Jumhur Hidayat: Kami Minta AAI Mendampingi Penanganan Kasus Sumartini

Sabtu, 02 Juli 2011, 08:51 WIB
Jumhur Hidayat: Kami Minta AAI Mendampingi Penanganan Kasus Sumartini
Jumhur Hidayat
RMOL. Kebijakan pemerintah Arab Saudi yang menghentikan pemberian visa kepada TKI patut didukung demi suksesnya moratorium.

“Itu adalah respons terhadap kebijakan moratorium yang kita ambil. Ya bagus dong kalau Arab Saudi tidak memberikan visa terhadap TKI,” tegas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, seusai penandatanganan kerja sama antara BNP2TKI dengan Asosiasi Advokat Indo­nesia (AAI),  di kantor pusat DPP AAI, Jakarta, Kamis (30/6).

Sementara Ketua Umum DPP AAI, Humphrey Djemat menga­takan, pihaknya merasa ter­panggil untuk melakukan kerja sama dengan BNP2TK dalam penanganan masalah TKI di luar negeri.

“TKI merupakan masalah na­sional yang memerlukan per­hatian dan dukungan semua pihak,’’ ujar Humphrey.

Selain itu, lanjutnya, masalah TKI ini sudah menyangkut har­kat, martabat, hak asasi manusia, dn perlindungan hukum.

“AAI ingin memberikan kon­tribusi secara konkret, bukan hanya wacana belaka dalam pe­nanganan masalah TKI,’’ katanya.

Apalagi, kata Humphrey,  ini amanat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU itu disebutkan bahwa advo­kat wajib memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada ma­sya­rakat yang membutuhkannya, terutama yang kurang mampu.   

Jumhur selanjutnya mengata­kan, kalau Arab Saudi tetap mem­berikan visa kepada TKI, maka yang ter­­jadi TKI bisa da­tang ke sana dengan ber­bagai caranya. Salah satunya dengan transit ke satu negara lalu melan­jutkan per­ja­lanan ke Arab Saudi.

“Kalau cara seperti ini sangat berbahaya. Sebab, pekerja itu ti­dak berdokumen,” ungkap­nya.

Berikut kutipan se­leng­kapnya;

Apakah ini pem­­­­balasan ter­­­hadap mo­ra­to­rium yang di­­ke­luar­kan pe­merintah Indo­ne­sia?
Saya rasa itu bukan pembala­san tapi mendukung kebijakan kita. Misalnya, kita melarang TKI ke Arab Saudi, tapi karena orang  itu punya visa, dia bisa melalui Malaysia atau Singapura berang­kat ke Arab Saudi untuk bekerja, itu kan tidak boleh. Jadi morato­rium yang kita buat akan efektif kalau Arab Saudi bisa mendu­kung dengan tidak mengeluarkan visa kerja.

Bagaimana dengan TKI yang sudah ada di Arab Saudi?
Kebijakan pemerintah Arab Saudi itu tidak berpengaruh kepada TKI  yang sudah berada di sana. Kalau mereka senang bekerja di Arab Saudi, kontrak mereka akan diperpanjang.  

Sumartini terancam hukum pancung, apa Anda sudah men­dapat laporan?
Sudah ada laporannya dari pihak KBRI sejak bulan Maret 2011. Saya sudah bertemu de­ngan Sumartini dan pihak penga­dilan di sana. Saat ini, Duta Besar Indonesia di Arab Saudi sudah mengirimkan surat kepada pihak kerajaan, meminta pengampunan terhadap Sumartini. Namun yang pasti, saat ini pengacara yang ditunjuk oleh pihak KBRI sedang naik banding. Kita tunggu saja prosesnya.

Apakah ini belum terlambat, karena Sumartini dikabarkan dipancung 3 Juli 2011?
Saya rasa tidak terlambat. Ini kan masih putusan pengadilan banding di mahkamah tingkat dua, sehingga tidak langsung diputus, lalu diterima menjadi hukuman pancung yang selama ini diberitakan.

Apa yang sudah dilakukan agar tidak terjadi lagi TKI di­hukum pancung?
Kami mengupayakan dua hal. Pertama, kami mengupayakan agar pihak kerajaan Arab Saudi memaafkan. Kedua, kami terus berusaha untuk memberikan pem­buktian bahwa Sumiartini tidak bersalah.

Menurut pengacara kami di Arab Saudi, tuduhan terhadap Sumiartini sangat sumir. Sebab, dia dituduh menyihir kemudian memberikan racun kepada anak majikannya, sehingga me­ninggal. Tuduhan sihir, menurut penga­cara kami merupakan tu­duhan yang tidak memiliki bukti hukum kuat. Kami yakin dia tidak mela­kukan sihir seperti yang ditu­duhkan.

Upaya banding ini akan mem­­berikan dampak positif da­lam kasus tersebut?
Tuduhan itu harus dibuktikan apakah benar atau tidak, karena sebuah tuduhan harus berdasar­kan alat bukti. Kita akan lihat apa yang dituntut oleh penga­dilan. Kami meminta AAI untuk mem­bantu dalam masalah itu, teru­tama dalam bentuk pendam­pingan.

Kenapa kerja sama dengan AAI dilakukan sekarang?
Saya berkeyakinan better late than never masih berlaku, tapi yang pasti kita bukannya tidak menggunakan bantuan-bantuan hukum dalam kasus TKI yang bermasalah. Selama ini bantuan-bantuan hukum yang kita pakai masih bersifat parsial. Tidak secara integratif menjadi perjua­ngan bersama.

Selama ini penanganannya kasuistik saja. Begitu ada kasus, kita meminta pengacara, baik di dalam maupun luar negeri. Tapi dengan adanya kerja sama de­ngan AAI, kita bukan hanya men­dapatkan bantuan-bantuan hu­kum saja, tapi juga nasihat untuk pemerintah terkait dengan materi hukum yang sedang menjerat TKI.

Apa AAI ikut menelusuri pe­malsuan dokumen TKI yang sering terjadi?
Saya berharap AAI bisa mem­bantu pemerintah dalam menda­pat­kan bukti-bukti pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Tapi bukti-bukti itu akan kita laporkan kepada pihak kepolisian untuk dilakukan penegakan hukum.

Saya mengharapkan ada advo­kat intelijen terkait permasalahan pemalsuan dokumen untuk bisa didapatkan data secara kompre­hensif dan mendetail. Terus terang kami tidak masuk secara detail mengenai otak pemalsuan doku­men tersebut. Sebab, doku­men yang kami terima sesuai dengan data pribadi TKI yang diperbaiki.

Namun setelah kami cek, ternyata usianya dipalsukan dan berbagai modus lainnya. Untuk itu harus dilacak secara tuntas, apakah dilakukan oleh kepala desa atau ada oknum yang me­mal­sukan. Intinya harus ditemu­kan bukti-bukti pemalsuan agar bisa diserahkan ke aparat hu­kum.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA