Ada Aliran Dana Ke Bawahan, Jaksa Buru Tersangka Baru

Kasus Gratifikasi Rp 11,7 M Di Bea Cukai Juanda

Selasa, 05 Juli 2011, 07:21 WIB
Ada Aliran Dana Ke Bawahan, Jaksa Buru Tersangka Baru
Darmono
RMOL. Kejaksaan Agung (Kejagung) memburu tersangka baru kasus penerimaan gratifikasi Rp 11,7 miliar di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Bandara Juanda, Surabaya.  Jaksa menduga, ada dana mengalir ke kocek anak buah tersangka bekas Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Bandara Juanda, Surabaya, Argandiono.

Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan, dugaan keterlibatan anak buah Argandiono didasari data seputar aliran dana yang diterima jajarannya. Dia me­nyebut, hasil penelusuran jajar­annya mengindikasikan, anak buah tersangka ada yang diduga ikut menikmati uang hasil pe­me­rasan selama kurun enam tahun belakangan.

“Ada pihak lain yang diduga turut mencicipi duit hasil pe­merasan oleh tersangka Argan­dio­no selama tahun 2004-2010,” ujar­nya. Darmono bilang, sejauh ini ia belum bias memastikan be­rapa besar uang yang mengalir ke kocek anak buah tersangka. Na­mun demikian, ia memastikan, pi­haknya berusaha mengejar pelaku lain dalam kasus ini.

Ia menjelaskan, upaya me­nying­kap misteri keterlibatan pi­hak lain masih ditelusuri secara in­­tensif. “Saya memang belum bisa memastikan keterlibatan pi­hak lain. Tapi, kami melakukan pe­nyisiran dari aliran uang nya dulu. Dari sana kemungkinan bertambahnya tersangka akan ke­lihatan,” tandasnya.

Anggota Satgas Mafia Hukum ini juga mengaku belum menge­ta­hui apa yang menjadi dasar Ke­ja­gung tidak melaksanakan pe­nahanan terhadap tersangka Ar­gandiono. Lantas, kapan Korps Adhyaksa memeriksa Argandiono dalam kapasitas tersangka kasus ini? Darmono juga mengatakan tak mengetahui hal itu secara per­sis. Dia menjanjikan akan me­nanyakan hal ini kepada jajaran Pidsus terlebih dulu.

Darmono menegaskan, belum adanya penahanan serta pence­gah­an tersangka, bukan sebagai hal yang disengaja. Kemung­kin­an besar, lanjutnya, penyidik Jam­pidsus masih memerlukan pe­ngembangan penyidikan atas ka­sus tersebut. Senada dengan Dar­mono, Kepala Pusat Pene­rang­an Hukum (Kapuspenkum) Ke­jagung Noor Rochmad me­nya­takan, pihaknya tengah meng­incar anak buah Argandiono yang diduga ikut serta menerima gratifikasi Rp 11,7 miliar.

“Penyelidikan kasus ini terus di­kembangkan. Jika ada fakta yang mengarah pada orang lain dan orang itu ikut bertanggung ja­wab dalam penerimaan grati­fi­ka­si tersebut, akan kami tindak,” tegasnya. Noor mengaku sanksi jika Argandiono melaksanakan ke­jahatan ini seorang diri. Sebab menurutnya, kejahatan tersebut berjalan sangat rapi alias nyaris tak mengundang kecurigaan banyak pihak selama enam tahun.

Menurut Noor, kasus ini ter­kuak setelah ada laporan salah se­orang pengusaha Surabaya. Pe­ngusaha itu merasa terbebani oleh biaya tambahan setiap mengirim barang ekspor-impor yang lewat Bandara Juanda. Dia melaporkan persoalan itu langsung ke Ke­jagung. “Maaf, kami tak bisa ung­kap siapa pengusaha itu,” tan­dasnya.

Karena dugaan melakukan tindakan itu, Argandiono dituduh melanggar pasal 11 dan 12 Un­dang-Undang Tindak Pidana Ko­rupsi. “Penetapan sebagai ter­sang­ka dilaksanakan Kamis, lalu,” ucapnya. Mengenai  ma­sa­lah penyidik yang belum me­na­han Argiandono, Noor men­jelas­kan, pihaknya masih menunggu per­kembangan penyidikan. “Ka­mi belum bisa melakukannya saat ini. Kami yakin dia tidak akan kabur kemana-mana,” tegasnya.

Menanggapi penetapan status tersangka terhadap pimpinan Bea Cukai Juanda Surabaya, Juru Bicara Di­jen Bea Cukai Rinto Setiawan tidak mau bicara panjang lebar. Dikonfirmasi mengenai perkara yang melilit salah satu pimpinan lem­baganya, ia memilih me­nye­rahkan langkah hukum atas kasus ini kepada kejaksaan.

Dia juga memastikan, sejauh ini Bea Cu­kai sudah menjalankan prinsip keterbukaan dalam me­lak­sa­na­kan seluruh kebijakan peme­rin­tah. Artinya, sambung dia, Bea Cu­kai senantiasa ber­usaha me­matuhi setiap peraturan yang ada. “Ka­lau ada temuan pe­langgaran hu­kum oleh aparat kami tentu akan kita serahkan ke lembaga yang berkompeten menangani ma­salah itu,” te­rangnya.

SDM Kita Tidak Mumpuni
Adhie Massardi, Aktivis GIB

Aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi me­nilai, terjadinya tindak pi­dana gratifikasi pada Bea Cukai bukan dipicu lemahnya per­aturan lembaga tersebut. Me­lain­kan, karena tidak adanya personil yang meng­awasi jalannya peraturan. Ka­rena itu, Adhie menilai, wajar jika di lembaga sekelas Bea Cu­kai pun masih ada praktik gra­tifikasi yang melibatkan oknum internalnya.

“Saya yakin peraturan Bea Cukai ketat. Tapi, sayangnya tak didukung SDM mumpuni un­tuk menjalankan rule of the game nya,” katanya.

Adhie memberi contoh kasus ko­rupsi alih fungsi hutan lin­dung yang akan dijadikan lahan industry, menurutnya, modus yang dilakukan sama dengan pe­nyuapan terhadap oknum di Imigrasi dan Bea Cukai. “Men­ja­dikan hutan sebagai lahan in­dustri itu kan butuh izin yang tidak mudah. Tapi dengan meng­gunakan uang yang besar, akhirnya petugas kehutanan jadi lunak hati dan meloloskan permintaan penerbitan izin tersebut,” tandasnya.

Menurut Adhie, korupsi da­lam pengurusan ekspor dan impor di Bea Cukai dilatar­be­la­kangi keinginan untuk mem­percepat waktu pengurusan. Di sam­ping itu, kekhawatiran  masyarakat jika tidak memberi uang akan diperlakukan seme­na-mena oleh petugas menjadi celah untuk mengeruk keun­tung­an pribadi.

Karena itu Adhie ber­pen­dapat, Bea Cukai sebagai pintu masuk jalur perdagangan me­matuhi aturan main yang ber­laku. Dirinya juga berharap Ko­misi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) juga mening­kat­kan pengawasan di Bea Cukai manapun.

“Menangkap hakim yang terima suap saja mereka bisa, seharusnya menangkap para ok­num Bea Cukai juga harus bisa dilakukan,” katanya.

Bisa Melarikan Diri ke Luar Negeri
Desmond Junaidi Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Komisi III DPR menilai aneh jika Kejaksaan Agung belum melakukan penahanan terhadap bekas Kepala KPPBC Bandara Juanda Argandiono. Padahal, Kejagung sudah me­nyam­pai­kan ke publik tentang status ter­sangka ini.

“Ini menimbulkan perta­nya­an besar pada kita semua, apa yang terjadi di internal Ke­jagung. Apakah memang Ke­ja­gung memberikan ruang ke­pada tersangka untuk kabur ke luar negeri,” ujar anggota Ko­misi III DPR Desmond J Ma­hesa kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut Desmond, mela­ku­kan penahanan terhadap ter­sang­ka bukanlah hal sulit. Ke­napa? Karena tersangka dalam kasus ini bukanlah pejabat ne­gara yang harus menda­patkan izin terlebih dahulu dari Pre­siden. “Secata prosedural dan administratif, tidak sulit untuk melakukan penahanan. Ketika sudah diumumkan menjadi ter­sangka, harusnya ada tindakan hukum juga dari Kejagung berupa penahanan,” ujarnya.

Politisi Gerindra ini kha­wa­tir, tanpa ada penahanan ter­ha­dap tersangka, institusi Ke­ja­gung akan kembali diper­ma­lukan. Maksudnya?  Selama ini, kata Desmond, contoh kasus yang tersangkanya sudah ditetapkan oleh Kejagung tapi belum ditahan itu banyak.

“Dan yang terjadi, karena tidak ada upaya penahanan dari Kejagung terhadap tersangka. Maka tersangka melarikan diri ke luar negeri. Akhirnya pe­nun­tasan kasus tersebut jadi ber­larut,” ungkapnya.  Dalam ka­sus ini, sambung Desmond, ka­lau Kejagung tidak ingin kem­bali dipermalukan karena kiner­janya yang lamban,  maka Kejagung harus belajar dari masa lalu.

“DPR sendiri padahal sedang berupaya untuk mengem­ba­likan kewenangan dan citra Ke­jagung yang sempat ter­puruk. Kami ingin Kejagung lebih baik dari KPK,” imbuhnya.    [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA