Penjajahan Ekonomi Oligarki

Minggu, 28 Desember 2025, 05:18 WIB
Penjajahan Ekonomi Oligarki
Ilustrasi. (Foto: AI)
APA potret ekonomi dalam dua dasawarsa terakhir? Ada banyak jawaban, tetapi yang paling tepat adalah “bangunan oligarki.” Ini jawaban dari ratusan riset ekopol yang terlihat di depan mata. Hampir semua peristiwa ekonomi nasional melibatkan aktivitas mereka, baik yang positif maupun negatif. Sialnya, prosentase ekonomi negatif di Indonesia yang melibatkan oligarki jauh lebih banyak (72.3 persen).

Dalam pola ekonomi oligarki, lingkungan seringkali menjadi pihak yang paling awal menanggung beban negatif. Warga di sekitar lingkungan tersebut juga terdampak paling parah dari kegiatan ekonomi jangka panjang itu. Sayangnya, saat sumber daya alam dieksploitasi tanpa kendali, kerusakan ekologis tidak tercermin dalam neraca ekonomi, tetapi muncul dalam bentuk banjir, krisis air, penurunan produktivitas lahan, dan memburuknya kualitas hidup warga negara. Kerusakan ini diperlakukan sebagai biaya eksternal sehingga tidak masuk dalam kalkulasi utama pembangunan.

Kita sangat sering alpa menghitung “kerugian bahkan kebangkrutan” dari pola berjalannya ekonomi oligarki di sektor lingkungan. Padahal, catatan ekonomi ini sering sekali minus yang sangat besar bagi warga dan negara. Bahkan, jauh lebih besar nilai kerugiannya dari ekonomi perang.

Pola tersebut didorong oleh oligarki sumber daya alam yang menganut “paradigma antroposentrisme.” Paradigma ini menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh entitas dunia dan menganggap alam sebagai alat pemenuhan kepentingan ekonomi. Dalam kerangka ini, lingkungan dinilai sejauh memberi manfaat langsung bagi manusia, sementara kerusakan dianggap konsekuensi yang dapat diterima.

Antitesis dari antroposentrisme adalah biosentrisme dan ekosentrisme. Biosentrisme mengakui bahwa seluruh makhluk hidup memiliki nilai dalam sistem kehidupan. Ekosentrisme memperluasnya dengan menempatkan ekosistem secara utuh, termasuk unsur tak hidup, sebagai satu kesatuan yang memiliki fungsi dan batas daya dukung yang tidak boleh dilampaui. Kita bisa menyebutnya sebagai theo-antro-eco centrism (sinergitas tuhan-alam dan manusia) dalam bersemesta.

Tentu saja, eksploitasi alam oleh oligarki berlangsung dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dampak yang ditimbulkan. Hal ini terjadi karena asimetri informasi antara pelaku usaha, negara, dan warga negara. Risiko ekologis jangka panjang, biaya pemulihan, dan potensi kerusakan permanen sering kali tidak diungkap secara terbuka dalam proses perizinan.

Asimetri informasi tersebut menciptakan kesan bahwa kegiatan ekonomi berjalan legal dan efisien. Administrasi dipenuhi, penerimaan negara dicatat, dan laporan lingkungan disusun. Namun di tingkat tapak, kualitas lingkungan menurun, konflik sosial meningkat, dan warga-negara lokal menanggung dampak yang tidak pernah mereka pilih. Akan ada “bencana” yang harus diterima oleh semua, termasuk yang tidak ada hubungannya dengan proyek tersebut.

Kini, dalam konteks keadilan ekologis atau “environmental justice” menjadi kebutuhan mendesak. Keadilan ekologis tidak hanya berbicara tentang menjaga kualitas ekologis dari suatu kegiatan ekonomi dan pembangunan, tetapi juga memastikan adanya perlindungan terhadap manusia dari dampak kegiatan ekonomi yang bersifat antroposentris, sekaligus perlindungan terhadap alam raya sebagaimana ditegaskan dalam pendekatan biosentris, ekosentris dan theo-antro-eco centrism.

Keadilan ekologis menuntut perlindungan lingkungan yang bersifat inklusif dan hati hati. Artinya, setiap keputusan pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia, makhluk hidup lain, dan sistem ekologi secara keseluruhan. Pendekatan ini menolak logika pengorbanan satu pihak demi keuntungan jangka pendek pihak lain.

Lebih jauh, keadilan ekologis mengupayakan keadilan dalam hubungan antara manusia dan bumi. Relasi ini tidak lagi bersifat dominatif, melainkan relasi tanggung jawab, kesetaraan, kebersamaan dan kesejatian. Manusia diposisikan sebagai bagian dari sistem ekologis, bukan penguasa tunggal yang bebas menentukan nasib alam.

Prinsip utama keadilan ekologis adalah pengakuan bahwa semua hal saling terkait. Kerusakan di satu wilayah berdampak pada wilayah lain, dan keputusan ekonomi hari ini memengaruhi kualitas hidup di masa depan. Karena itu, tindakan menjaga lingkungan harus berbasis etika dan ditempatkan sebagai pusat dari hubungan sosial antar manusia, bukan sebagai isu teknis semata.

Dalam kerangka tersebut, negara tidak boleh absen. Negara harus hadir melalui legislasi yang adil antara kepentingan kegiatan ekonomi dan pembangunan dengan kewajiban menjaga lingkungan. Regulasi harus memastikan bahwa eksploitasi tidak melampaui batas ekologis dan bahwa pelaku ekonomi menanggung biaya penuh dari dampak yang ditimbulkannya.

Pada akhirnya, lingkungan dan seluruh aset di dalamnya adalah pinjaman dari generasi mendatang. Karena itu, ia harus dijaga kualitas dan keberlanjutannya agar tetap berfungsi sebagai ruang hidup yang layak. Dengan cara itulah alam dapat terus “berdialog” dengan manusia, bukan melalui bencana dan krisis, tetapi melalui keseimbangan yang terpelihara.

Singkatnya, agar kita selamat semua, negara kita harus menjadi negara progresif, negara yang nasionalismenya bersetia pada semua warganya. Bukan hanya ke segelintir orang. Horace B. Davis dalam bukunya “Nationalism & Socialism Marxist and Labor Theories of Nationalism to 1917” (1967), menyebut bahwa nasionalisme yang keren itu “kesetiaan terhadap kepentingan komunitas asli pribumi sehingga patriotismenya bermakna sebagai kesetiaan terhadap kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan sentosa bersama. rmol news logo article

Yudhie Haryono dan Agus Rizal 
Presidium Forum Negarawan dan Ekonom Univ MH Thamrin 


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA