Kendati begitu, Kepala HuÂmas KPK Johan Budi Sapto PraÂbowo menghormati munculÂnya pendapat berbeda dari anggota majelis hakim yang menangani persidangan dengan terdakwa Daniel Tanjung dan Sofyan UsÂman, terkait perkara suap pemiÂlihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS-BI) MiÂranda Goeltom.
Meski masih ada beda penÂdapat hakim, lanjut Johan, vonis terhadap terdakwa sudah dijatuhÂkan. Artinya, penanganan perkara ini sudah final alias tuntas. “SuÂdah ada vonis 15 bulan penÂjara. Artinya meski ada catatan, toh proÂses persidangan kasus ini sudah selesai. Sudah ada keÂtetaÂpan huÂkum yang mengikat,†ujarnya.
Johan pun tidak setuju jika dissenting opinion hakim tersebut dijadikan alasan berbagai pihak untuk mendiskreditkan kinerja KPK dalam mengusut perkara ini. Disampaikan, jajaran KPK selama ini sudah berusaha optiÂmal dalam menyampaikan fakta-fakta dan bukti terkait masalah yang melilit para terdakwa kasus ini, termasuk dalam perkara terÂdakwa Daniel dan Sofyan.
“Saya tidak sependapat kalau penyidikan KPK dalam kasus ini dianggap lemah,†tuturnya seraya menambahkan, terjadinya beda pendapat hakim yang menyiÂdangÂkan kasus ini didasari perÂtimÂbangan hukum hakim yang berÂsangkutan. “Dissenting opiÂnion adalah hak majelis.â€
Selain terjadi dissenting opiÂnion, kelemahan penangan kasus ini meliputi aspek siapa pemberi cek pelawat yang didistribusikan kepada para politisi Senayan? DaÂlam hal lain, penetapan status tersangka Nunun Nurbaeti yang didasari pada keterangan saksi, Arie Malangjudo yang menyebut bahwa Nunun memerintahkan pemÂberian cek pelawat untuk angÂgota Komisi IX DPR masih mengundang tanda tanya.
Soalnya, merujuk pada hukum positif Indonesia, yakni Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seÂorang saksi belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan seÂseorang atau dikenal dengan istiÂlah Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).
Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi tanpa ditambah keterangan saksi lain atau alat bukti lain, maka kesaksian tunggal tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk memÂbuktikan kesalahan seseorang.
Namun, menurut Johan, peneÂtaÂpan status tersangka terhadap Nunun dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang. “Penyidik mempunyai keweÂnangan dalam menentukan status seseorang dalam suatu perkara. Pasti ada pertimbangan-pertimÂbaÂngan dan bukti-bukti yang konÂkret,†tandasnya.
Akan tetapi, ia belum mau meÂrinci dua alat bukti yang konon diÂjadikan sebagai senjata paÂmungÂkas penyidik KPK dalam menjerat Nunun sebagai terÂsangÂka kasus ini. “Nanti di pengadilan akan disampaikan,†ujarnya.
Johan mengingatkan, Nunun ditetapkan sebagai tersangka seÂjak Februari lalu. Dia diduga berÂperan menyebarkan puluhan lemÂbar cek pelawat bernilai Rp 24 miÂliar kepada 30 anggota DPR peÂriode 1999-2004 seusai pemiÂliÂhan Deputi Gubernur Senior Bank InÂdonesia pada 2004 yang dimeÂnangi Miranda Swaray Goeltom.
Sejauh ini KPK sudah menÂeÂtapkan 30 tersangka yang kemuÂdian menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, keÂcuali Nunun. Johan mengatakan, Komisi akan menjelaskan bukti yang menguatkan keterlibatan Nunun kepada suaminya, Adang DaradÂjaÂtun jika bersedia datang berÂsama istrinya ke KPK.
“Sampai saat ini, kami meÂnganÂdalkan kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk membawa Nunun kembali ke Tanah Air,†katanya. Dia menambahkan, KPK tengah gencar menelusuri siapa saja pihak yang disangka sebagai pemberi cek pelawat tersebut.
Tak Mungkin Beda Jika Penyidikan Dan Penuntutan KuatM Taslim, Anggota Komisi III DPRDissenting opinion atau beda pendapat hakim yang meÂnangani kasus korupsi, henÂdaknya tidak terjadi. Karena ini bisa memunculkan anggapan masyarakat tentang ketidakÂsinÂkronan hakim dalam meÂnaÂngani kasus korupsi.
Selain itu, belum adanya peÂneÂtapan status tersangka terhaÂdap sejumlah pihak yang diÂduga terlibat perkara cek pelaÂwat, dinilai bisa memicu disÂsenÂting opinion lain pada perÂsiÂdangan kasus cek pelawat dengan terdakwa lainnya.
“Idealnya dalam penanganan kasus korupsi, penyidikan dan penuntutannya harus kuat. DeÂngan penyidikan dan penunÂtutan yang kuat, maka keÂmungÂkinan terjadinya dissenting opinion itu lebih kecil,†ujar anggota Komisi III DPR M Taslim.
Politisi Partai PAN ini menÂduga, terjadinya dissenting opiÂnion dipicu masih adanya keÂleÂmahan pemberkasan penyiÂdiÂkan perkara oleh penyidik KPK. Dari situ lanjutnya, seÂcara berturut-turut akan berÂpeÂngaruh terhadap materi tunÂtutan jaksa.
“Saya rasa materi yang terÂangkum dalam berkas perkara penyidikan sejak awal lemah. Ini tidak boleh, apalagi dalam penanganan kasus korupsi, harus dipertimbangkan secara matang agar argumen jaksa di persidangan tidak mudah diÂpatahkan,†tandasnya.
Disampaikan juga, faktor komplek lain yang mempengaÂruÂhi munculnya dissenting opiÂnion kemungkinan dipicu masih belum lengkapnya pembÂeÂrÂkaÂsan perkara yang menyeret piÂhak lainnya.
“Kan masih ada seÂjumlah nama yang tidak dijaÂdiÂkan sebaÂgai tersangka kasus ini. Salah satu contohnya Arie MaÂlangÂjudo itu. Ini bisa memÂpengaruhi pendapat hakim yang menyiÂdangÂkan perkara ini,†ujarnya.
Dia memandang, munculnya dissenting opinion hakim dalam persidangan kasus korupsi, oleh kalangan awam bisa dinilai miring. “Jangan-jangan hakimÂnya membela kepentingan pihak tertentu dan sebagainya,†katanya.
Yang pasti tambah dia, belum adanya penetapan status terÂsangka terhadap Arie juga bisa memicu anggapan bahwa KPK masih tebang pilih dalam meÂnangani perkara cek pelaÂwat ini.
Perbedaan Bisa DimufakatkanChaerul Huda, Pengamat HukumTerjadinya dissenting opinion atau pendapat hakim yang berbeda dalam menilai suatu perkara, bisa terjadi pada persidangan apapun.
Yang jelas, KPK dinilai bisa menetapkan status tersangka terhadap Nunun Nurbaeti, waÂlau ada anggapan satu keteÂrangan saksi saja tidak cukup menjadikan seseorang sebagai tersangka atas suatu perkara.
Pakar hukum Chaerul Huda menyebutkan, dissenting opiÂnion bisa terjadi pada semua perÂsidangan. “Hanya kebetulan ini yang pertama kali terjadi di Pengadilan Tipikor,†ujarnya.
Menurut Chaerul, perbedaan pendapat biasanya muncul kaÂrena adanya penafsiran berbeda atas fakta maupun penafsiran hukum dari hakim. Guna meÂngambil putusan atas perkara, lanjutnya, biasanya dilakukan voting suara hakim terbanyak yang menangani hal tersebut.
“Sah-sah saja, yang penting bisa dimufakatkan hasilnya,†kata dosen Fakultas Hukum UniverÂsitas Muhamadiyah Jakarta ini.
Chaerul juga bicara tenÂtang subÂstansi Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang meÂnyebut satu keterangan saksi tidak bisa diÂjadikan alat bukti unÂtuk meÂneÂtapkan seseorang seÂbagai terÂsangka.
Menurut dia, kalau paÂsal itu diabaikan, orang bisa deÂngan muÂdah memfitnah orang lain agar bisa dijadikan tersangÂka pada sebuah perkara.
SebaÂlikÂnya, jika pasal itu terÂlalu dikedepankan, maka orang yang seharusnya menjadi terÂsangka bisa mudah lolos.
Sedangkan dalam konteks beÂlum ditetapkannya Arie MaÂlangÂjudo dan Emir Moeis sebaÂgai tersangka oleh KPK, meÂnurut Chaerul, langkah penyiÂdik KPK sudah betul. LangÂkah penyidik bisa dipicu bahwa Ari dan Emir tidak dikategorikan seÂbaÂgai subyek perkara ini.
“Secara yuridis, kalau ada yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, lebih disebabkan karena dalam huÂkum ada istilah yang bersangÂkutan dianggap sebagai alat tanÂpa kehendak. Maka dalam konstruksi kasus ini dia seakan terlibat,†urainya.
Dia menilai, belum adanya peÂnetapan tersangka terhadap Arie maupun pihak lain, bisa diÂlaÂtari karena posisi mereka daÂlam kasus ini belum jelas.
[rm]
BERITA TERKAIT: