Belakangan, penanganan kasus dugaan korupsi dan mafia huÂkum terkait perkara GaÂyus Tambunan membuahkan putusan lebih berat dibanding putusan peÂngadilan sebelumnya. KecenÂdeÂruÂngan menambah masa hukuÂman alias memperberat hukuman oleh PT DKI ini, tampak dalam penanganan kasus yang membelit Gayus, Haposan Hutagalung serta Andi Kosasih.
Dalam putusan tingkat banÂding, Gayus terbukti bersalah saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT). SeÂbaÂgai pelaksana di Direktorat
Keberatan dan Banding DirekÂtorat Jenderal Pajak, Gayus dituÂduh tidak teliti, tidak tepat, tidak cerÂmat dan menyalahgunakan weÂwenang dalam mengusulkan meÂnerima kasus keberatan paÂjak. Akibat diterimanya kebeÂraÂtan pajak itu, negara dirugikan sebesar Rp 570 juta.
Perkara kedua, Gayus terbukti menyuap penyidik Bareskrim Polri, yakni Kompol Arafat EnaÂnie dan AKP Sri Sumartini, meÂlalui Haposan Hutagalung selama proses penyidikan tahun 2009.
Suap itu dilakukan agar dirinya tidak ditahan, rumahnya di kawaÂsan Kelapa Gading, Jakarta UtaÂra, tidak disita, uangnya dalam rekening di Bank Mandiri tidak diblokir, serta agar diperbolehkan diperiksa di luar Gedung BaÂreskrim Polri.
Pada perkara ketiga, Gayus terbukti memberikan janji uang seÂbesar 40.000 Dolar AS kepada Muhtadi Asnun, ketua majelis haÂkim yang menyidangkan perkÂara di Pengadilan Negeri Tangerang.
Dalam perkara keempat, GaÂyus terbukti memberikan ketÂeÂraÂngan palsu terkait asal-usul haÂrÂtaÂnya senilai Rp 28 miliar di reÂkeÂning yang diblokir penyidik. Uang itu diklaim hasil pengadaan tanah di daerah Jakut antara Gayus dan Andi Kosasih.
Dalam putusan, uang Rp 28 miliar yang tersimpan di Bank Panin dan BCA itu patut diduga haÂsil tindak pidana korupsi. Atas tuduhan itu, majelis hakim menÂjaÂtuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Gayus. Vonis itu lebih berat tiga tahun dibanding putusan majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selebihnya, majelis hakim banÂding di PT DKI juga memÂperÂberat hukuman untuk terdakwa Haposan Hutagalung terkait maÂfia kasus Gayus. Hakim banding menjatuhkan vonis sembilan taÂhun penjara untuk Haposan.
HuÂkuÂman itu dua tahun lebih berat dari hukuman yang diberikan mÂajelis hakim tingkat pertama. Hakim meÂnilai Haposan terbukti melakukan tiga tindak pidana korupsi.
Kepala Humas PT DKI Jakarta Achmad Sobari menjelaskan, daÂlam putusan kasus pertama, haÂkim menjerat dengan dakwaan priÂmer terkait menghalang-halaÂngi penyidikan kasus Gayus. DaÂlam kasus kedua, hakim menjerat dengan dakwaan primer terkait suap ke Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini.
Dalam perkara ketiga, Haposan dijerat dengan dakwaan subsider terkait suap ke Komjen Susno Duadji dalam perkara PT SaÂlaÂmah Arowana Lestari (SAL). Suap melalui Sjahril Djohan diÂduga diberikan sewaktu Komjen Susno Duadji menjabat KabaÂresÂkrim Polri tahun 2009. MeÂnangÂgapi hal tersebut, kuasa hukum Haposan, Jhon Panggabean beÂrenÂcana mengaÂjuÂkan kasasi.
“Kami akan kasasi. Memori kaÂsainya tengah kami susun,†katanya. Menurutnya, huÂkuman terhadap kliennya sengaja diÂnaikan karena adanya tekanan publik. â€Saya meÂnyaÂyangÂkan puÂtuÂsan yang membeÂratÂkan, kaÂrena dalam banding kami meÂnyatakan putusan PN JakÂsel caÂcat, tapi ini malah ditamÂbahkan hukumanya,†katanya.
Kolega Gayus dan Haposan, Andi Kosasih juga mengalami nasib serupa. Dalam putusan kaÂsasi, majelis hakim menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp 6 miliar atau kurungan enam bulan.
Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim kasasi MA yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Krisna HaÂrahap, dan Syamsul Rakan ChaÂniago. Vonis di tingkat kasasi ini dua tahun lebih berat diÂbanding vonis PT DKI dan lebih lama empat tahun dibanding vonis PN Jaksel.
Menurut hakim Artidjo, Andi Kosasih bersama sama dengan Haposan Hutagalung dan LamÂberÂtus Palang Ama didakwa meÂlanggar Pasal 21 UU PembÂeranÂtasan Korupsi yakni dengan seÂngaja mencegah, merintangi dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara korupsi Gayus Tambunan.
Juru bicara PT DKI Achmad SoÂbari mengemukakan, dasar putusan memperberat masa huÂkuÂman bagi para terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang terÂsebut jelas.
“Ada pertimbangan-pertimÂbaÂngan hukum yang menÂdasari puÂtusan majelis hakim Pengadilan Tinggi,†ucapnya. Disampaikan, jika unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan kepada para terdakwa secara keseluruhan dapat dibuktikan oleh hakim, maka dipastikan masa hukuman terhadap mereka akan ditambah. “Tidak boleh diÂkurang-kuÂraÂngi,†tegasnya.
Tidak Boleh Kalah Lawan Para KoruptorDesmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPRProses banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI yang melaÂhirÂkan hukuman lebih berat dibanÂding putusan hakim Pengadilan Negeri (PN), mengisyaratkan hakim-hakim tengah berupaya memperbaiki kinerjanya.
Putusan hakim ini perlu menÂdapat dukungan agar para peÂlaÂku korupsi menjadi jera. “LangÂkah hakim yang memperberat putusan hukuman terhadap peÂlaÂku korupsi dalam rentetan kaÂsus Gayus, menjadi cermin bahÂwasannya mereka tengah mÂeÂnunjukkan itikad baik dalam melaksanakan tugas pokokÂnya,†ucap anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa.
Menurut dia, ketegasan sikap hakim PT DKI tersebut sedikit banyak memberikan harapan dalam penanganan kasus koÂrupsi. Artinya, menurut DesÂmon, perlawanan hukum yang dilancarkan para pelaku korupsi harus mendapat perlawanan yang tegas dan taktis oleh hakim.
“Hukum tentunya tidak boleh kalah dalam menghadapi koÂruptor. Ini tampaknya menjadi tonggak bagi hakim dalam memutus perkara banding yang diajukan para koruptor,†tegasnya.
Dia menambahkan, hakim yang jadi penentu dalam peÂnunÂtasan perkara hendaknya seÂnanÂtiasa berpatokan pada integritas dan prosedur hukum yang ada. Dengan landasan itu, ia yakin kecenderungan memberikan perÂlawanan hukum yang dilaÂkukan oleh para terdakwa kasus korupsi pada masa mendatang bisa diminimalisir.
Setidaknya imbuh dia, para terÂdakwa korupsi berpikir seriÂbu kali dalam menentukan langÂkah banding. “Dari situ para terÂdakwa akan lebih berhati-hati dalam menentukan proses huÂkum lanjutan. Tidak asal banÂdingkarena tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertaÂma,†tandasnya.
Cobalah Tuntutan Hukuman MatiLeica Marzuki, Bekas Hakim AgungUpaya memperberat hukuman bagi para pelaku kasus korupsi menjadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum. Selain memÂperberat vonis hukuman hingga tingkatan yang maksimal, anÂcaman hukuman mati terhadap pelaku korupsi juga bisa diÂtempuh jaksa dalam menyusun berkas dakwaan.
Pertimbangan memperberat vonis terhadap pelaku korupsi ini, disampaikan bekas hakim agung Leica Marzuki. Dia berÂpendapat, tuntutan penjara makÂsimal, bahkan ancaman hukuÂman mati ditujukan agar pelaku korupsi menjadi jera. “DiÂhaÂrapÂkan bakal ada efek jera dari huÂkuman yang dijatuhkan haÂkim pada para terdakwa kasus koÂrupsi di Tanah Air,†ujarnya.
Menurutnya, kecenderungan memperberat hukuman terdakÂwa pada tingkat banding mauÂpun tingkat kasasi hingga proÂses peninjauan kembali (PK), menjadi semacam terobosan bagi hakim dalam menegakkan konstitusi. Tapi, dibutuhkan integritas dan keberanian hakim untuk menggali fakta-fakta yang sudah ada dan berkÂemÂbang pada suatu perkara.
Artinya, tambah dia, tingkat kejelian hakim mendalami fakta yang terungkap dalam persidaÂngan sangat dibutuhkan. “DiÂperÂlukan kejelian, ketekuÂnan dan keberanian hakim dalam meÂnangani perkara di tingkat banding ataupun kasasi. ProÂfesionalitas dan kredibilitas haÂkim yang mengkaji putusan haÂkim pada pengadilan sebeÂlumÂnya di sini diuji,†ucapnya.
Menjawab pertanyaan, keÂcenÂderungan majelis hakim tingÂkat banding yang memÂperÂberat vonis hakim pengadilan tingkat pertama pada rentetan kaÂsus Gayus, Leica berpÂenÂdaÂpat, pertimbangan hakim tingÂkat banding maupun tingkat kaÂsasi senantiasa merujuk pada ceÂlah hukum yang luput dari peÂÂnilaian hakim tingkat pertaÂma. Ia menyimpulkan, sudah menÂjadi kewajiban hakim tingÂkat banding dan kasasi untuk mengoreksi penilaian dan vonis hakim pada tingkat pertama.
“Prinsipnya bukan mencari-cari kesalahan hakim meÂlainÂkan menggali fakÂta dan bukti-bukti yang beÂlum terungkap pada perÂsidÂaÂngan sebelumnya,†katanya.
[RM]
BERITA TERKAIT: