WAWANCARA

Soepriyadi Azhari: Kami Tak Ingin Kursi, Hukum Saja Pelakunya

Minggu, 10 Juli 2011, 01:13 WIB
Soepriyadi Azhari: Kami Tak Ingin Kursi, Hukum Saja Pelakunya
Soepriyadi Azhari

RMOL.Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu DPR diminta memeriksa bekas Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Mukthie Fadjar demi terang benderangnya kasus dugaan pemalsuan surat MK.

“Secara konspiratif telah terjadi mafia dalam penempatan kursi DPR tahap ketiga. Oknum­nya ada di MK dan KPU. Keja­hatan besar ini harus dibongkar, kerena telah merusak sistem dan tatanan demokrasi,” ujar Ketua Paguyuban Korban Mafia Pemilu DPR Tahap III, Soepriyadi Azhari, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Menurut Azhari, ketidakse­suaian antara penetapan KPU dan Amar putusan MK disebabkan adanya surat-menyurat dari Wakil Ketua MK yang saat dijabat Abdul Mukthie Fadjar  dengan anggota KPU.  

“Patut diduga ini menyebabkan 18 kursi haram di DPR. Kami ber­harap, Panja Mafia Pemilu se­rius membongkar adanya prak­tek mafia, dan membenahi sistem pemilu,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa Anda merasa Panja perlu memanggil Abdul Muk­thie Fadjar?     

Dia diduga berperan besar da­lam penghilangan 18 calon anggota DPR tahap ketiga. Sebab, KPU menjadikan surat yang dibuatnya sebagai dasar penetapan anggota DPR tahap ketiga, bukan putusan MK.

Selain melanggar konstitusi, ini bertentangan dengan hukum. Sebab, surat penafsiran terhadap putusan MK yang dibuat Mukti Fajar, sesuai dengan Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang sudah dicabut oleh Mahkamah Agung.

Bisa Anda jelaskan kronolo­gis­nya?

Tanggal 21 Agustus 2009, Mukhtie Fadjar selaku Wakil Ketua MK meminta KPU melak­sanakan 8 amar keputusan MK Nomor:74-94-80-59-67/PHPU.CVIII/2009. Kalau per­min­taan itu konsisten dan KPU menjalankannya, saya dan 17 orang lainnya terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014.    

Satu minggu kemudian, tiba-tiba nama kami hilang. Kami lang­sung mencari sebab-musa­babnya. Di sana kami menemu­kan adanya konspirasi mafia yang dilakukan oknum KPU dengan oknum MK. Mereka memani­pulasi tafsir atau menafsirkan kembali keputusan MK yang sudah terang-benderang.

Apa yang dimanipulasi itu?

Ketua KPU membuat surat kepada MK dan memberikan dua alternatif yang menanyakan ten­tang tata cara penempatan kursi DPR tahap ketiga berdasar­kan putusan MK. Namun, dua alter­natif yang diberikan itu, tidak satupun yang sesuai dengan amar putusan MK Nomor: 74-94-80-59-67/PHPU.CVIII/2009.

Kalau MK independen, seha­rusnya berpendapat bahwa amar putusan MK sudah jelas dan tegas. Tidak ada yang perlu di­perdebatkan lagi. Tapi mengapa membalas surat tersebut dan me­nunjuk alternatif pertama. Pada­hal, alternatif pertama itu subs­tansi sama dengan Pasal 29 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang telah dibatalkan oleh keputusan MK.

Kenapa Anda begitu yakin  berhak atas kursi tersebut?

Memang tidak menyebut nama. Namun, surat yang bibuat MK telah mengubah sistem dan mekanisme penetapan anggota DPR tahap ketiga.

Soal kenapa saya begitu yakin, karena saya membaca putusan MK dengan benar. Tidak usah sekolah tinggi-tinggi untuk me­nafsirkan putusan tersebut. Orang yang berpendidikan rendah pun dapat dengan mudah menafsir­kannya, karena semuanya sudah terang benderang.

Sekarang pertanyaannya, kenapa hal yang mudah ini dibuat sulit dan sulit dicerna, ya ada mafia­nya. Ada oknum di MK dan KPU yang mencari dan mendapat keuntungan atas hal ini.

Apa yang Anda harapkan dari Panja Mafia Pemilu DPR?

Kami sudah beberapa kali bertemu dengan Hakim Konsti­tusi, Akil Mochtar yang menga­takan, permasalahan ini harus ada solusinya dan kami sepakat akan hal itu.

Makanya, kami berharap Panja Mafia Pemilu segera memeriksa pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan ini. Menurut kami, per­masalahan ini tidak kalah penting dengan pemalsuan surat MK. Ini berkaitan dengan mekanisme dan sistem pemilu.

Kalau Anda terbukti benar, tapi tetap tidak dapat mendu­du­­ki kursi tersebut, bagai­mana?

Nggak masalah. Sejak dicura­ngi KPU dua tahun lalu, kami sudah tidak memikirkan lagi soal kursi di DPR. Tapi, kami tetap ge­ram dengan praktek mafia pemilu dan carut-marutnya pelaksanaan

Pemilu 2009. Intinya kami tak ingin kursi itu lagi, tapi kami ingin pelakunya dihukum.

Siapa saja orang yang terga­bung dalam paguyuban?

Selain saya, dalam paguyuban ini ada dua orang caleg dari Partai Hanura, yakni Sahril (Jawa Tengah) dan Farok Sunge (Jawa Barat). Ada anggota Partai Ge­rindra, Sapto Mur­ti­yono, dan Ke­tua Umum Partai Gerindra, Su­hardi (Jawa Tengah).

Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa, Dudung (Jawa Barat), politisi Partai Persatuan Pemba­ngunan, Marissa Haque (Jawa Barat), dan Par­tai Demokrat, Supomo. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA