Hukuman Pelaku Kasus Gayus Bertambah Semua

Minggu, 29 Mei 2011, 06:31 WIB
Hukuman Pelaku Kasus Gayus Bertambah Semua
Ga­yus Tambunan
RMOL. Upaya banding dan kasasi para terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang dipatahkan hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta maupun Mahkamah Agung (MA).
 
Belakangan, penanganan kasus dugaan korupsi dan mafia hu­kum terkait perkara Ga­yus Tambunan membuahkan putusan lebih berat dibanding putusan pe­ngadilan sebelumnya. Kecen­de­ru­ngan menambah masa huku­man alias memperberat hukuman oleh PT DKI ini, tampak dalam penanganan kasus yang membelit Gayus, Haposan Hutagalung serta Andi Kosasih.

Dalam putusan tingkat ban­ding, Gayus terbukti bersalah saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT). Se­ba­gai pelaksana di Direktorat

Keberatan dan Banding Direk­torat Jenderal Pajak, Gayus ditu­duh tidak teliti, tidak tepat, tidak cer­mat dan menyalahgunakan we­wenang dalam mengusulkan me­nerima kasus keberatan pa­jak. Akibat diterimanya kebe­ra­tan pajak itu, negara dirugikan sebesar Rp 570  juta.

Perkara kedua, Gayus terbukti menyuap penyidik Bareskrim Polri, yakni Kompol Arafat Ena­nie dan AKP Sri Sumartini, me­lalui Haposan Hutagalung selama proses penyidikan tahun 2009.

Suap itu dilakukan agar dirinya tidak ditahan, rumahnya di kawa­san Kelapa  Gading, Jakarta Uta­ra, tidak disita, uangnya dalam rekening di Bank Mandiri tidak diblokir, serta agar diperbolehkan diperiksa di luar Gedung Ba­reskrim Polri.

Pada perkara ketiga, Gayus terbukti memberikan janji uang se­besar 40.000 Dolar AS kepada Muhtadi Asnun, ketua majelis ha­kim yang menyidangkan perk­ara di Pengadilan Negeri Tangerang.

Dalam perkara keempat, Ga­yus terbukti memberikan ket­e­ra­ngan palsu terkait asal-usul ha­r­ta­nya senilai Rp 28 miliar di re­ke­ning yang diblokir penyidik. Uang itu diklaim hasil pengadaan tanah di daerah Jakut antara Gayus dan Andi Kosasih.

Dalam putusan, uang Rp 28 miliar yang tersimpan di Bank Panin dan BCA itu patut diduga ha­sil tindak pidana korupsi. Atas tuduhan itu, majelis hakim men­ja­tuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Gayus. Vonis itu lebih berat tiga tahun dibanding putusan majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selebihnya, majelis hakim ban­ding di PT DKI juga mem­per­berat hukuman untuk terdakwa Haposan Hutagalung terkait ma­fia kasus Gayus. Hakim banding menjatuhkan vonis sembilan ta­hun penjara untuk Haposan.

Hu­ku­man itu dua tahun lebih berat dari hukuman yang diberikan m­ajelis hakim tingkat pertama. Hakim me­nilai Haposan terbukti melakukan tiga tindak pidana korupsi.

Kepala Humas PT DKI Jakarta Achmad Sobari menjelaskan, da­lam putusan kasus pertama, ha­kim menjerat dengan dakwaan pri­mer terkait menghalang-hala­ngi penyidikan kasus Gayus. Da­lam kasus kedua, hakim menjerat dengan dakwaan primer terkait suap ke Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini.

Dalam perkara ketiga, Haposan dijerat dengan dakwaan subsider terkait suap ke Komjen Susno Duadji dalam perkara PT Sa­la­mah Arowana Lestari (SAL). Suap melalui Sjahril Djohan di­duga diberikan sewaktu Komjen Susno Duadji menjabat Kaba­res­krim Polri tahun 2009. Me­nang­gapi hal tersebut, kuasa hukum Haposan,  Jhon Panggabean be­ren­cana menga­ju­kan kasasi.

“Kami akan kasasi. Memori ka­sainya tengah kami susun,” katanya.  Menurutnya, hu­kuman terhadap kliennya sengaja di­naikan karena adanya tekanan publik.  ”Saya me­nya­yang­kan pu­tu­san yang membe­rat­kan, ka­rena dalam banding kami me­nyatakan putusan PN Jak­sel ca­cat, tapi ini malah ditam­bahkan hukumanya,” katanya.

Kolega Gayus dan Haposan, Andi Kosasih juga mengalami nasib serupa. Dalam putusan ka­sasi, majelis hakim menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp 6 miliar atau kurungan enam bulan.

Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim kasasi MA yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Krisna Ha­rahap, dan Syamsul Rakan Cha­niago. Vonis di tingkat kasasi ini dua tahun lebih berat di­banding vonis PT DKI dan lebih lama empat tahun dibanding vonis PN Jaksel.

Menurut hakim Artidjo, Andi Kosasih bersama sama dengan Haposan Hutagalung dan Lam­ber­tus Palang Ama didakwa me­langgar Pasal 21 UU Pemb­eran­tasan Korupsi yakni dengan se­ngaja mencegah, merintangi dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara korupsi Gayus Tambunan.

Juru bicara PT DKI Achmad So­bari mengemukakan, dasar putusan memperberat masa hu­ku­man bagi para terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang ter­sebut jelas.

“Ada pertimbangan-pertim­ba­ngan hukum yang men­dasari pu­tusan majelis hakim Pengadilan Tinggi,” ucapnya.  Disampaikan, jika unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan kepada para terdakwa secara keseluruhan dapat dibuktikan oleh hakim, maka dipastikan masa hukuman terhadap mereka akan ditambah. “Tidak boleh di­kurang-ku­ra­ngi,” tegasnya.

Tidak Boleh Kalah Lawan Para Koruptor
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Proses banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI yang mela­hir­kan hukuman lebih berat diban­ding putusan hakim Pengadilan Negeri (PN), mengisyaratkan hakim-hakim tengah berupaya memperbaiki kinerjanya.

Putusan hakim ini perlu men­dapat dukungan agar para pe­la­ku korupsi menjadi jera. “Lang­kah hakim yang memperberat putusan hukuman terhadap pe­la­ku korupsi dalam rentetan ka­sus Gayus, menjadi cermin bah­wasannya mereka tengah m­e­nunjukkan itikad baik dalam melaksanakan tugas pokok­nya,” ucap anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa.

Menurut dia, ketegasan sikap hakim PT DKI tersebut sedikit banyak memberikan harapan dalam penanganan kasus ko­rupsi. Artinya, menurut Des­mon, perlawanan hukum yang dilancarkan para pelaku korupsi harus mendapat perlawanan yang tegas dan taktis oleh hakim.

“Hukum tentunya tidak boleh kalah dalam menghadapi ko­ruptor. Ini tampaknya menjadi tonggak bagi hakim dalam memutus perkara banding yang diajukan para koruptor,” tegasnya.

Dia menambahkan, hakim yang jadi penentu dalam pe­nun­tasan perkara hendaknya se­nan­tiasa berpatokan pada integritas dan prosedur hukum yang ada. Dengan landasan itu, ia yakin kecenderungan memberikan per­lawanan hukum yang dila­kukan oleh para terdakwa kasus korupsi pada masa mendatang bisa diminimalisir.

Setidaknya imbuh dia, para ter­dakwa korupsi berpikir seri­bu kali dalam menentukan lang­kah  banding. “Dari situ para ter­dakwa akan lebih berhati-hati dalam menentukan proses hu­kum lanjutan. Tidak asal ban­dingkarena tidak puas dengan putusan hakim tingkat perta­ma,” tandasnya.

Cobalah Tuntutan Hukuman Mati
Leica Marzuki, Bekas Hakim Agung

Upaya memperberat hukuman bagi para pelaku kasus korupsi menjadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum. Selain mem­perberat vonis hukuman hingga tingkatan yang maksimal, an­caman hukuman mati terhadap pelaku korupsi juga bisa di­tempuh jaksa dalam menyusun berkas dakwaan.

Pertimbangan memperberat vonis terhadap pelaku korupsi ini, disampaikan bekas hakim agung Leica Marzuki. Dia ber­pendapat, tuntutan penjara mak­simal, bahkan ancaman huku­man mati ditujukan agar pelaku korupsi menjadi jera. “Di­ha­rap­kan bakal ada efek jera dari hu­kuman yang dijatuhkan ha­kim pada para terdakwa kasus ko­rupsi di Tanah Air,” ujarnya.

Menurutnya, kecenderungan memperberat hukuman terdak­wa pada tingkat banding mau­pun tingkat kasasi hingga pro­ses peninjauan kembali (PK), menjadi semacam terobosan bagi hakim dalam menegakkan konstitusi. Tapi, dibutuhkan integritas dan keberanian hakim untuk menggali fakta-fakta yang sudah ada dan berk­em­bang pada suatu perkara.  

Artinya, tambah dia, tingkat kejelian hakim mendalami fakta yang terungkap dalam persida­ngan sangat dibutuhkan. “Di­per­lukan kejelian, keteku­nan dan keberanian hakim dalam me­nangani perkara di tingkat banding ataupun kasasi. Pro­fesionalitas dan kredibilitas ha­kim yang mengkaji putusan ha­kim pada pengadilan sebe­lum­nya di sini diuji,” ucapnya.

Menjawab pertanyaan, ke­cen­derungan majelis hakim ting­kat banding yang mem­per­berat vonis hakim pengadilan tingkat pertama pada rentetan ka­sus Gayus, Leica berp­en­da­pat, pertimbangan hakim ting­kat banding maupun tingkat ka­sasi senantiasa merujuk pada ce­lah hukum yang luput dari pe­­nilaian hakim tingkat perta­ma. Ia menyimpulkan,  sudah men­jadi kewajiban hakim ting­kat banding dan kasasi untuk mengoreksi penilaian dan vonis hakim pada tingkat pertama.

“Prinsipnya bukan mencari-cari kesalahan hakim me­lain­kan menggali fak­ta dan bukti-bukti yang be­lum terungkap pada per­sid­a­ngan sebelumnya,” katanya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA