WAWANCARA

Brigjen Hartind Asrin: Intelijen Perlu Hak Penangkapan Tapi Kena Sanksi Bila Teledor

Sabtu, 11 Juni 2011, 06:29 WIB
Brigjen Hartind Asrin: Intelijen Perlu Hak Penangkapan Tapi Kena Sanksi Bila Teledor
Brigjen Hartind Asrin
RMOL. Sudah saatnya intelijen diberikan hak penangkapan demi memperkuat sistem keamanan nasional dari berbagai ancaman  disintegrasi bangsa.

Apalagi sekarang ini digelora­kan kembali empat pilar kebang­saan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika.

“Saat ini momentum memberi­kan kewenangan itu. Sebab, Ran­cangan Undang-undang Intelijen sedang digodok di DPR. Tapi dibuat aturan yang jelas, terma­suk soal sanksi terhadap intelijen bila bertindak semena-mena, se­hingga tidak terulang lagi seperti Orde Baru,” ujar Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Keamanan (Kemenhan), Brigjen Hartind Asrin, saat berkunjung ke kantor redaksi Rakyat Merdeka, Gedung Graha Pena, Jakarta, kemarin.

Menurut perwira tinggi yang sudah lama bertugas di intelijen itu, negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang memberikan kewenangan kepada intelijen untuk melakukan penangkapan.

“Nggak usah jauh-jauh meng­ambil contoh, di Malaysia saja memiliki Internal Security Act (ISA). Intelijen di sana bisa me­nangkap demi menjaga sistem keamanan nasional di negara tetangga itu,’’ paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Bagaimana reaksi Anda ter­hadap berlarut-larutnya peng­go­dokan RUU Intelijen?
Saya sangat berharap semua komponen bangsa saling bantu demi tuntasnya penggo­dokan RUU tersebut. Sebab, se­lama ini  mental terus.

Kalau kondisinya begini, ke­wenangan intelijen tidak ada dan tumpul. Ini berarti teroris makin berkembang di Indonesia. Sebab, intelijen tidak bisa menangkap.
    
Apa yang dilakukan intelijen selama ini?
Hanya mengawasi. Tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kira sudah saatnya diberi hak penang­kapan. Tapi kena sanksi bila te­ledor. Bikin aturan yang jelas, se­hingga intelijen tidak bisa berbuat seenaknya seperti Orde Baru yang saat itu ada UU Subversif.

Tapi masyarakat masih trau­ma dengan kewenangan itu?
Saya tegaskan bahwa konsep­nya berbeda dengan dulu. Kalau dulu ada UU Subversif yang di­berikan kewenangan kepada intelijen, tapi tidak ada sanksi. Tapi sekarang kan kita bikin sank­­sinya, sehingga intelijen tidak bisa semena-mena.

Dengan konsep seperti ini, saya kira yang tidak setuju hanya sebagian dari masyarakat saja. Misalnya lembaga swadaya ma­sya­rakat yang tidak suka dengan pemerintah.

Saya yakin mayoritas masya­rakat  setuju dengan kewenangan  itu, tapi dengan catatan ada sanksi bila bertindak semen-mena. Dengan kondisi ini, tidak akan terulang lagi seperti Orde Baru saat ada UU Subversif.

Setelah UU Subversif tidak berlaku lagi, apa intelijen tidak bisa berbuat apa-apa?
Mengingat belum ada  payung hukum yang jelas, intelijen kha­watir dituduh melakukan pe­langg­a­ran hak asasi manusia. Ini kendalanya. Makanya saat DPR berinisiatif membuat RUU Inteli­jen, kami sambut dengan baik. Tapi sayang penggodokannya terlalu lama.

Padahal, UU Intelijen itu sa­ngat dibutuhkan. Sebab, fungsi­nya sangat penting. Setiap operasi militer, diawali dengan informasi intelijen. Kita perlu tahu situasi dan kondisi di daerah operasi.

Situasi di lapangan tersebut yang mengetahui adalah inte­lijen. Setelah itu, baru menja­lan­kan ta­hapan-tahapan lain untuk operasi militer yang sudah di­rencanakan.

Apakah aturan sanksi bagi intelijen itu sudah disampaikan ke DPR?
Masalah itu masih dibahas DPR. Mereka meminta pendapat dengan kita mengenai masalah itu. Tapi belum disepakati menge­nai sanksi yang diberikan ketika intelijen melakukan pelanggaran. Saya kira hendaknya ada pasal tersendiri mengenai itu.

Mengingat maraknya anca­man teroris dan gerakan radi­kal, apa yang dilakukan Ke­men­han?
Kami saat ini mendorong ter­ciptanya Undang-undang Kea­ma­nan Nasional (Kamnas). Kami targetkan tahun ini sudah selesai, sehingga segera kita sosialisasi­kan. Nantinya Undang-undang Kamnas ini merupakan induk dari Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Rahasia Negara.

Selain itu dirumuskan empat hal, yaitu keamanan dari penga­ruh luar, keamanan dari pengaruh dalam negeri, keamanan tiap-tiap individu dan keamanan kelom­pok atau kamtibnas.

Bagaimana langkah Ke­men­han dalam mengembangkan in­dustri alutsista lokal?
Itu menjadi salah satu komit­men Kementerian Pertahanan untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan nasional, sehingga kita membentuk Ko­mite Kebijakan Industri Pertaha­nan (KKIP).

Artinya kita mem­beli produk-produk industri per­tahanan dalam negeri kita yang dihasilkan oleh perusahan lokal, seperti PT Pindad dan PT Dirgantara Indo­nesia. Itu kan salah satu tujuan kita untuk memenuhi kebutuhan alutsista (alat utama sistem per­tahanan) TNI.

Ada tujuan lain dari kebija­kan tersebut?
Ini bertujuan agar industri pertahanan lokal kita bisa hidup. Sebab, untuk membuat satu kapal saja bisa menyerap tenaga kerja 2.500 orang. Ini berarti me­milik efek ekonomi yang sangat besar.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA