Dalam dakwaannya, jaksa Freddy Simandjuntak meÂnyeÂbutÂkan, PT SAT selaku wajib pajak mengajukan keberatan pajak pada Dirjen Pajak atas Surat KeÂtetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Pasal 16 D Nomor 00007/237/04/617/07 TaÂhun 2004. Atas dasar permoÂhoÂnan keberatan itu, KPP Sidoarjo meneruskan permohonan itu kepada Direktorat Keberatan dan Banding.
Tapi setelah surat keberatan sampai pada Bambang, JPU meÂnilai Bambang tidak menanyakan lebih dahulu uraian keberatan dari KPP atau Kanwil setempat. Alhasil, pada 4 April 2007, BamÂbang memberikan disposisi keÂpada Kasubdit Pengurangan dan Keberatan dengan perintah untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Selanjutnya, lembar disposisi dari Bambang diberikan kepada Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan IV dengan petunjuk, “Teliti dan proses sesuai dengan ketentuan.†Pada 12 April 2007, Kasi Pengurangan dan Keberatan IV menandatangani surat untuk diberikan pada Gayus Tambunan dengan perintah, “Untuk diteliti formal dan buat resume awal.â€
Menurut JPU, meski tak punya argumen dari Kanwil Jawa Timur selaku pemeriksa, Bambang tetap menerbitkan surat tugas No ST-1068/PJ.071/2007 tanggal 09 Mei 2007. Surat itu berisi peÂrinÂtah kepada Marjanto (Kasubdit Pengurangan dan Keberatan), Maruli Pandapotan (Kasi PeÂnguÂrangan dan Keberatan), Humala Napitupulu (Penelaah Keberatan) dan Gayus Tambunan selaku peÂlakÂsana untuk melakukan peneÂliÂtian terhadap permohonan kebeÂratan dan penghapusan sanksi administrasi PT SAT.
Setelah surat itu terbit, pada 16 Juli 2007 Dirut PT SAT Hindarto Gunawan memberi penjelasan kepada Gayus dan Humala yang keterangannya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Tim Keberatan dengan PT SAT.
Pasca dilakukan pembahasan antara Gayus, Humala dan HinÂdarÂto Gunawan, JPU melihat bahÂwa Maruli memerintahkan Gayus menerima keberatan wajib pajak. Sehingga, tanpa melakukan peÂneÂlitian yang tepat dan menyeluruh terhadap PT SAT, Gayus memÂbuat laporan yang dituangkan daÂlam laporan penelitian Nomor LAP-656/PJ.071/2007 tanggal 09 Agustus 2007 tentang laporan penelitian keberatan PT SAT.
Tak hanya itu, Gayus juga memÂbuat laporan Nomor LAP-657/PJ.071/2007 tanggal 09 Agustus 2007 tentang laporan peÂnelitian atau penghapusan sanksi administrasi PT SAT.
Menurut JPU, setelah laporan itu ditandangani Gayus, Humala, Maruli dan Jhony Marihot Tobing selaku Kasubdit Pengurangan dan Keberatan, laporan itu diseÂrahÂkan pada Bambang Heru unÂtuk diteliti.
Tetapi, setelah BamÂbang meÂnerima laporan, JPU meÂnuding Bambang telah melawan hukum karena tidak melakukan kewaÂjiÂbannya yang tertuang dalam SuÂrat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE/68/PJ/1993 tentang petunjuk peÂlaksanaan pasal 16, pasal 26 dan pasal 36 yang menyebut seÂbagai Direktur Keberatan dan BanÂding, Bambang harus meÂmasÂtikan kapan sebenarnya dilaÂkuÂkan penyerahan atas ikatan jual beli aset-aset yang diperoleh PT SAT.
Bambang malah langsung menyetujui konsep laporan yang dibuat Gayus secara asal. BamÂbang pun menandatangani hasil penelitian tersebut. Artinya, pemÂÂbayaran pajak yang dilakuÂkan PT SAT sebesar Rp 429, 2 juta diÂanggap sebagai pembayaran lebih dan harus dikembalikan pada PT SAT.
Disamping itu, pembayaran denda Rp 58 juta yang telah dibaÂyar PT SAT dikembalikan karena dianggap pembayaran tidak sah dengan alasan pokok pengenaan pajaknya tidak benar.
Menurut JPU, sebenarnya BamÂbang mengetahui bahwa laÂpoÂran penyelesaian keberatan PT SAT yang disetujui itu tidak diÂlamÂpiri tanggapan dari Kanwil PaÂjak Jawa Timur II. Tapi BamÂbang tetap menyetujui laporan asal-asalan yang dibuat Gayus cs. Disamping itu, Bambang dituÂding JPU melakukan kesalahan fatal, yakni tidak menggelar perÂkara sebelum usulan itu ditanÂdatanganinya.
Mendengar tudingan itu, Bambang menepis. Menurutnya, dia hanya mengusulkan masalah itu. “Gayus dan teman-temannya yang menelaah,†katanya usai perÂsidangan perdana di PengaÂdiÂlan Tipikor (6/6). Penasihat huÂkumÂnya, Yosef Badeoda menuÂturÂkan, kliennya tak menerima seÂdikitpun keuntungan dari keÂberatan pajak PT SAT.
“Ini sengketa pajak, bukan pidana pajak atau korupsi pajak. Masalah yang mendera Bambang hanyalah masalah administrasi belaka,†ungkapnya.
Tak Pernah Ada Dokumen Tanggapan
Supaya meyakinkan Dirjen Pajak, JPU menuding Bambang Heru mengelabui laporan dengan mencantumkan akta jual beli tahun 1994. Padahal, sebanarnya Bambang hanya mencantumkan akta perikatan jual beli.
DiÂsamÂping itu, JPU meneÂmuÂkan akal-akalan Bambang, yakni meÂlamÂpiri dokumen tanggapan pemeÂriksa atas keberatan wajib pajak. Padahal, dokumen tangÂgaÂpan dari Kanwil Pajak Jawa TiÂmur II tidak pernah ada.
Menurut JPU, perbuatan terÂdakÂwa yang mengusulkan meÂneÂrima keberatan PT SAT tanpa diÂlengkapi dengan pandangan dari KPP atau Kanwil Pajak bertenÂtaÂngan dengan surat edaran Dirjen Pajak Nomor SE-13/PJ.45/1991 jo. SE 15/PJ.45/1996 tentang proÂsedur penyelesaian keberatan atas ketetapan pajak hasil pemeriksaan.
Lantaran usulan akal-akalan yang disetujui Bambang, kemuÂdian tanggal 22 Oktober 2007 Dirjen Pajak menerbitkan surat keÂputusan Nomor KEP-757/PJ.07/2007 dengan menetapkan meÂngembalikan PPN kurang bayar dan sanksi bunga sebesar Rp 429, 2 juta kepada PT SAT.
Disamping itu, Dirjen Pajak juga meÂngeluarkan surat keÂpuÂtuÂsan NoÂmor KEP-758/PJ.07/2007 tenÂtang pengurangan atau peÂngÂhapuÂsan sanksi administrates atas STP PPN masa pajak Januari-Desember 2004 sebesar Rp 58 juta kepada PT SAT.
Sebulan kemudian, PT SAT meÂnerima pengembalian dana keÂbeÂratan pajak tersebut. Menurut JPU, pengembalian dana itu diÂtransfer ke rekening PT SAT di BRI deÂngan nomor rekening 21101500102157 sebesar Rp 570, 9 juta. Rinciannya terdiri dari pokok pajak sebesar Rp 290 juta, sanksi administrasi pasal 13 ayat 2 KUP sebesar Rp 139 juta, sanksi administrasi pasal 14 ayat 4 KUP Rp 58 juta dan sanksi administrasi pasal 27 A ayat 1 KUP Rp 83, 7 juta.
Karena perbuatannya, BamÂbang didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-UnÂdang nomor 31 tahun 1999 seÂbaÂgaimana diubah dengan UU noÂmor 20 tahun 2001 tentang PemÂberantasan Tindak Pidana KorupÂsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 3 jo Pasal 18 UnÂdang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana 20 tahun penjara.
Jangan Biarkan Kakapnya Lolos
Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR
Satu-persatu rekan dan atasan Gayus Tambunan di Ditjen Pajak menjadi terdakwa. Bahkan, di antara mereka suÂdah ada yang divonis bersalah oleh majelis hakim.
Namun, buÂkan berarti mafia pajak sudah hiÂlang. Soalnya, aparat penegak hukum belum mengurai dengan jelas, siapa yang menyuap Gayus.
“Jangan bangga dulu. Siapa itu pemberi suap Gayus. Ini beÂlum ketahuan,†kata anggota Komisi III DPR Achmad BasaÂrah. Menurutnya, kasus Gayus yang menyeret bekas Direktur KeÂberatan dan Banding Pajak Bambang Heru Ismiarso sebaÂgai terdakwa, mesti ditinÂdakÂlanjuti dengan penelusuran inÂtensif terhadap pejabat Ditjen Pajak lainnya.
“Jika sekelas Gayus saja daÂpat uang begitu besar, apalagi peÂjabat tingginya. Makanya kaÂsus ini perlu didalami lagi,†ucap anggota Fraksi PDIP ini.
Ia meminta kasus Gayus diÂbuka secara gamblang oleh apaÂrat penegak hukum. Untuk itu, keberanian aparat menelusuri dan mengembangkan kasus pajak ini mesti terus didorong.
“Jangan digantung. Hanya diÂtunÂtaskan yang teri atau sekelas kutu, sementara yang kaÂkapÂnya dibiarkan lolos,†ucapnya.
Kendati begitu, dirinya tetap menghargai kinerja aparat peÂnegak hukum yang menyiÂdangÂkan salah satu atasan Gayus di Ditjen Pajak. Soalnya kecenÂdeÂrungan yang sering terjadi, jika terus dikritisi, kinerja lembaga penegak hukum justru lemah. “Memberi masukan itu sah-sah saja, tapi harus sesuai porsiÂnya,†ucap dia.
Dia menambahkan, aparat penegak hukum juga harus saÂling berkoordinasi dalam meÂnunÂtaskan perkara ini. SehingÂga, kasus mafia pajak ini bisa ceÂpat selesai. Jika tidak, dia khaÂwatir perkara mafia pajak tiÂdak akan tuntas sampai ke akarnya.
“Polri, Kejaksaan Agung dan KPK jangan jalan sendiri-sendiri,†sarannya.
Basarah meminta Dirjen Pajak melakukan pembenahan internal. Sehingga, seluruh peÂgaÂwai Ditjen Pajak dapat terÂkonÂtrol dalam menjalankan tuÂgasnya. Menurut dia, terÂjadinya perkara Gayus tak lepas dari lemahnya fungsi pengawasan Dirjen Pajak
“Sebagai pucuk pimpinan, seÂmestinya bisa meÂngawasi anak buahnya, bahkan jangan ragu untuk memberikan sanksi tegas kepada semua yang meÂlangÂgar,†imbuhnya.
Terobos Tembok Kekuatan Politik Dan Mafia Pajak
Hifdzil Alim, Peneliti PUKAT UGM
Peneliti Pusat Kajian Anti KoÂrupsi (PUKAT) Universitas GaÂdjah Mada UGM) Hifdzil Alim berpendapat, perkara GaÂyus Tambunan bisa tuntas asalÂkan ada komitmen pemerintah dan keÂberanian lembaga peneÂgak huÂkum dalam memerangi mafia pajak.
“Berani di sini artinya, aparat dan lembaga penegak hukum tidak takut menerobos tembok keÂkuatan politik,†katanya. Jika lembaga penegak huÂkum lemah saat menghadapi kekuatan politik, Hifdzil meniÂlai, semua perkara korupsi tidak akan tuntas, termasuk kasus GaÂyus. Maksudnya, perang terÂhaÂdap korupsi selama ini sebaÂtas waÂcana. “Itu yang tidak kita inÂginkan. Korupsi harus diÂbeÂrantas, jangan sampai ada yang tersisa.â€
Lantaran itu, Hifdzil kembali menyerukan lembaga penegak hukum untuk bangkit dari keÂterÂpurukan dalam menangani perkara korupsi. Sehingga, maÂsyarakat tidak menelan pil pahit lagi atas sikap lembaga penegak hukum yang tak berani meÂnguÂsut tuntas perkara korupsi kakap.
Khusus untuk perkara Gayus, Hifdzil berharap aparat penegak hukum mempercepat penunÂtaÂsan kasus mafia pajak ini. Sebab katanya, perkara Gayus meruÂpaÂkan kasus yang menarik perÂhatian banyak orang. “Khawatir nanti semua biÂdang dirasuki mafia. Ini yang haÂrus dipikirkan semua pihak,†tamÂbahnya. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: