Menurut Ketua KPK MuÂhamÂÂmad Busyro Muqoddas, tungÂÂgakan pajak itu tengah dikaji Wakil Ketua KPK Bidang PenÂcegahan Haryono Umar bersama pihak Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan.
“Nanti jika ada pejaÂbat terkait yang harus dimintai keterangan, ya kami hadirkan. Kami akan tanya duduk perÂmaÂsaÂlahannya,†kata dia seusai menghadiri seÂbuah seminar, kemarin, di Jakarta.
Busyro menambahkan, KPK masih mengkaji 14 perusahaan asing yang diduga belum memÂbayar pajak sebesar Rp 1,6 triliun tersebut. “Kami terus kemÂbangÂkan penelusuran ini agar semuaÂnya menjadi transparan dan akunÂtabel,†katanya.
Wakil Ketua KPK Bidang PenÂcegahan Haryono Umar kÂetika diÂhubungi
Rakyat Merdeka meÂngaÂtakan, pihaknya mendesak Ditjen Pajak untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) terÂhadÂap 14 perusahaan migas asing itu, sebelum tagihan terhadap meÂreka kedaluwarsa.
“Untuk urusan ekonominya, kami desak Ditjen Pajak untuk menagih utang pajak perusahaan-perusahaan itu. Tapi, jika ada inÂdikasi masalah hukumnya, tentu KPK yang akan menelusuri,†tandasnya.
Tetapi, Haryono menyatakan bahwa hingga kini pihaknya beÂlum menemukan unsur korupsi atau pemberian suap kepada peÂjabat Direktorat Jenderal Pajak. “Kami belum sejauh itu, tapi teÂrus kami telusuri apakah utang pajak sebesar itu ada praktik koÂrupsi atau tidak,†tandasnya.
Menurutnya, berdasarkan cataÂtan dari Badan Pengatur Hulu (BP) Migas, kerugian negara yang ditimbulkan akibat tidak diÂbayarnya pajak perusahaan-peÂrusahaan asing itu mencapai angÂka Rp 1,6 triliun.
Namun, HarÂyono memperÂkiraÂkan angka itu bisa lebih besar karena baru BP Migas melakukan pendataan. “Kemungkinan lebih besar itu pasti ada,†tegasnya.
Haryono mengatakan, berÂdaÂsarÂkan kesimpulan sementara, 14 perusahaan asing itu tidak memÂbayar pajak karena terjadi dispute atau perbedaan penghitungan paÂjak. Namun, jika penundaan memÂbayar pajak itu terus terjadi, Indonesia akan mengalami keruÂgian yang sangat besar.
Alhasil, Haryono khawatir terÂjadi permainan penyelenggara neÂgara terkait belum dibayarnya pajak itu. Haryono mengingatkan seperti kasus pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan yang meÂngatur pembayaran pajak seÂjumlah perusahaan. “Kita berÂhaÂrap jangan sampai kasus itu terulang kembali,†katanya.
Ketika ditanya, mengenai 14 perusahaan asing yang belum membayar pajak itu, Haryono meÂngaku tak bisa membeÂberÂkanÂnya, soalnya KPK terganjal Pasal 34 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP).
Menurutnya, pasal tersebut menghalangi KPK untuk menÂdaÂpatkan data dan informasi tentang 14 perusahaan asing migas yang tidak pernah membayar pajak. “Itulah masalahnya, aturan pasal itu membuat pengelolaan pajak menjadi tertutup dan tidak transÂparan,†ujarnya.
Menurut Haryono, lantaran pasal itu, Ditjen Pajak tidak mau menyerahkan informasi menÂgeÂnai 14 perusahaan asing yang beÂlum membayar pajak tersebut. SeÂhingga, sementara ini, KPK baru memegang data dari Badan Pengatur (BP) Hulu Migas meÂngenai perusahaan-perusahaan asing sektor migas yang meÂnunggak pajak.
Selain itu, katanya, data meÂngeÂnai pajak setiap perusahaan ini tidak bisa diketahui mÂaÂsyaÂrakat. PaÂdahal, lanjutnya, maÂsyaÂrakat meÂmiliki hak untuk meÂngeÂtahui lancar atau tidaknya setiap perusaÂhaan membayar pajak, karena ini menyangkut keuangan negara.
“Kecuali soal aset atau pendaÂpaÂtan perusahaan itu yang berÂsifat rahasia, barulah tidak meÂngapa tak diumumkan kepada masyarakat,†tandasnya.
Sementara itu, Direktur PeÂnyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Euis Fatimah tidak merespon pertanyaan yang diajukan
Rakyat Merdeka. Pesan singkat yang dikirim tak dibalas. Begitu pula ketika telepon genggamnya dihubungi, juga tak dijawab.
Khawatir Ada Gayus Jilid DuaAndi Anzhar Cakra Wijaya, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Andi Anzhar Cakra Wijaya meÂrasa prihatin mendengar dugaan tunggakan pajak 14 perusahaan asing di sektor minyak dan gas (migas). Pasalnya, sektor migas merupakan salah satu penÂdapatan pajak negara yang diprioritaskan.
Lantaran itu, Andi menÂduÂkung Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memanggil DirÂjen Pajak Fuad Rahmany. “Saya dorong KPK untuk memanggil Dirjen Pajak guna mengetahui akar permasalahan ini. Jangan sampai ada peristiwa Gayus TamÂbunan jilid kedua,†tandasnya.
Menurutnya, penegakan huÂkum yang berkaitan dengan paÂjak harus diprioritaskan KPK. Sebab, lanjut dia, maju tidaknya suatu negara tergantung dari beÂsarnya pajak yang diterima neÂgara. “Saat ini kita bicara tenÂtang penÂdaÂpatan negara yang sangat penÂting, tentu saja upaya pengakan hukum di bidang perpajakan harus jadi prioritas,†ucapnya.
Saking pentingnya, politisi PAN ini meminta KPK bekerÂjaÂsama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi KeÂuangan (PPATK) untuk meÂngeÂtahui, apakah ada tindak pidana pencucian uang di balik tungÂgaÂkan pajak ini.
Soalnya, kasus perpajakan biaÂsanya dibarengi dengan tinÂdak pidana pencucian uang. “BuÂktinya dapat kita lihat pada kasus mafia pajak. Selain melaÂkukan penyelewengan pajak, juga diduga melakukan tindak pencucian uang,†tandasnya.
Lantas, bagaimana sikap DPR melihat kasus tersebut? Apakah hanya berdiam diri saja? Anggota Panja Mafia PaÂjak DPR ini berjanji akan meÂneÂlusuri 14 perusahaan asing yang diduga menunggak pajak tersebut. “Kami di Panja sudah meÂmegang datanya dan saat ini sedang kami pelajari. Kalau terÂnyata Panja menemukan indiÂkasi korupsi, maka kita rekoÂmenÂdasikan agar KPK langsung tuntaskan,†tegasnya.
KPK Jangan Cuma Ngaku MenelusuriUchok Sky Khadafi, Aktivis FITRALSM Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta Komisi PemÂberanÂtaÂsan Korupsi serius menelusuri dugaan korupsi di balik tungÂgaÂkan pajak 14 perusahaan asing pada sektor migas.
Bukan seÂkaÂdar mengaku-ngaku menelusuri tunggakan pajak ini. Hal itu diÂsampaikan Koordinator InÂvesÂtiÂgasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi, kemarin.
“Kemungkinan adanya prakÂtik korupsi sangat terbuka lebar. Jumlahnya pun bisa jadi lebih dari 14 perusahaan, seÂperti apa yang diungkapkan reÂkan-rekan ICW ada 33 perusaÂhaan migas yang menunggak pajak,†katanya.
Dia pun mengingatkan KPK agar tak hanya melempar isu meÂngenai 14 perusahaan asing meÂnunggak pajak triliunan ruÂpiah. Uchok mengibau, KPK haÂrus bertanggung jawab deÂngan melakukan penelusuran meÂngenai dugaan korupsi di balik tunggakan pajak Rp 1,6 triliun itu. “Masyarakat saat ini butuh kepastian hukum soal perkara tersebut,†tandasnya.
Uchok juga merasa heran deÂngan sikap Direktorat Jenderal Pajak yang menolak memÂbeÂriÂkan data 14 perusahaan tersebut kepada KPK dengan mengÂguÂnaÂkan alasan Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
“Kalau alasannya itu, terus kaÂpan kasus perpajakan bisa diÂjelaskan secara transparan keÂpaÂda masyarakat. Kontrol maÂsyaÂrakat terhadap keuangan neÂgara sangat diperlukan,†tegasnya.
Karena itu, lanjut dia, hari ini (Rabu, 20/7) LSM FITRA akan menggelar konferensi pers meÂngeÂnai peristiwa itu. MenuÂrutÂnya, salah satu poin yang akan diangkat ialah mendesak DPR melakukan amandemen UnÂdang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, khuÂsusÂnya Pasal 34.
“Kalau terus tertutup, potensi perusahaan yang tidak pernah membayar pajak sejak puluhan tahun lalu sangat besar jadiÂnya,†kata dia.
[rm]
BERITA TERKAIT: