Tersangka Korupsi Mau Nyalon Pilkada

Kasus Dugaan Korupsi Hutan Riau

Rabu, 29 Juni 2011, 07:20 WIB
Tersangka Korupsi Mau Nyalon Pilkada
RMOL. Dua tersangka kasus dugaan korupsi hutan Riau Rp 1,3 triliun belum ditahan. Akibatnya, mereka dikabarkan bisa plesiran ke luar negeri, bahkan ada yang mau nyalon di pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, keduanya belum ditahan karena menunggu proses hukum tersangka lainnya tuntas.

Indonesian Corruption Watch atau ICW dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Ji­kalahari) menilai KPK tebang pilih, karena belum melakukan pe­nahanan terhadap mereka.

Peneliti ICW Tama S Langkun me­nyebut, dalam kasus dugaan ko­rupsi tersebut ada tiga ter­sang­ka ditetapkan oleh KPK. Yaitu, Bu­pati Kampar Burhanudin Hu­sin, Bekas Kadishut Riau Syu­hada Tasman dan Asrar Rahman. Ke­tiganya dinyatakan sebagai ter­sangka sejak Juni 2008, dan di­nilai harus bertanggung jawab atas penilaian dan pengesahan Ren­cana Kerja Usaha Peman­faatan Hasil Hutan Kayu Hutan Ta­naman (RKT UPHHKHT) di Ka­bupaten Pelalawan, Riau tahun 2001-2006 senilai Rp 1,3 triliun.

Namun, anehnya baru satu tersangka saja yang diproses hu­kum. Asrar Rahman sudah di­vonis lima tahun penjara oleh ma­jelis hakim Pengadilan Tipikor, pada 5 November 2010. Se­dang­kan yang dua lagi, belum diapa-apain.

“Kami mempertanyakan di­ma­na masalahnya. Mengapa sampai saat ini mereka tak kunjung di­tahan,” kata Tama.

ICW mendapat kabar, salah satu di antara dua tersangka itu di­kabarkan akan mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah alias bupati di wilayahnya. “Pen­ca­lonan akan dilakukan pada Ok­to­ber 2011. Padahal dia ter­sangka,” ujarnya.

Informasi lain, ada juga ter­sang­ka yang bisa berangkat ke luar negeri. ICW mendapat kabar, di antara mereka ada yang bisa umrah dan pergi ke Korea Se­latan.

Tama menyatakan hal itu tak bisa dibiarkan. Dia mendesak pim­pinan KPK mengevaluasi ha­sil penyidikan. Seharusnya, pe­ne­tapan status sebagai tersangka, di­ikuti dengan status cekal.

Sementara aktivis Jikalahari, Su­santo Kurniawan berharap KPK tidak berlarut-larut menye­le­­saikan perkara ini. Susanto kha­wa­tir jika tersangka sampai di­biarkan nyalon di Pilkada bisa ja­di ajang politisasi proses pe­ne­gakkan hukum.

Karohumas KPK Johan Budi SP menepis tuduhan lembaganya te­bang pilih. Dia bilang proses hu­kum para tersangka kasus itu masih berjalan. Tidak ada yang mandeg.

Kenapa dua tersangka belum di­tahan dan dicekal? Johan me­nya­takan,  menunggu penuntasan pro­ses hukum terhadap salah se­orang tersangka yang lain. Dalam kasus tersebut, salah seorang bu­pati ditetapkan sebagai tersangka, sejak 25 Maret lalu. Kini ter­sang­ka tersebut telah ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. “Fokusnya ma­sih menye­lesaikan proses hu­kum dia. Ka­rena, para ter­sangka ini saling berkaitan,” tandasnya.

Pidanakan Pembalak Liar!
Murady Darmansjah, Anggota Komisi IV DPR

Anggota Komisi IV DPR Murady Darmansyah mengaku tidak heran menanggapi la­poran kasus hutan yang jalan di tem­pat. Dari fenomena itu, Ko­misi IV DPR berinisiatif mem­bentuk legislasi baru yang lebih gre­get dan tegas dalam me­lin­dungi hutan Indonesia.

“Bicara kasus perusakan hu­tan, di meja Komisi IV DPR ba­nyak sekali laporan yang ma­suk. Baik tentang kasus lama mau­pun kasus sedang terjadi dan baru dilaporkan,” jelasnya ke­pada Rakyat Merdeka, ke­marin.

Namun sambungnya, posisi DPR menanggapi laporan yang ma­suk hanya sebatas menin­dak­lanjuti dan mengawasi pro­gres ke depannya. Sebab ketika per­soalan hutan sudah masuk ranah hukum, kata Murady, DPR tidak bisa mengintervensi ka­sus hukum yang berjalan.

“Proses hukum sepenuhnya men­jadi kewenangan aparat pe­negak hukum. Siapa pun yang ter­tangkap tangan melakukan perusakan atau pembalakan liar bi­sa dipidana tanpa terkecuali,” je­las politisi Hanura ini me­nying­gung aturan pidana yang ke­rap berbenturan dengan aturan pada Undang-undang Ke­hutanan.

Dari fenomena itu, sambung Murady, Komisi IV DPR ber­inisiatif membentuk le­gislasi ba­ru yang lebih greget dan te­gas dalam melindungi hutan In­do­nesia. Karena di legislasi yang masih dalam proses peng­godokan dewan ini, masalah pi­dana dan mata rantai dari ka­sus perusakan hutan akan diatur lebih konkret dan tegas.

Anggota DPR asal Jambi ini ber­pendapat, dengan legislasi ter­­sebut akan diatur sebuah ba­dan independen yang ber­tugas khusus untuk menangani ma­sa­lah perusakan hutan. Karena ka­sus perusakan hutan, lanjut­nya, bisa dikategorikan dalam extra ordinary crime.

Bahkan lembaga atau badan yang terbentuk, sambungnya, akan punya kewenangan me­nye­lidiki kasuskasus hukum terkait masalah hutan yang selama ini tidak jelas pe­na­nga­nan­nya.”Contohnya seperti ka­sus IUPHHK-HT Riau ini,” im­­buhnya.

Punya Tradisi Lupakan Kasus
Hifdzil Alim, Peneliti PUKAT

Aktivis Pusat Kajian Anti Ko­rupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hifdzil Alim menilai, ada tiga poin yang menyebabkan lembaga pe­­negak hukum lambat me­nun­taskan perkara korupsi.

“Paling tidak, ada tiga poin penting yang jadi dasar lam­batnya aparat penegak hu­kum menuntaskan kasus korupsi,” kata Hifdzil. Pertama, penegak hukum di Indonesia mem­pu­nyai tradisi melupakan suatu perkara. Menurutnya, salah satu bukti nyata kasus ini ialah kasus penerbitan Izin Usaha Pe­manfaatan Hasil Hutan Ka­yu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Riau.

“PUKAT pernah merilis ke­ru­gian negara pada kasus Riau ini di atas Rp 800 miliar. Na­mun, karena lembaga penegak hukum kita punya tradisi me­lupakan kasus, makanya kasus di Riau itu tak kunjung usai,” ujarnya.

Kedua, lembaga penegak hu­kum terkontaminasi kepen­ti­ngan politik. “Misalnya perkara Cen­tury. Yang masyarakat ingin­kan itu kejelasan proses hukum, bagaimana aliran duit Century kemudian siapa tokoh yang terlibat. Tetapi yang ter­jadi malah diarahkan ke po­litik,” ucapnya.

Ketiga, menurut Hifdzil, ti­dak ada kemauan pemerintah dan kemampuan aparat pe­ne­gak hukum mengusut suatu per­kara. “Kita hanya disajikan pernyataan yang mendorong upaya pemberantasan korupsi. Emangnya gerobak, didorong terus. Ini perkara korupsi, perlu kemauan dan kemampuan menyelesaikannya. Jangan cuma mendorong,” katanya.

Hifdzil berharap media mas­sa mengontrol proses hu­kum suatu perkara korupsi. “Media massa sebagai pihak eksternal harus bisa menjadi penghubung antara pemerintah dan ma­sya­rakat,” katanya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA