“Ada beberapa hal strategis yang bisa dilakukan untuk meÂnyelesaikan berbagai masalah TKI,’’ ujar Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie.
“Saya kira bukan moratorium yang harus dilakukan pemerintah tetapi para TKI diberikan penÂdidikan mengenai resiko bekerja di luar negeri,’’ tambahnya.
Tapi, lanjut Ical, memberikan pemahaman mengenai perbedaan undang-undang di Indonesia dan di negara tempat tujuan TKI itu.
Menurut Ical, apabila IndoÂneÂsia melakukan pencegahan pengiÂriman TKI ke luar negeri, akan menimbulkan efek domino bagi keÂberlangsungan nasib TKI terÂsebut. Ical mempertanyakan, apakah Indonesia bisa menyeÂdiakan satu juta lapangan kerja bagi TKI yang saat ini bekerja di Arab Saudi.
“Kalau kita mencegah peÂngiÂriman TKI secara langsung, baÂgaiÂmana dengan nasib tenaga kerja di sana. Apakah kita sudah bisa membuat satu juta lapangan kerja bagi orang-orang yang seÂkarang kerja di Arab Saudi,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya;
Kok terkesan pasrah begitu?
Bangsa Indonesia harus berÂpikir secara dingin terkait masaÂlah TKI. Esensi dari permasaÂlahan TKI tersebut adalah memÂberikan proteksi bagi TKI di luar negeri. Selain itu pemerintah haÂrus memberikan proteksi lapaÂngan kerja di Indonesia. Hal itu bisa berupa perlindungan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
Apa ada langkah lain?
Pemerintah harus melakukan diplomasi, khususnya menjalanÂkan diplomasi tingkat tinggi. Upaya diplomasi ini adalah seÂbuah bagian dalam usaha pemeÂrintah melindungi TKI di luar negeri.
Apa perlu dibentuk tim terÂpadu?
Buat apa dibentuk tim terpadu lagi. Saat ini saja banyak lembaga yang menangani permasalah TKI di luar negeri. Menurut saya makÂsimalkan saja kinerja lembaga-lembaga tersebut dengan memaÂhami bahwa TKI harus diproÂteksi dan dibela.
O ya, bagaimana dengan kaÂsus yang dialami Siami?
Tentu kita sangat prihatin. Kasus tersebut meninggalkan pesan yang jelas betapa nilai-nilai kejujuran bukan saja semakin langka. Tapi seolah-olah tidak lagi dipedulikan.
Kasus ini menjadi perhatian kita semua. Sebab, manakala penÂdidikan lebih berorientasi pada hasil, jangan harap nilai etika, moral, dan kejujuran akan meÂngeÂmuka.
Bagaimana solusi?
Tentu saja pemanfaatan anggaÂÂÂran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Selain itu harus diÂsertai perencanaan penÂdidikan yang baik dengan peÂnguatan prinsip transparansi dan akunÂtabilitas. Namun yang ingin saya tekankan, di atas seÂmua itu, kita membutuhkan sumÂber daya maÂnusia yang tidak saja memaÂdai. Tapi memimiliki deÂdikasi, inteÂgritas, dan mentalitas yang terÂpuji. Karena pendidik itu meÂmiÂliki tugas ganda, yaitu tiÂdak saja mentransformasikan ilmu peÂÂngetahuan dan teknologi keÂpada peserta didik, tetapi juga etika, moralitas, dan mentalitas yang baik.
Bagaimana dengan tanÂtaÂngan globalisasi?
Proses yang terjadi dalam gloÂbalisasi itu bukan hanya terbatas pada pertukaran barang dan jasa antar negara. Tapi terjadi pula perÂÂÂtukaran nilai-nilai antar bangsa yang berlangsung secara massif dan eskalatif. Ada nilai-nilai yang positif seperti nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap HAM. Namun ada juga nilai-nilai yang cenderung neÂgatif, seperti individualisme, liberalisme, konsumerisme, pragÂmatisme dan ekses-ekses gloÂbalisasi lainnya.
Nilai-nilai negatif tersebut yang secara tidak sadar sangat berpengaruh terhadap meleÂmahÂnya karakter dan kepribadian bangsa.
Bagaimana cara untuk melaÂkukan filter terhadap globaliÂsasi itu?
Saya rasa sangat urgent untuk mengembalikan nilai-nilai PanÂcasila dan kita mulai dari sektor pendidikan. Kita lihat bahwa nilai-nilai globalisasi ditelan menÂÂtah-mentah oleh kalangan anak muda kita. [rm]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: