WAWANCARA

Jusuf Kalla: Segera Tangkap Nazaruddin (Lebih Cepat Lebih Baik...)

Senin, 25 Juli 2011, 05:19 WIB
Jusuf Kalla: Segera Tangkap Nazaruddin (Lebih Cepat Lebih Baik...)
Jusuf Kalla
RMOL. Bekas Wapres Jusuf Kalla enggan mengomentari nyanyian M Nazaruddin. Sebab, itu urusan internal Partai Demokrat.

“Tapi kalau soal kasusnya, saya berharap segera ditangkap Na­zaruddin. Lebih cepat lebih baik,” ungkap Jusuf Kalla sambil ter­senyum.

Yang jelas, lanjut Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009 itu, partainya selalu komitmen dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Apabila ada anggota Partai Golkar terin­dikasi bermasalah dalam hal korupsi, maka langsung dipecat.

“Seharusnya sikap seperti ini diikuti semua partai. Kader yang bermasalah harus dipecat,” tegasnya.

Berikut kutipan se­lengkapnya;

Anda melihat ada permainan dalam kasus Nazaruddin?
Saya tidak ingin mengatakan apakah ada permainan atau tidak dalam kasus ini. Yang jelas hingga saat ini Nazaruddin yang sudah ditetapkan sebagai ter­sangka tidak bisa ditangkap. Kasus ini berlarut-larut karena Nazaruddin tidak bisa ditangkap. Kalau ditangkap maka kasus ini akan tuntas dan clear.

Komentar Anda soal nya­nyian Nazaruddin?
Saya tidak ingin menilai apa yang terjadi di Partai De­mokrat. Kalau  itu benar, maka saya rasa itu masalah besar.

Tanggapan Anda dengan ong­kos politik yang tinggi saat ini?
Saya rasa ongkos politik saat ini 10 kali lipat dari ongkos poli­tik lima tahun lalu. Hal ini saya rasakan saat pengalaman saya maju dalam Pilpres tahun 2009. Untuk biaya iklan dan pergerakan orang meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun 2004.

Pada Pilpres 2004, biaya yang saya habiskan tidak lebih dari Rp 120 miliar. Biaya itu meningkat 10 kali lipat ketika saya ikut Pilpres 2009.

Menurut saya, biaya politik itu sama ketika orang ingin maju menjadi ketua partai politik, yaitu meningkat 10 kali lipat diban­dingkan lima tahun yang lalu.

Kenapa hal itu bisa terjadi?
Ada beberapa hal. Pertama, undang-undang politik kita men­jelaskan yang bisa menjadi anggota partai politik adalah non PNS dan non tentara. Dan tentu­nya parpol diisi oleh kala­ngan profesional, politisi, dan pengu­saha. Misalnya apabila pengu­saha punya uang, lalu ikut pe­milu, paling uangnya habis.  

Tetapi kalau bukan pengusaha dan tidak punya uang, maka yang digunakan adalah mengambil uang dari cara yang lain. Sebab, ini pertarungan ber­dasarkan kemampuan fi­nansial.

Kedua, banyaknya pemilu di Indonesia menyebabkan ongkos politiknya mahal. Coba bayang­kan di Indonesia terdapat 500 Pilkada dan tentu memakan biaya yang besar.

Ketiga, umumnya para peserta Pilkada terlalu berlebihan dalam melakukan kampanye. Misalnya kampanye calon Gubernur Kali­mantan Selatan di Metro TV. Untuk itu harus ada aturan kam­panye lokal hanya boleh meng­gunakan media lokal.

Ada usulan agar pejabat pu­blik tidak masuk parpol?
Dulu Partai Golkar mengu­sulkan agar PNS boleh berpartai tetapi cuti di luar tanggungan negara untuk sementara. Hal ini agar jangan hanya profesional, politisi, atau pengusaha yang ma­suk parpol. Sebab,  menggerus jumlah pengusaha.

Kalau dibuat seperti itu, se­orang dosen bisa maju pada saat pemilu. Tapi bila kalah, dia kem­bali menjadi seorang dosen. Hal ini bisa mengurangi banyak­nya pengusaha yang masuk dalam politik yang menyebabkan ongkos politik mahal.

Apa etika dalam berpolitik masih ada?
Bahasa etika adalah malu. Arti­nya, kalau kita ingin berpolitik dengan sehat, tentu kita menge­de­pankan etika. Yang menjaga etika adalah seluruh masyarakat. Ketika politik itu bermartabat, artinya kita menang dengan tetap memiliki etika dan menggunakan uang tapi  tidak menjebol BUMN dan bank, itu baru menang ber­martabat. Martabat itu hasil dari suatu kampanye yang beretika dengan biaya murah.    [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA