dalam kasus yang berkaitan. “Karena ada dua putusan yang ber­beda dalam perkara yang ter­kait dengan kasus ini. Hal itu ma­sih dipelajari tim Jampidsus secara intensif,” tuturnya.

Diinformasikan, putusan yang dimaksud adalah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sanggata, Kutai Timur, Kaltim yang memvonis Direktur Utama PT Kutai Timur energi (KTE) Anung Nugroho lima tahun pen­jara dan denda Rp 300 juta sub­sider tiga bulan kurungan ter­kait ka­sus divestasi saham KPC. Na­mun di lain sisi, majelis hakim PN Sanggata memvonis Direktur PT KTE Apidian Triwahyudi dengan putusan sebaliknya.  

Noor membenarkan, sejauh ini Jaksa Agung Basrif Arief masih mengkaji dan menganalisa pu­tusan berbeda PN Sanggata ter­ha­dap dua terdakwa tersebut. “Ki­ta masih mengkaji dua pu­tus­an yang berbeda dalam kasus ter­sebut,” tegasnya.

Upaya mengkaji dua putusan berbeda tersebut ditujukan agar berkas permohonan izin peme­rik­saan yang akan diajukan pada Pre­siden nantinya lengkap alias kom­prehensif. Dengan keleng­kap­an berkas tersebut, otomatis lan­jutnya, akan membantu dan memudahkan  jajaran jaksa dalam melakukan penyidikan.

Awang farouk yang diwakili kuasa hukumnya, Amir Syam­sud­din menyatakan kecewa de­ngan perpanjangan pencekalan ini. Pasalnya, sejauh ini status cekal terhadap kliennya mem­ba­tasi ruang gerak dalam men­ja­lan­kan roda pemerintahan di wilayah yang dipimpinnya. Dipastikan, jika memang ada bukti keter­libat­an Awang pada kasus ini, pi­hak­nya tidak mempermasalahkan jika kasus ini dilanjutkan oleh Kejagung. “Kenyataannya sejauh ini kan tidak ada unsur yang ditu-duhkan,” tegasnya.

Demokrasi Yang Sesungguhnya Melarang Korupsi
Adhie Massardi, Aktivis LSM GIB

Aktivis LSM Gerakan In­do­nesia Bersih (GIB) Adhie Mas­sardi menilai, korupsi yang dilakukan pejabat daerah me­rupakan suatu tindak kejahatan yang bermula dari sistem de­mokrasi Indonesia yang tidak mur­ni menerapkan nilai-nilai de­mokrasi sesungguhnya. Pa­dahal, katanya, demokrasi yang sesungguhnya sangat melarang keras praktik korupsi.

“Sistem demokrasi kita ini kan demokrasi kriminal. Jangan heran jika banyak perkara ko­rupsi yang merata dari tingkat pusat hingga daerah. Padahal, jika menerapkan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu men­sejahterakan rakyat, maka ko­rupsi tidak akan ada,” katanya.

Selain itu, katanya, tidak ada hukuman yang memberikan efek jera juga berdampak makin ma­raknya praktik korupsi. Ka­rena itu, Adhie meminta lem­ba­ga peradilan di Tanah Air mem­berikan hukuman yang setimpal bagi para pengemplang duit ne­gara yang berasal dari golongan pe­jabat daerah maupun pusat. “Korupsi akan hilang jika lem­baga penegak hukum tegas dan tidak pandang bulu dalam memberantasnya,” ujarnya.

Menurutnya, selain tidak me­ne­rapkan sistem demokrasi yang sesungguhnya, faktor ko­rup­si di daerah juga disinyalir ber­asal dari faktor pemilihan ke­pala daerah (pilkada) yang me­nyedot duit kampanye. “Ka­rena keinginan untuk balik modal itulah APBD yang jadi di­salahgunakan,” ucapnya.

Adhie mengatakan, aktor korupsi di daerah sangat ba­nyak. Menurutnya, pejabat dae­rah yang tertangkap oleh lem­­baga penegak hukum meru­pa­kan pejabat yang sedang apes alias kurang beruntung. “Mung­kin kurang lobi-lobi dan tidak bisa mengatur skenario. Tapi ada juga yang sudah jadi ter­sang­ka, tapi proses hukummnya tak jalan,” ucapnya.

Supaya mengurangi korupsi di tingkat daerah, Adhie me­minta KPK membuat metode pen­cegahan korupsi dengan pe­rencanaan sistem yang matang. Soalnya, lembaga superbodi itu mempunyai kewenangan untuk me­lakukan pencegahan ko­rupsi. “Karena ketika saya ber­bincang dengan KPK, mereka itu tak punya yang namanya stra­tegi pencegahan yang betul-betul akurat,” tandasnya.

Belum Mengerti Pegang Amanah Rakyat Daerah
Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menilai, perpan­jangan pencekalan bagi ter­sang­ka kasus korupsi meru­pa­kan kewenangan dari suatu lem­baga penegak hukum yang tidak bisa diganggu gugat. Pa­sal­nya, pencekalan tersebut mem­punyai tujuan untuk mem­perlancar proses penyidikan.

“Selain mencegah si tersang­ka untuk kabur ke luar negeri tentunya. Tentunya kita tak mau ter­sangka kasus korupsi ber­ke­liaran ke luar negeri,” katanya.

Namun, Yani juga merasa aneh jika ada seorang yang su­dah dijadikan tersangka, namun belum diproses secara hukum kar­ena terganjal oleh surat dari Presiden. “Bagi saya aneh saja. Memang betul dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan demikian. Tapi, melebihi waktu 60 hari dan ti­dak mendapat jawaban dari Pre­siden, maka lembaga pe­negak hu­kum berhak me­lan­jutkan pro­ses hukumnya,” ucapnya.

Politisi PPP ini menilai, para pejabat daerah yang melakukan praktik korupsi ialah mereka yang belum mengerti menjadi seorang yang memegang ama­nah daerah yang dikelolanya.

Sehingga, katanya, para pe­jabat tersebut dengan mudah ter­jerumus ke dalam praktik ter­sebut. “Ya satu sisi mereka bisa dikategorikan belum bisa men­jadi seorang birokrat. Sehingga, tak bisa membedakan mana hu­kum dan kebijakan. Sed­angkan birokrat itu, pasti mengerti an­ta­ra kebijakan yang dibuatnya dengan hukum yang sudah tetap,” tandasnya.

Disamping itu, katanya, be­lum optimalnya pengawasan lembaga penegak hukum ke daerah-daerah disinyalir men­jadi penyebab kedua maraknya pejabat daerah yang melakukan praktik korupsi. Karena itu, Ya­ni sangat berharap jika lembaga pe­negak hukum mengawasi jalan­nya pemerintahan di suatu daerah. “Kita ingin ciptakan good government yang merata hing­ga ke pelosok daerah,” ujar­nya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA