Polemik pembangunan geÂdung perwakilan DPD membuat Ketua DPR Marzuki Alie dan Wakil Ketua DPD La Ode Ide bersitegang. Tak Tanggung-tangÂgung, La Ode minta Komisi PemÂberantasan Korupsi (KPK) turun tangan guna menemukan dugaan mark-up proyek.
“DPD sejak periode pertama sudah ada kesepakatan dengan KPK. Kecuali memberi masukan tenÂtang masalah korupsi di daeÂrah, KPK juga bisa memantau. Kita terbuka dipantau. Tidak ada
problem sama sekali,†ujar La Ode.
Ia merinci, anggaran pembaÂnguÂnan kantor DPD di 33 proÂvinsi menghabiskan biaya Rp 823 miliar. Ia membantah jika ongkos pembangunan gedung per meter persegi menelan Rp 10 juta seÂperÂti yang dilansir Ketua Marzuki Alie. “Harganya bukan Rp 10 juta per meter persegi. Itu hanya menÂdramatisir. Yang ada Rp 3,27 juta. Jadi semua
clear,†tegas senator asal Sulawesi Tenggara itu.
Bahkan sambungnya, DPD sudah menuangkan keterangan mengenai ini dalam buku
PetunÂjuk Teknis Pembentukan Kantor DPD RI di Seluruh Indonesia. “Karena itu, Marzuki harus meÂnunjukkan bukti adanya mark up. Kalau berdasarkan dugaan, itu tiÂdak pas diungkapkan. Lebih baik bertanya pada Sekjen DPD untuk mengetahui benar atau tidaknya tuduhan itu,†imbuhnya.
Sekjen DPD Siti Nurbaya senÂdiri menjamin, penggunaan angÂgaÂran proses tender hingga peÂnyeÂlesaian proyek akan dilakÂsaÂnaÂkan secara transparan. “Saya beÂrani jamin tak ada mark up,†tandasnya seraya menambahkan, pada pemeriksaan BPK, DPD seÂlalu menempati rangking terÂtingÂgi dalam penilaian wajar tanÂpa peÂngecualian (WTP).
Siti menjelaskan, harga satuan untuk pembangunan gedung yang ditetapkan DPD Rp 3,248 juta per meter persegi. Akumulasi harga itu diperuntukan bagi pemÂbangunan gedung seluas 2628,75 meter persegi. Gedung tersebut memiliki ruang utama anggota berÂÂsama sekretariat dan staf, ruang penunjang seperti ruang rapat dan ruang serbaguna serta ruang penunjang sekunder.
Disampaikan, asumsi harga pembangunan dibagi dua kategoÂri, yakni pekerjaan standar dan peÂkerjaan non standar. SpesiÂfiÂkasi pekerjaan standar mencakup pekerjaan pondasi, kolong, atap, langit-langit, dinding dan lain-lain. Sedangkan spesifikasi peÂkerjaan non standar mencakup tata suara, telepon, instalasi IT, fasilitas penyandang cacat, alat penangkal petir dan sebagainya.
Dikategorikan, jika luas geÂdung 2000 meter persegi, maka kebutuhan dana untuk pekerjaan standar menyedot dana Rp 398 miliar dan Rp 400 miliar untuk pekerjaan non standar.
“Pendistribusian anggaran ke provinsi nilainya pun bervariasi Rp 15 miliar-Rp 41 miÂliar,†teÂrangnya. Dijelaskan, unÂtuk SeÂmaÂrang, Kendari dan padang daÂnanya mencapai Rp 15 miliar - Rp 16 miliar. Tapi untuk DKI JaÂkarta bisa Rp 18 miliar. SeÂdangÂkan untuk wilayah Papua, MaÂnokÂwari, Jayapura diÂtakÂsir menÂcapai Rp 40 miliar-Rp 41 miliar.
“Rata-rataÂnya Rp 20 miliar-Rp 21 miliar. Maka kalau diÂtaÂnya harÂga satuan per meter perÂsegiÂÂnya diÂperÂoleh angka Rp 3,248 juta.â€
Kendati demikian, Marzuki yang mengaku dapat bocoran duÂgaan mark up dari internal DPD bersikukuh. Ia tetap menduÂga adanya pembengkakan angÂgaÂran dalam proyek ini. “Harga per meter perseginya tidak masuk akal dibandingkan fisik gedung yang dibangun. Dengan anggaran Rp 30 miliar per gedung, hitung-hitungannya Rp10 juta per meter. Padahal rencana pembangunan Gedung DPR baru berlantai 36 lantai yang diprotes keras maÂsyaÂrakat, tiap meter hanya menelan biaya Rp 6 juta. Ini sangat tidak wajar,†tuturnya.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Ucok Sky Khadafi menguatkan argument Marzuki. Menurutnya, data tentang pemÂbangunan gedung yang didapat dari Rencana Kerja Anggaran (RKA) DPD Tahun 2011 meÂnyeÂbutkan, DPD akan membangun 33 kantor perwakilan yang meÂnelan anggaran Rp 825 miliar. Setiap pembangunan gedung, katanya, menghabiskan anggaran Rp 25 miliar.
Dari data yang diperolehnya, ia menyebut, kantor seluas 2352 meÂter persegi itu akan dibangun emÂpat lantai. “Dalam hitung-hiÂtuÂngannya, pembangunan tiap meter persegi menelan dana Rp 10 juta, itu kelewat mahal,†teÂgasnya. SeÂharusnya, biaya norÂmal pembaÂngunan gedung adalah Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter persegi.
Belajar dari Pengalaman DPRAndi Anzhar Cakrawijaya, Anggota Komisi III DPRAnggota DPR Komisi III Andi Anzhar Cakrawijaya menilai, pembangunan gedung baru DPD di 33 provinsi perlu dievaluasi ulang. Hal itu dilaÂkukan agar tidak menimbulkan polemik seperti yang terjadi pada proyek pembangunan gedung baru DPR.
Menurut Politisi PAN ini, proÂses evaluasi gedung harus diserahkan ke Kementerian PeÂkerjaan Umum dan KemenÂterian Perumahan Rakyat yang berwenang melakukan peniÂlaian. Sehingga, penyusunan angÂgaran pembangunan geÂdung baru yang ditentukan, tiÂdak salah. “Sebab kalau ini terus dijadikan polemic jadinya tidak produktif,†katanya.
Andi tidak mau buru-buru meÂngatakan ada upaya pengÂgeÂlembungan harga pemÂbaÂnguÂnan gedung tersebut. Sebab, kaÂtaÂnya, yang mempunyai keweÂnangan melakukan penilaian ialah Badan Pemeriksa KeÂuangan (BPK). “Makanya saya harap BPK tak tinggal diam dengan munculnya wacana ini,†tandasnya.
Ia meminta BPK segera meÂlakukan audit khusus terkait hal ini. Nantinya, hasil audit itu sambungnya, bisa menjadi perÂtimbangan khusus bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti temuan duÂgaÂan penyelewengan.
“KPK tidak bisa berbuat apa-apa kalau seÂbelumnya tidak ada laporan yang masuk pada meÂreka,†ujarnya.
Andi pada prinsipnya setuju dengan pembangunan gedung perwakilan DPD selama tidak menyedot pembiayaan masuk kategori yang wajar “Kita belajar pada kasus sebelumnya seperi proyek pembangunan gedung baru DPR yang semula diÂperkirakan butuh Rp 1,3 triÂÂliun, setelah dievaluasi ulang harganya bisa ditekan jadi Rp 777 miliar,†ucapnya.
Artinya, ucap dia, setelah diÂevaluasi oleh pihak yang berÂkomÂpeten, diperoleh pengheÂmaÂtan anggaran. Andi menamÂbahkan, saat ini lebih baik seÂmua pihak mendorong agar keÂweÂnangan DPD bisa ditingÂkatÂkan. Peningkatan kinerja DPD ini jelas dia, bias dilaksanakan dengan cara mengamandemen konstitusi.
“Dengan demikian DPD betul-betul mampu memÂperÂjuangÂkan aspirasi daerah. KeÂtimbang rebut membangun geÂdung di daerah yang pemÂbaÂnguÂnannya menghabiskan dana hampir Rp 1 triliun sementara manfaatnya belum jelas, ya harus dievaluasi secara meÂnyeluruh terlebih dulu,†imÂbuhnya.
[rm]
BERITA TERKAIT: