Biaya Pembangunan Gedung Perwakilan DPD Membengkak

DPD Jamin Tak Ada Mark Up

Kamis, 30 Juni 2011, 07:05 WIB
Biaya Pembangunan Gedung Perwakilan DPD Membengkak
RMOL. Ketua DPR Marzuki Alie menilai, pembangunan Gedung Perwakilan DPD di 33 Provinsi  berpotensi merugikan keuangan negara. Tapi Wakil Ketua DPD La Ode Ida bersikukuh, dugaan mark-up proyek pembangunan yang menyedot dana Rp 30 miliar tiap gedung  tak berdasar.

Polemik pembangunan ge­dung perwakilan DPD membuat Ketua DPR Marzuki Alie dan Wakil Ketua DPD La Ode Ide bersitegang. Tak Tanggung-tang­gung, La Ode minta Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) turun tangan guna menemukan dugaan mark-up proyek.

“DPD sejak periode pertama sudah ada kesepakatan dengan KPK. Kecuali memberi masukan ten­tang masalah korupsi di dae­rah, KPK juga bisa memantau. Kita terbuka dipantau. Tidak ada problem sama sekali,” ujar La Ode.

Ia merinci, anggaran pemba­ngu­nan kantor DPD di 33 pro­vinsi menghabiskan biaya Rp 823 miliar. Ia membantah jika ongkos pembangunan gedung per meter persegi menelan Rp 10 juta se­per­ti yang dilansir Ketua Marzuki Alie. “Harganya bukan Rp 10 juta per meter persegi. Itu hanya men­dramatisir. Yang ada Rp 3,27 juta. Jadi semua clear,” tegas senator asal Sulawesi Tenggara itu.

Bahkan sambungnya, DPD sudah menuangkan keterangan mengenai ini dalam buku Petun­juk Teknis Pembentukan Kantor DPD RI di Seluruh Indonesia.  “Karena itu,  Marzuki harus me­nunjukkan bukti adanya mark up. Kalau berdasarkan dugaan, itu ti­dak pas diungkapkan. Lebih baik bertanya pada Sekjen DPD untuk mengetahui benar atau tidaknya tuduhan itu,” imbuhnya.

Sekjen DPD Siti Nurbaya sen­diri menjamin, penggunaan ang­ga­ran proses tender hingga pe­nye­lesaian proyek  akan dilak­sa­na­kan secara transparan. “Saya be­rani jamin tak ada mark up,” tandasnya seraya menambahkan, pada pemeriksaan BPK, DPD  se­lalu menempati rangking ter­ting­gi dalam penilaian wajar tan­pa pe­ngecualian (WTP).

Siti menjelaskan, harga satuan untuk pembangunan gedung yang ditetapkan DPD Rp 3,248 juta per meter persegi. Akumulasi harga itu diperuntukan bagi pem­bangunan gedung seluas 2628,75 meter persegi. Gedung tersebut memiliki ruang utama anggota ber­­sama sekretariat dan staf, ruang penunjang seperti ruang rapat dan ruang serbaguna serta ruang penunjang sekunder.

Disampaikan, asumsi harga pembangunan dibagi dua katego­ri, yakni pekerjaan standar dan pe­kerjaan non standar. Spesi­fi­kasi pekerjaan standar mencakup pekerjaan pondasi, kolong, atap, langit-langit, dinding dan lain-lain. Sedangkan spesifikasi pe­kerjaan non standar mencakup tata suara, telepon, instalasi IT, fasilitas penyandang cacat, alat penangkal petir dan sebagainya.

Dikategorikan, jika luas ge­dung 2000 meter persegi, maka kebutuhan dana untuk pekerjaan standar menyedot dana Rp 398 miliar dan Rp 400 miliar untuk pekerjaan non standar.

“Pendistribusian anggaran ke provinsi nilainya pun bervariasi Rp 15 miliar-Rp 41 mi­liar,” te­rangnya. Dijelaskan, un­tuk Se­ma­rang, Kendari dan padang da­nanya mencapai Rp 15 miliar - Rp 16 miliar. Tapi untuk DKI Ja­karta bisa Rp 18 miliar. Se­dang­kan untuk wilayah Papua, Ma­nok­wari, Jayapura di­tak­sir men­capai Rp 40 miliar-Rp 41 miliar.

“Rata-rata­nya Rp 20 miliar-Rp 21 miliar. Maka kalau di­ta­nya har­ga satuan per meter per­segi­­nya di­per­oleh angka Rp 3,248 juta.”

Kendati demikian,  Marzuki yang mengaku dapat bocoran du­gaan mark up dari internal DPD bersikukuh. Ia tetap mendu­ga adanya pembengkakan ang­ga­ran dalam proyek ini. “Harga per meter perseginya tidak masuk akal dibandingkan fisik gedung yang dibangun. Dengan anggaran Rp 30 miliar per gedung, hitung-hitungannya Rp10 juta per meter. Padahal rencana pembangunan Gedung DPR baru berlantai 36 lantai yang diprotes keras ma­sya­rakat, tiap meter hanya menelan biaya Rp 6 juta. Ini sangat tidak wajar,” tuturnya.

Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Ucok Sky Khadafi menguatkan argument Marzuki. Menurutnya, data tentang pem­bangunan gedung yang didapat dari Rencana Kerja Anggaran (RKA) DPD Tahun 2011 me­nye­butkan,  DPD akan membangun 33 kantor perwakilan yang me­nelan anggaran Rp 825 miliar. Setiap pembangunan gedung, katanya, menghabiskan anggaran Rp 25 miliar.

Dari data yang diperolehnya, ia menyebut, kantor seluas 2352 me­ter persegi itu akan dibangun em­pat lantai. “Dalam hitung-hi­tu­ngannya, pembangunan tiap meter persegi menelan dana Rp 10 juta, itu kelewat mahal,” te­gasnya. Se­harusnya, biaya nor­mal pemba­ngunan gedung adalah Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter persegi.

Belajar dari Pengalaman DPR
Andi Anzhar Cakrawijaya, Anggota Komisi III DPR

Anggota DPR Komisi III Andi Anzhar Cakrawijaya menilai, pembangunan gedung baru DPD di 33 provinsi perlu dievaluasi ulang. Hal itu dila­kukan agar tidak menimbulkan polemik seperti yang terjadi pada proyek pembangunan gedung baru DPR.

Menurut Politisi PAN ini, pro­ses evaluasi gedung harus diserahkan ke Kementerian Pe­kerjaan Umum dan Kemen­terian Perumahan Rakyat yang berwenang melakukan peni­laian. Sehingga, penyusunan ang­garan pembangunan ge­dung baru yang ditentukan, ti­dak salah. “Sebab kalau ini terus dijadikan polemic jadinya tidak produktif,” katanya.

Andi tidak mau buru-buru me­ngatakan ada upaya peng­ge­lembungan harga pem­ba­ngu­nan gedung tersebut. Sebab, ka­ta­nya, yang mempunyai kewe­nangan melakukan penilaian ialah Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK). “Makanya saya harap BPK tak tinggal diam dengan munculnya wacana ini,” tandasnya.

Ia meminta BPK segera me­lakukan audit khusus terkait hal ini. Nantinya, hasil audit itu  sambungnya, bisa menjadi per­timbangan khusus bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti temuan du­ga­an penyelewengan.

“KPK tidak bisa berbuat apa-apa kalau se­belumnya tidak ada laporan yang masuk pada me­reka,” ujarnya.

Andi pada prinsipnya setuju dengan pembangunan gedung perwakilan DPD selama tidak menyedot pembiayaan masuk kategori yang wajar “Kita belajar pada kasus sebelumnya seperi proyek pembangunan gedung baru DPR yang semula di­perkirakan butuh Rp 1,3 tri­­liun, setelah dievaluasi ulang harganya bisa ditekan jadi Rp 777 miliar,” ucapnya.

Artinya, ucap dia, setelah di­evaluasi oleh pihak yang ber­kom­peten, diperoleh penghe­ma­tan anggaran. Andi menam­bahkan, saat ini lebih baik se­mua pihak mendorong agar ke­we­nangan DPD bisa diting­kat­kan. Peningkatan kinerja DPD ini jelas dia, bias dilaksanakan dengan cara mengamandemen konstitusi.

“Dengan demikian DPD betul-betul mampu mem­per­juang­kan aspirasi daerah. Ke­timbang rebut membangun ge­dung di daerah yang pem­ba­ngu­nannya menghabiskan dana hampir Rp 1 triliun sementara manfaatnya belum jelas, ya harus dievaluasi secara me­nyeluruh terlebih dulu,” im­buhnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA