Dari data yang dikantongi SekÂretariat NCB Interpol Indonesia, terdapat sejumlah nama pelarian yang masih bisa melenggang bebas, bahkan melanjutkan pelaÂriannya dari Singapura ke Hong Kong. Sedikitnya lima buronan kabur ke Hong Kong seperti Bambang Soetrisno, terpidana kasus BLBI Bank SurÂya senilai Rp 1,5 triliun.
Jejak pelarian Bambang SoetÂrisno tampaknya diikuti dua buÂronan kasus Century, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang sebelum melanjutkan pelaÂriannya ke Inggris dan Hong Kong, juga sempat ngendon di Singapura.
Berturut-turut setelah itu, daÂlam data Interpol juga terdapat nama bekas Direktur Keuangan Indosiar Philipus serta pengacara Johny Situwanda yang diduga beÂrada di Hong Kong. “Pelacakan ke Hong Kong terus kita lakuÂkan,†kata Kepala Bagian PeÂneÂrangan Umum (KaÂbagÂpenum) MaÂbes Polri Kombes Boy Rafli Amar.
Menanggapi pelarian sederet buronan kakap tersebut, Boy meÂngaku, langkah Interpol mengÂidenÂtifikasi keberadaan mereka masih dilakukan secara intensif. “Interpol terus memantau keberaÂdaan mereka,†ujarnya.
Dia menambahkan, permaÂsaÂlaÂhanÂÂnya, sejauh ini Interpol tidak bisa melakukan penangkapan mauÂpun mengekstradisi para buÂronan itu karena terganjal belum adaÂnya perjanjian ekstradisi antaÂra Indonesia dengan Hong Kong.
Kepala Pusat Penerangan HuÂkum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Noor Rochmad menamÂbahÂkan, selain terganjal belum adaÂnya perjanjian ekstradisi, upaÂya mengeksekusi para buronan itu juga dipicu masih adanya perÂkara hukum yang membelit meÂreka di negara tempat pelaÂrianÂnya. “Ada proses hukum yang tengah dijalani mereka. Proses eksekusi pun menunggu sampai proses hukum mereka tuntas,†alasannya.
Noor pun meminta agar tuntuÂtan sejumlah kalangan untuk meÂmulangkan atau menangkap para buronan kakap yang sembunyi di luar negeri, disampaikan secara proporsional. Soalnya, dia meÂngaÂku, sampai sejauh ini jajaran kejaksaan masih mengupayakan langkah-langkah untuk menÂdeÂteksi dan mengeksekusi para buÂronan tersebut.
Menurut Kapuspenkum, kerjaÂsaÂma dengan jajaran Ditjen ImigÂrasi Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Polri dan Interpol serta KemenÂterian Keuangan, terus dilakukan secara komprehensif.
“Di luar upaÂya eksekusi badan, kami meÂnguÂpayakan cara lain seperti ekseÂkusi aset para buroÂnan yang telah divonis pengaÂdiÂlan,†ucapnya.
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo juga mengaku, sejauh ini upaya peÂninÂdakan selalu dilakukan pihaknya manakala menemukan ada keÂjangÂgalan yang ditunjukkan tiap saksi maupun tersangka.
“Kami langsung koordinasi dengan Imigrasi untuk meminta pencekalan terhadap orang-orang yang diduga bermasalah,†katanya.
Langkah tersebut, menurut dia, ditujukan agar persoalan kaburÂnya saksi maupun tersangka ke luar negeri bisa diminimalisir. “Kami tidak ingin pengalaman yang sudah-sudah terulang kemÂbali,†ucapnya.
Hal senada disampaikan Boy Rafli. Dia menyatakan, lebih baik melakukan pencegahan terhadap orang sebelum bepergian ke luar negeri ketimbang mengejar meÂreÂka tatkala sudah ada di luar negeri.
“Para buronan ini umumÂnya licÂin dan cerdik. Mereka meÂmanÂfaatkan kelengahan petugas serta memanfaatkan lemahnya hubuÂngan diplomasi kita dengan negaÂra lain yang dijadikan tempat perÂsembunyian mereka,†katanya.
Untuk itu, lanjut Boy, kepoliÂsian melakukan serangkaian teroÂbosan guna mengantisipasi seÂorang tersangka menjadi buron. “Ada upaya teknis yang dilaÂkukan untuk mencegah seseorang kabur ke luar negeri,†tambahnya.
Hanya saja, ia menolak meÂmaÂparkan langkah konkret model apa yang diterapkan kepolisian daÂlam mencegah ataupun meÂnangÂkal seseorang menjadi buÂron. Namun, ia menambahkan, optimalisasi peran dan fungsi kepolisian di jajaran Reserse dan Intelkam senantiasa diÂtingÂkatÂkan untuk mengantisipasi kaburÂnya tersangka ke luar negeri. “Kalau tersangka dinilai penyidik tidak kooperatif, pasti akan langÂsung ditahan,†tandasnya.
Tak Pernah Nongol Saat Diadili
Selain Singapura, Hong Kong diÂsinyalir menjadi tempat perÂsemÂbunyian bagi para buronan kasus korupsi. Yang disinyalir kaÂbur ke Hong Kong ialah BamÂbang Soetrisno, terdakwa kasus penyelewengan dana Bantuan LiÂkuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara sedikitnya Rp 1,5 triliun.
Pada Rabu 13 November 2002, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Bambang. DÂalam sidang yang diketuai haÂkim Rukmini itu, Wakil KomiÂsaris Utama PT Bank Surya ini bersama dengan Direktur Utama Bank Surya Adrian Kiki Ariawan terÂbukti secara sah dan meyakinÂkan melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam amar putusan, hakim meÂnguraikan bahwa terdakwa Bambang terbukti telah memÂperÂkaya diri sendiri dengan meÂnyaÂlurÂkan kredit dari Bank Surya yang dipimpinnya ke 168 perusaÂhaan Paper Company. Kemudian terbukti kredit tersebut masuk ke rekening terdakwa.
Prosedur penyaluran kredit terÂsebut, menurut majelis hakim, tiÂdak mengindahkan peraturan perÂbankan yang berlaku di InÂdonesia, sehingga layak diÂkaÂteÂgoÂrikan sebagai tindak pidana koÂrupÂsi.
Di bagian akhir putusannya, haÂkim menegaskan telah membeÂrikan kesempatan kepada para terdakwa untuk membela diri dan membuktikan diri mereka tak bersalah. “Namun terdakwa tak pernah hadir di persidangan,†kata Rukmini.
Sementara itu, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Alwaraq terlibat daÂlam mega skandal Bank Century. Hesham Al Warraq adalah bekas Komisaris Utama yang juga menÂjadi pemilik Century. Pria kelaÂhiran 12 April 1958 itu adalah warÂga negara Saudi Arabia kelaÂhiran Kairo, Mesir.
Sedangkan, Rafat Ali, warga negara Inggris kelahiran Pakistan pada 22 OkÂtober 1960, juga peÂmilik Century. Dua nama terakhir ini berÂtangÂgung jawab atas peÂnyimpanan aset-aset jaminan suÂrat berharga Century di luar negeÂri. Mereka pun tak pernah nongol dalam persidangan hingga diÂvoÂnis bersalah oleh majelis hakim.
Selanjutnya ada nama Direktur Keuangan PT Indosiar Karya Mandiri Tbk Phiong Phillipus Darma. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris BeÂsar Baharudin Djafar mengaÂtakan, pengejaran Phiong PhilliÂpus Darma tidak terkait jabaÂtanÂnya sebagai Direktur Keuangan PT Indosiar Visual Mandiri. “Dia diadukan secara personal karena memalsukan surat,†katanya, di Polda (23/12/2010).
Phiong dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas pemalsuan surat. Ia disangkakan mengalihkan baÂrang sitaan Badan Penyehatan PerÂbankan Nasional berupa taÂnah, peralatan berat, dan barang inventaris kantor lainnya. Oleh DiÂrektorat Reserse Kriminal Umum yang menangani kasus ini, Phiong dikirimi surat peÂmangÂgilan hingga dua kali.
Karena tak memenuhi pangÂgiÂlan, polisi melakukan pemangÂgiÂlan paksa. Namun, saat itu Phiong sudah berada di luar negeri. Direktorat Reskrimum akhirnya memaÂsukÂkan nama Phiong ke dalam Daftar Pencarian Orang. Tak hanya itu, polisi juga meÂminta bantuan InÂterpol untuk menyebarkan nama Phiong sebagai buronan.
Dalam situs Interpol, Phiong diseÂbut dicari karena melakukan pemalsuan dan penipuan. NamaÂnya dimasukkan ke dalam daftar merah. Dengan posisi itu, buroÂnan dikategorikan harus ditangÂkap dan diekstradisi ke negara asalnya.
Terakhir ialah Johny SituwanÂda. Dia merupakan tersangka duÂgaan suap kepada pejabat Polri. Kasus ini diduga terjadi saat JohnÂny menangani perkara sengÂketa antara PT Bintang Mentari PerÂkasa (PT BMP) dan PT Baru AdÂjak (PT BA) di Bandung, Jawa BaÂrat. Kasus ini ditangani DitresÂkrim Polda Jabar. Saat itu Susno Duadji menjabat Kapolda Jawa Barat.
Johnny Situanda akhirnya diteÂtapkan masuk dalam daftar penÂcarian orang oleh Mabes Polri seÂtelah pengacara muda tersebut tiga kali mangkir dari pemangÂgilan Polri. “Dipanggil pertama dan keÂdua sebagai saksi tidak haÂdir. PeÂmanggilan yang ketiga suÂdah diteÂtapkan sebagai tersangka juga tiÂdak hadir. Statusnya sudah masuk DPO,†ujar Kadiv Humas Polri yang saat itu dijabat Irjen EdÂward Aritonang di Mabes Polri, Selasa (1/6/2010).
Khawatir Kasus Buronan Dibekukan
Neta S Pane, Ketua Presidium IPW
Ketua Presidium LSM InÂdoÂnesia Police Watch (IPW) Neta S Pane berharap, lembaga peneÂgak hukum tidak menyerah unÂtuk menangkap para pengemÂplang duit negara yang kabur ke luar negeri.
Soalnya, jika aparat meÂnyeÂrah, maka yang dirugikan dalam perkara ini ialah keuangan neÂgara. Karena itu, Neta mengiÂnginÂkan lembaga penegak huÂkum di Tanah Air tidak berhenti mencari para buronan itu. “Saya khawatir perkara ini akan dibeÂkukan. Kita lihat saja, mampÂuÂkah lembaga penegak hukum memulangkan mereka semua, atau justru malah diam saja tak berkutik,†katanya.
Neta mengingatkan, perkara kaÂburnya para pengemplang duit negara sudah berulang kali terjadi di Indonesia. Namun, yang sangat ia sayangkan ialah tak adanya kejelasan kabar para buronan tersebut. Sehingga, Neta berpendapat, ada kesan bahwa lembaga penegak huÂkum sengaja membekukan perÂkara tersbut.
“Mulai dari Edi Tanzil, AdÂrian Kiki dan terakhir ini Nunun NurÂbaetie. Adakah mereka seÂmua itu jelas kelanjutan proses hukumÂnya. Jawabannya tidak,†tegas dia.
Menurut Neta, lolosnya para buronan ke luar negeri juga bisa disebabkan karena lembaga penegak hukum tidak bisa meÂngambil pelajaran dari beberapa kasus sebelumnya.
Aparat Hukum Butuh Dukungan
Andi Anzhar Cakra Wijaya, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Anzhar Cakra Wijaya meÂminta masyarakat tidak buru-buru menilai negatif perihal beÂlum diseretnya para buronan yang kabur ke luar negeri. SoalÂnya, di tengah situasi politik yang sedang panas ini, yang diÂbutuhkan lembaga penegak hukum bukanlah kritikan pedas, melainkan dukungan moril.
“Sudah saatnya kita semua bersikap dewasa. Kita dorong semua aparat penegak hukum untuk memulangkan para buronan korupsi yang kabur itu,†katanya.
Andi mengatakan, proses pencarian para buronan yang kabur ke luar negeri tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, melalui proses yang sangat rumit. Sehingga, Andi tetap optimis perkara terÂsebut tidak akan dibekukan oleh lembaga penegak hukum.
“Kita harus optimis dong deÂngan aparat kita sendiri. Jangan selalu membandingkan dengan kinerja aparat luar negeri,†ucapnya.
Ketika ditanya, apakah InÂdoÂnesia perlu melakukan perÂjanÂjian ekstradisi dengan suatu neÂgara jika ingin memulangkan para buronan? Politisi PAN ini menjawab, perjanjian itu buÂkanlah suatu jaminan. “Sebab, yang namanya perjanjian itu suatu saat bisa tidak ditaati. Yang rugi Indonesia juga kan nantinya,†ujarnya. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: