Indonesian Corruption Watch atau ICW dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JiÂkalahari) menilai KPK tebang pilih, karena belum melakukan peÂnahanan terhadap mereka.
Peneliti ICW Tama S Langkun meÂnyebut, dalam kasus dugaan koÂrupsi tersebut ada tiga terÂsangÂka ditetapkan oleh KPK. Yaitu, BuÂpati Kampar Burhanudin HuÂsin, Bekas Kadishut Riau SyuÂhada Tasman dan Asrar Rahman. KeÂtiganya dinyatakan sebagai terÂsangka sejak Juni 2008, dan diÂnilai harus bertanggung jawab atas penilaian dan pengesahan RenÂcana Kerja Usaha PemanÂfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan TaÂnaman (RKT UPHHKHT) di KaÂbupaten Pelalawan, Riau tahun 2001-2006 senilai Rp 1,3 triliun.
Namun, anehnya baru satu tersangka saja yang diproses huÂkum. Asrar Rahman sudah diÂvonis lima tahun penjara oleh maÂjelis hakim Pengadilan Tipikor, pada 5 November 2010. SeÂdangÂkan yang dua lagi, belum diapa-apain.
“Kami mempertanyakan diÂmaÂna masalahnya. Mengapa sampai saat ini mereka tak kunjung diÂtahan,†kata Tama.
ICW mendapat kabar, salah satu di antara dua tersangka itu diÂkabarkan akan mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah alias bupati di wilayahnya. “PenÂcaÂlonan akan dilakukan pada OkÂtoÂber 2011. Padahal dia terÂsangka,†ujarnya.
Informasi lain, ada juga terÂsangÂka yang bisa berangkat ke luar negeri. ICW mendapat kabar, di antara mereka ada yang bisa umrah dan pergi ke Korea SeÂlatan.
Tama menyatakan hal itu tak bisa dibiarkan. Dia mendesak pimÂpinan KPK mengevaluasi haÂsil penyidikan. Seharusnya, peÂneÂtapan status sebagai tersangka, diÂikuti dengan status cekal.
Sementara aktivis Jikalahari, SuÂsanto Kurniawan berharap KPK tidak berlarut-larut menyeÂleÂÂsaikan perkara ini. Susanto khaÂwaÂtir jika tersangka sampai diÂbiarkan nyalon di Pilkada bisa jaÂdi ajang politisasi proses peÂneÂgakkan hukum.
Karohumas KPK Johan Budi SP menepis tuduhan lembaganya teÂbang pilih. Dia bilang proses huÂkum para tersangka kasus itu masih berjalan. Tidak ada yang mandeg.
Kenapa dua tersangka belum diÂtahan dan dicekal? Johan meÂnyaÂtakan, menunggu penuntasan proÂses hukum terhadap salah seÂorang tersangka yang lain. Dalam kasus tersebut, salah seorang buÂpati ditetapkan sebagai tersangka, sejak 25 Maret lalu. Kini terÂsangÂka tersebut telah ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. “Fokusnya maÂsih menyeÂlesaikan proses huÂkum dia. KaÂrena, para terÂsangka ini saling berkaitan,†tandasnya.
Pidanakan Pembalak Liar!Murady Darmansjah, Anggota Komisi IV DPRAnggota Komisi IV DPR Murady Darmansyah mengaku tidak heran menanggapi laÂporan kasus hutan yang jalan di temÂpat. Dari fenomena itu, KoÂmisi IV DPR berinisiatif memÂbentuk legislasi baru yang lebih greÂget dan tegas dalam meÂlinÂdungi hutan Indonesia.
“Bicara kasus perusakan huÂtan, di meja Komisi IV DPR baÂnyak sekali laporan yang maÂsuk. Baik tentang kasus lama mauÂpun kasus sedang terjadi dan baru dilaporkan,†jelasnya keÂpada
Rakyat Merdeka, keÂmarin.
Namun sambungnya, posisi DPR menanggapi laporan yang maÂsuk hanya sebatas meninÂdakÂlanjuti dan mengawasi
proÂgres ke depannya. Sebab ketika perÂsoalan hutan sudah masuk ranah hukum, kata Murady, DPR tidak bisa mengintervensi kaÂsus hukum yang berjalan.
“Proses hukum sepenuhnya menÂjadi kewenangan aparat peÂnegak hukum. Siapa pun yang terÂtangkap tangan melakukan perusakan atau pembalakan liar biÂsa dipidana tanpa terkecuali,†jeÂlas politisi Hanura ini meÂnyingÂgung aturan pidana yang keÂrap berbenturan dengan aturan pada Undang-undang KeÂhutanan.
Dari fenomena itu, sambung Murady, Komisi IV DPR berÂinisiatif membentuk leÂgislasi baÂru yang lebih greget dan teÂgas dalam melindungi hutan InÂdoÂnesia. Karena di legislasi yang masih dalam proses pengÂgodokan dewan ini, masalah piÂdana dan mata rantai dari kaÂsus perusakan hutan akan diatur lebih konkret dan tegas.
Anggota DPR asal Jambi ini berÂpendapat, dengan legislasi terÂÂsebut akan diatur sebuah baÂdan independen yang berÂtugas khusus untuk menangani maÂsaÂlah perusakan hutan. Karena kaÂsus perusakan hutan, lanjutÂnya, bisa dikategorikan dalam
extra ordinary crime. Bahkan lembaga atau badan yang terbentuk, sambungnya, akan punya kewenangan meÂnyeÂlidiki kasuskasus hukum terkait masalah hutan yang selama ini tidak jelas peÂnaÂngaÂnanÂnya.â€Contohnya seperti kaÂsus IUPHHK-HT Riau ini,†imÂÂbuhnya.
Punya Tradisi Lupakan KasusHifdzil Alim, Peneliti PUKATAktivis Pusat Kajian Anti KoÂrupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hifdzil Alim menilai, ada tiga poin yang menyebabkan lembaga peÂÂnegak hukum lambat meÂnunÂtaskan perkara korupsi.
“Paling tidak, ada tiga poin penting yang jadi dasar lamÂbatnya aparat penegak huÂkum menuntaskan kasus korupsi,†kata Hifdzil. Pertama, penegak hukum di Indonesia memÂpuÂnyai tradisi melupakan suatu perkara. Menurutnya, salah satu bukti nyata kasus ini ialah kasus penerbitan Izin Usaha PeÂmanfaatan Hasil Hutan KaÂyu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Riau.
“PUKAT pernah merilis keÂruÂgian negara pada kasus Riau ini di atas Rp 800 miliar. NaÂmun, karena lembaga penegak hukum kita punya tradisi meÂlupakan kasus, makanya kasus di Riau itu tak kunjung usai,†ujarnya.
Kedua, lembaga penegak huÂkum terkontaminasi kepenÂtiÂngan politik. “Misalnya perkara CenÂtury. Yang masyarakat inginÂkan itu kejelasan proses hukum, bagaimana aliran duit Century kemudian siapa tokoh yang terlibat. Tetapi yang terÂjadi malah diarahkan ke poÂlitik,†ucapnya.
Ketiga, menurut Hifdzil, tiÂdak ada kemauan pemerintah dan kemampuan aparat peÂneÂgak hukum mengusut suatu perÂkara. “Kita hanya disajikan pernyataan yang mendorong upaya pemberantasan korupsi. Emangnya gerobak, didorong terus. Ini perkara korupsi, perlu kemauan dan kemampuan menyelesaikannya. Jangan cuma mendorong,†katanya.
Hifdzil berharap media masÂsa mengontrol proses huÂkum suatu perkara korupsi. “Media massa sebagai pihak eksternal harus bisa menjadi penghubung antara pemerintah dan maÂsyaÂrakat,†katanya.
[rm]
BERITA TERKAIT: