Bekas Karutan Brimob Belum Dipecat Polri

Sudah Dijatuhi Hukuman 4 Tahun Penjara

Minggu, 24 Juli 2011, 07:28 WIB
Bekas Karutan Brimob Belum Dipecat Polri
RMOL. Polri belum memecat bekas Kepala Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Kompol Iwan Siswanto yang telah dijatuhi hukuman empat tahun penjara dalam kasus suap dari Gayus Tambunan. Polri pun belum menggelar sidang kode etik kepolisian terhadap Iwan terkait keluyurannya Gayus saat ditahan di Rutan Brimob.

Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar beralasan, Iwan be­lum dipecat dan belum di­sidang kode etik lantaran putusan hakim kasus tersebut belum berkekuatan hukum tetap (incraht). “Yang bersangkutan masih mengajukan upaya banding,” kata Boy.

Sementara itu, jaksa penuntut umum (JPU) kembali akan mem­bidik Gayus Tambunan dalam dua perkara. Pertama, soal duga­an suap kepada bekas Karutan Brimob Kompol Iwan Siswanto.

Kedua, soal dugaan menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp 74 miliar. Tuduhan jaksa yang sem­pat gagal dibacakan pada per­sidangan Kamis (21/7) tersebut, rencananya akan disampaikan pada sidang di Pengadilan

Tipikor Jakarta pekan men­da­tang. Menurut jaksa KPK Kun­tadi, seluruh berkas memori tun­tutan kasus ini telah disampaikan ke Pengadilan Tipikor sejak tiga hari sebelum sidang. “Satu per­kara dua berkas,” katanya.

Ia belum mau menjabarkan se­cara rinci materi dakwaan yang disampaikan pada hakim Pe­ngadilan Tipikor tersebut. “Kita tunggu nanti saat tuntutannya di­bacakan di persidangan saja.”

Saat disoal apakah berkas per­kara Gayus terkait dengan vonis empat tahun penjara pada  bekas Karutan Brimob, ia menjelaskan, hubungan kasus ini menjadi salah satu bagian yang menjadi fo­kus jaksa. “Kita ingin ini tuntas, bagaimana terjadinya penyuapan itu,” tandasnya.

Apalagi,  tambahnya, Iwan pa­da persidangan sebelumnya mem­bantah menerima suap dari Gayus. Bahkan, mencabut kete­ra­ngan yang ada di BAP. Alasan terdakwa Iwan, pengakuan yang terangkum dalam berkas perkara disampaikan saat dirinya dalam kondisi tertekan.

Dalam berkas tuntutan ter­ha­dap Iwan, jaksa yang menangani ka­sus ini, Silla Pulungan ber­si­ku­kuh menuduh Iwan terbukti me­nerima suap dari Gayus.

Akibatnya, perwira menengah kepolisian itu diancam hukuman enam tahun penjara subsider empat bulan kurungan serta den­da Rp 200 juta. Silla menyatakan, terdakwa Iwan melanggar Pasal 12 huruf a UU 31 Tahun 1999 ten­tang pemberantasan korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 Ayat 1.

“Berdasarkan keterangan dari para saksi terbukti bahwa terdak­wa telah menerima suap dari Ga­yus agar bisa keluar dari Rutan Mako Brimob Kelapa Dua dan plesiran ke Bali,” tandasnya.

Yang jelas, Kuntadi dan Silla sama-sama mengharapkan, pe­nga­juan berkas memori tuntutan terhadap Gayus pada Pengadilan Tipikor nantinya akan bisa me­nyingkap misteri perkara suap-menyuap tersebut.

Akan tetapi, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (21/7) terpaksa menunda si­dang pembacaan dakwaan un­tuk Gayus hingga Senin (25/7). Alasan Ketua Majelis Hakim Su­hartoyo, Gayus tidak bisa me­ngikuti sidang secara seksama karena keletihan.

Kuasa hukum Gayus, Hotma Sitompul menjelaskan, faktor ke­letihan yang membuat kesehatan kliennya drop dipicu  jadwal ke­gia­tan yang padat. Ia mema­par­kan, Senin (18/7) lalu,  Gayus men­jalani pemeriksaan di Penga­dilan Tipikor sebagai saksi, Se­lasa (19/7), Gayus dibawa ke Pe­nga­dilan Tangerang untuk men­jalani sidang. Rabu (20/7), Gayus memberikan keterangan kepada Panja Mafia Hukum DPR.

Hotma pun mengajukan kebe­ra­tan atas sikap jaksa yang terke­san terburu-buru dalam memb­eri­t­ahukan jadwal persidangan pada Rabu (20/7) sore. Padahal, sam­bungnya, tebal berkas pemeri­ksa­a­n Gayus tingginya mencapai se­tengah meter.

“Tindakan jaksa ini membuat tim kuasa hukum tidak siap mem­pelajari berkas perkara kasus ini. Berkas setinggi itu baru diterima se­hari sebelum sidang,” imbuhnya.

Disoal mengenai dugaan keter­kaitan perkara penyuapan Gayus dengan Iwan, Hotma menolak memberikan keterangan secara terperinci. Dia meminta agar sub­s­tansi perkara seputar hubungan dugaan suap-menyuap antara kliennya dengan bekas Karutan Brimob tersebut diungkap pada persidangan. “Kita lihat saja prosesnya di persidangan nanti bagaimana,” ujarnya.

Penilaian mengenai menda­dak­nya jadwal persida­ngan Ga­yus berikut pengiriman berkas per­kara, menurut jaksa Kuntadi, bukan dipicu kelambanan jaksa. Akan tetapi dilatari serangkaian proses yang panjang. “Jaksa ha­rus minta izin Mah­ka­mah Agung untuk meng­ha­dir­kan Gayus di persidangan. Ka­re­na saat ini Gayus tengah me­nga­jukan kasasi ke MA. Dia tahanan MA.”

Gayus Pelesiran Itu Tanggung Jawab Karutan
M Taslim, Anggota Komisi III DPR

Hakim dan jaksa diingatkan agar tidak menyerah begitu saja pada pencabutan keterangan bekas Karutan Brimob Kompol Iwan Siswanto. Hakim dan jak­sa kasus suap Gayus terhadap Iwan pun diminta jeli membaca perkembangan persidangan. Begitu pula hakim pada tingkat selanjutnya lantaran Iwan ingin banding.

“Keterangannya yang me­nya­­takan pernah menerima suap dari Gayus Tambunan ti­dak bisa hilang begitu saja. Ka­lau tidak ada suap, bagaimana mungkin Gayus bisa bebas me­ninggalkan selnya?” ujar M Tas­lim, anggota Komisi III DPR.

Dia pun menyayangkan si­kap Iwan yang sebelumnya me­ngaku menerima uang Ga­yus untuk kepentingan ber­obat istrinya. “Mana yang benar? Kalau di sidang jaksa dan hakim tidak bisa menghadirkan barang bukti berupa uang suap, itu ti­dak masalah,” tegasnya.

Bisa jadi, kepolisian dan ke­jaksaan gagal menyita barang bukti karena uangnya sudah habis dipakai oleh terdakwa. Yang jelas, prinsip dia, lepas dari terpenuhi atau tidaknya un­sur suap itu, bebasnya Gayus me­ninggalkan sel menjadi tanggung jawab Iwan.

Dia menilai, bebasnya Gayus meninggalkan selnya untuk plesiran ini dilatari pemberian uang maupun barang tertentu. Analoginya, sambung dia, apa­pun bentuk pemberian kepada aparat penegak hukum yang tengah menjalankan tugasnya, patut dicurigai. “Itu melanggar pasal gratifikasi,” tegasnya.

Ia meminta pencabutan kete­ra­ngan Iwan tidak menjadi ala­san untuk membuat penanganan kasus ini menjadi tersendat. “Di persidangan Gayus, perkara pe­n­­yuapan ini pasti akan ter­ja­wab,” ucapnya yakin.

Penyidik, Penuntut Dan Majelis Hakim Mesti Cermat
Bambang Widodo Umar, Pengamat Kepolisian

Upaya menyingkap kasus suap seringkali menemui ken­dala. Untuk itu, pemahaman me­ngenai prinsip pembuktian terbalik diperlukan aparat pe­negak hukum.

Bambang Widodo Umar, Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kepolisian UI me­ngemu­kakan, pada prinsipnya langkah pembuktian kasus penyuapan secara tunai lebih sulit ketim­bang kasus penyuapan melalui transaksi perbankan.

“Penyuapan lewat transaksi tunai bisa langsung memenuhi unsur pidana kalau pelakunya tertangkap tangan. Selain itu bisa juga dibuktikan lewat pe­ngumpulan keterangan saksi dan barang bukti secara kom­pre­hensif dan cermat,” ujarnya.

Sedikitnya, menurut dia, ha­rus ada pengakuan orang yang menyuap maupun menerima suap. Pengakuan itu juga masih harus didukung keterangan sak­si maupun barang bukti berupa uang yang menjadi alat untuk menyuap.

“Kendalanya banyak. Karena itu, penyidik maupun para pihak yang berkepentingan mengusut perkara suap, sedikit banyak ha­rus memahami dan menguasai metode azas pembuktian ter­balik, walau hal ini belum di­kenal dalam perundangan kita,” terangnya.

Dengan kata lain, kecermatan dan ketelitian menggali fakta le­wat informasi, kesaksian be­ri­kut menemukan hubungan tim­b­­al balik dalam kasus suap ini, menjadi salah satu kunci keber­hasilan menuntaskan kasus suap menggunakan transaksi tunai seperti pada kasus Gayus-Karutan Brimob.    [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA